Eps. 18 Hujan Dadakan

1318 Kata
Meski belum menemukan petunjuk apa pun dari dongeng yang dibacanya, Grisel tetap berusaha melanjutkan membaca. Ia membalik halaman berikutnya dengan perlahan, matanya menyapu setiap baris kalimat penuh rasa ingin tahu. Namun baru satu halaman dibacanya, angin tiba-tiba bertiup kencang, menggoyangkan dedaunan di taman rumah sakit itu. Dalam sekejap, langit yang tadinya cerah berubah kelabu, awan gelap bergulung menutupi cahaya matahari. “Eh? Kenapa tiba-tiba mendung begini?” gumamnya heran, menatap langit yang semakin gelap. Tik... tik... tik! Butiran air hujan pertama jatuh di tangannya. “Astaga! Tiba-tiba hujan!” serunya kaget, buru-buru menutup buku yang ada di pangkuannya. Ia meraih tumpukan buku-buku lain di sebelahnya, memeluk semuanya di da-da, lalu berlari kecil menuju klinik. Namun karena tergesa dan tidak memperhatikan jalan, langkahnya mengenai genangan air yang licin. “A—ah!” serunya terkejut, tubuhnya kehilangan keseimbangan, buku-buku itu terlepas dari pelukannya, melayang di udara sebelum jatuh berantakan di tanah basah. Ferrin, yang baru saja keluar dari ruang cuci tangan di dekat taman, terperanjat melihat kejadian itu. “Grisel?” serunya panik. Ia langsung berlari dan berhasil menangkap tubuh Grisel tepat sebelum gadis itu jatuh menghantam tanah. Pelukan itu refleks, kuat, dan begitu dekat. Satu tangannya menahan pinggang Grisel, sementara tangan satunya memegang bahunya agar tidak terjatuh. Air hujan membasahi rambut dan pakaian mereka, namun keduanya membeku di tempat, saling menatap, napas bertemu di antara udara dingin dan aroma hujan. Ferrin bisa merasakan detak jantung Grisel yang cepat di dadanya, dan ia sendiri pun tak kalah gugup. Sementara Grisel, wajahnya memerah, mata beningnya menatap ke arah Ferrin yang tampak begitu dekat, terlalu dekat. “D-Dokter Ferrin...,” bisiknya pelan dengan suara gemetar. Ferrin memebeku sejenak, suaranya nyaris serak. “Kamu… nggak apa-apa?” tanyanya lembut, masih menahan tubuh gadis itu agar tidak jatuh lagi. Mereka berdua diam untuk sesaat di bawah rinai hujan, hingga akhirnya Ferrin sadar dan segera membantu Grisel berdiri tegak kembali, meski jantungnya belum juga tenang. “Aku nggak apa-apa, Dok. Terima kasih sudah membantuku,” ujar Grisel dengan suara pelan, gugup, dan sedikit terbata. Ia menunduk dalam, pipinya memerah, sementara jantungnya berdetak tak karuan. Ia bahkan tak tahu, apakah tubuhnya yang bergetar karena dingin atau karena kedekatan dengan Ferrin barusan. Tangannya refleks meremas ujung bajunya yang basah. “Maaf, Dok,” lanjutnya dengan lirih. “Bukunya jadi basah karena jatuh. Aku… aku mungkin sudah membuat bukumu rusak. Tapi aku akan bertanggung jawab, sungguh. Aku akan mengganti semuanya,” ujarnya dengan nada tulus yang terdengar penuh rasa bersalah. Matanya menatap buku-buku yang berserakan di tanah, beberapa di antaranya terkena lumpur dan air hujan. Ferrin ikut menunduk, memperhatikan buku-buku itu. Sampulnya memang sedikit rusak dan lembab. Ia menghela napas pendek. Dalam hati, sebenarnya sayang sekali, sebagian dari buku itu adalah koleksi pribadinya yang sudah lama ia jaga. Namun melihat wajah Grisel yang begitu panik, dengan mata yang nyaris berkaca-kaca dan bibir bergetar karena menyesal, rasa kesal itu menguap begitu saja. “Ya, Grisel. Tak apa,” ucap Ferrin akhirnya, suaranya lembut dan menenangkan. “Yang penting kamu nggak terluka. Buku masih bisa dikeringkan.” Grisel mendongak, menatap dokter itu dengan mata bening penuh rasa terharu. “Terima kasih, Dok. Aku janji akan lebih hati-hati nanti,” katanya pelan. Ferrin hanya mengangguk kecil. “Ayo, kita masuk dulu. Kamu bisa kedinginan kalau terus di sini.” Grisel menunduk, mengikuti langkah Ferrin menuju pintu masuk rumah sakit. Langkah mereka beriringan dalam diam, hanya suara hujan yang terdengar, menambah suasana canggung di antara keduanya. Ketika sampai di teras, Ferrin berhenti sejenak, menatap Grisel yang masih memeluk buku-buku basah itu erat-erat. “Letakkan saja bukunya di sini dulu. Nanti aku bantu keringkan,” ucapnya sambil menatap gadis itu dengan tatapan lembut. Grisel mengangguk. “Baik, Dok,” balasnya pelan. Keadaan menjadi hening. Suara hujan kini hanya menjadi latar bagi dua hati yang sama-sama berdetak cepat, satu karena rasa bersalah, satu karena rasa yang mulai tumbuh tanpa disadari. Ferrin berdeham kecil, berusaha memecah suasana. “Kamu harus ganti baju, nanti bisa masuk angin.” Grisel tersenyum samar. “Iya, Dok. Sekali lagi… maaf, dan terima kasih.” Ferrin hanya menatapnya sesaat sebelum berkata pelan, “Tak apa, Grisel. Jaga dirimu baik-baik.” Dan dalam hati, ia tahu gadis itu mulai memenuhi pikirannya lebih dari sekadar pasien biasa. Namun Grisel tidak beranjak untuk mengganti bajunya. Ia tetap berdiri di sana, di dekat meja tempat Ferrin tengah berusaha mengeringkan buku-bukunya yang basah. Hujan di luar masih turun deras, dan meski udara dingin menusuk kulitnya yang masih lembab, rasa bersalah membuatnya tidak tega meninggalkan tempat itu. Ferrin tampak fokus menggunakan pengering rambut kecil yang ada di ruangannya untuk mengeringkan halaman-halaman buku yang lembab. Ia melakukannya dengan hati-hati, membuka lembar demi lembar agar tidak robek. Grisel memperhatikan dari sisi meja, menunduk penuh penyesalan. “Dok, biar aku saja yang keringkan buku ini,” ucapnya lirih. Suaranya penuh rasa bersalah dan harap. “Aku yang menyebabkan buku-buku itu basah. Harusnya aku yang bertanggung jawab.” Ferrin menggeleng pelan tanpa menatapnya. “Nggak apa-apa, Grisel. Kamu istirahat saja. Aku bisa mengurusnya.” “Tapi, Dok....” Grisel melangkah satu langkah mendekat, matanya memohon. “Aku yang salah. Tolong berikan alat itu padaku, ya? Aku janji akan hati-hati. Aku cuma ingin memperbaiki kesalahanku.” Ferrin akhirnya berhenti sejenak, menatap wajah gadis itu. Ada ketulusan yang nyata dalam pandangan Grisel, bukan sekadar sopan santun seorang pasien, melainkan rasa tanggung jawab yang tulus. Dengan napas pendek, Ferrin akhirnya menyerahkan pengering rambut itu kepadanya. “Baiklah, kalau kamu memang mau membantu… tapi hati-hati, jangan terlalu dekat, nanti halamannya rusak.” Grisel menerima alat itu dengan kedua tangan dan langsung memulai tugasnya. Ia mengeringkan satu per satu halaman dengan penuh perhatian, seolah sedang menyentuh sesuatu yang sangat berharga. Ferrin hanya berdiri di sampingnya, diam memperhatikan. Ada kehangatan aneh yang menyusup di dadanya melihat gadis itu berusaha begitu keras memperbaiki kesalahan kecil. Dalam diam, ia tersenyum tipis. 'Gadis ini... kenapa aku makin sulit menjaganya hanya sebagai pasien?' Karena tak tega melihat Grisel berusaha sendirian mengeringkan buku itu, Ferrin akhirnya mengambil pengering rambut lain dari lemari dan kembali duduk di sisi meja. Ia menyalakannya tanpa banyak bicara, ikut membantu membuka dan mengeringkan halaman-halaman buku yang lain. Grisel yang sedang fokus, menoleh cepat ketika mendengar suara alat kedua menyala. “Dok, kenapa ikut mengeringkan juga?” tanyanya bingung, matanya membulat. “Nanti waktu kamu habis cuma buat ngurusin buku ini saja.” Ferrin menatapnya sebentar, lalu tersenyum kecil. “Nggak kok, aku lagi kosong,” balasnya santai. Padahal kenyataannya, beberapa pasien sudah menunggu gilirannya di luar ruangan. Tapi anehnya, Ferrin sama sekali tidak ingin pergi. Ada sesuatu dalam keberadaan Grisel yang membuat suasana di ruang itu terasa berbeda, hangat, tenang, dan sulit dijelaskan. Mereka pun melanjutkan kegiatan itu berdua. Suara lembut alat pengering berpadu dengan suara hujan yang masih turun di luar jendela. Sesekali halaman buku berkibar ringan, aroma kertas lembab dan udara hangat memenuhi ruangan. Entah sudah berapa lama mereka duduk berdampingan seperti itu. Waktu seakan berjalan lebih lambat dari biasanya. Ferrin sempat mencuri pandang ke arah Grisel, rambut gadis itu sedikit kusut, ujung bajunya masih lembab, dan pipinya memerah karena udara dingin. Namun mata gadis itu tetap serius menatap halaman buku, seolah tidak ingin melakukan kesalahan sekecil apa pun lagi. Tiba-tiba Grisel bersin kecil. “Hachi!” suaranya lembut tapi jelas membuat Ferrin menoleh cepat. “Kamu kedinginan?” tanyanya refleks, nada suaranya terdengar khawatir. “Nggak apa-apa, Dok. Cuma... udara di sini dingin banget, ya,” jawab Grisel, berusaha tersenyum sambil mengusap hidungnya. Namun tubuhnya tampak sedikit menggigil. Ferrin menatapnya lebih lama, lalu mematikan pengering rambut di tangannya. “Udah, cukup segitu dulu. Buku-buku ini nanti bisa aku lanjutkan. Kamu harus ganti baju dulu sebelum benar-benar masuk angin.” “Tapi—” “Ini perintah dokter,” potong Ferrin dengan nada lembut tapi tegas. Grisel akhirnya menunduk, tersipu. “Baik, Dok...” Ferrin tersenyum tipis. Dalam hati, ia sadar, alasannya tetap di sana bukan lagi karena buku. Tapi karena gadis itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN