Ferrin mengangguk mantap. “Ya, Grisel. Ini semacam alarm. Kalau kamu menekannya, bunyinya akan sampai ke ruang kerjaku. Jadi kamu nggak usah takut sendirian. Aku akan segera keluar mencarimu.” Nada suaranya lembut, penuh keyakinan, seakan ingin meminjamkan keberanian pada pasien yang masih terjebak dalam kebingungan identitasnya itu.
Seulas senyum kecil akhirnya muncul di wajah Grisel. “Baiklah, kalau begitu aku coba… tapi hanya di taman, ya? Tidak lebih jauh.”
“Benar. Hanya duduk di taman, menikmati udara segar. Itu akan membantu pemulihanmu,” ujar Ferrin sambil menepuk ringan bahunya.
Beberapa menit kemudian, Grisel keluar dengan langkah hati-hati. Udara pagi yang sejuk langsung menyapa kulitnya. Aroma rerumputan basah dan suara burung yang berkicau membuat dadanya terasa lega. Ia memilih bangku kayu di bawah pohon besar, tepat di tepi jalan setapak yang membelah taman kecil rumah sakit itu.
Matanya kembali berbinar menatap hamparan hijau. Ada anak-anak kecil yang sedang bermain dengan orang tuanya di ujung taman, ada pula perawat yang duduk sambil membuka bekal sarapan. Kehidupan di luar ruangan itu tampak sederhana, tapi begitu hangat.
Grisel menghela napas panjang, tangannya meremas lonceng kecil itu di pangkuan.' Apakah aku pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya? Duduk santai tanpa rasa takut?' Pertanyaan itu berputar di kepalanya, membuat dadanya sedikit sesak. Ia masih belum bisa menjawab siapa dirinya sebenarnya, namun di momen itu, ia merasa sedikit lebih bebas.
Tak lama, Ferrin muncul dari pintu rumah sakit, sengaja berjalan perlahan menghampirinya. “Kamu terlihat lebih segar, Grisel,” ucapnya tersenyum.
Grisel menoleh, menepuk kursi kosong di sampingnya. “Duduklah, Dok. Terima kasih sudah memberiku kesempatan ini. Rasanya… seperti aku kembali hidup.”
Ferrin duduk, menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Kamu memang sedang belajar hidup kembali. Jangan takut pada masa lalu yang belum kamu temukan. Yang penting, sekarang kamu ada di sini, aman, dan berhak merasa tenang.”
Air mata tipis menggenang di sudut mata Grisel, bukan karena sedih, tapi karena lega. Untuk pertama kalinya sejak ia sadar di rumah sakit itu, ia merasa tidak sendirian lagi. Lonceng kecil di tangannya bukan hanya alat pengaman, tapi juga simbol bahwa ada seseorang yang siap datang kapan pun ia merasa takut.
Di taman kecil rumah sakit itu, mata Grisel tertumbuk pada dua anak perempuan kembar yang tampak asyik berlarian di antara bunga-bunga liar. Mereka mengenakan gaun sederhana berwarna pastel, rambutnya dikuncir kembar dua dengan pita kecil. Keduanya tertawa lepas sambil mengejar kupu-kupu putih yang beterbangan, tangan mungil mereka berulang kali terulur berusaha menangkap sayap yang lincah menari di udara.
Pemandangan itu membuat Grisel terpaku. Ada sesuatu yang hangat menjalari dadanya, kerinduan pada keceriaan yang ia sendiri tak tahu pernahkah ia rasakan sebelumnya. Tanpa sadar, ia berdiri dari bangku, menggenggam lonceng kecil pemberian Ferrin. Perlahan ia berjalan mendekati kedua anak itu, senyum tipis terbit di bibirnya.
“Boleh aku bermain dengan kalian?” tanya Grisel ragu, suaranya lembut namun penuh harap.
Anak kembar itu spontan berhenti berlari. Mereka menatap Grisel, mata bulatnya terhenti sejenak pada perban putih yang melilit kepala wanita itu. Salah satu dari mereka maju setengah langkah, suaranya polos, “Tapi Kakak sepertinya sedang sakit… apa nggak apa-apa bermain dengan kami?”
Grisel tertegun sesaat, lalu menggeleng sambil tersenyum menenangkan. “Tentu nggak apa. Justru Kakak senang bisa ikut bersama kalian.”
Mendengar itu, kedua anak kembar itu saling pandang, kemudian tertawa kecil dan menarik tangan Grisel. “Ayo, Kak! Kupu-kupunya banyak sekali di sini!”
Grisel pun ikut berlari pelan, langkahnya kaku di awal namun segera larut dalam riang tawa anak-anak. Ia mengulurkan tangan, mencoba menangkap kupu-kupu yang hinggap di bunga. Sesekali ia gagal, membuat kedua anak kembar itu tergelak. Tapi Grisel tak peduli, ia ikut tertawa, menikmati permainan sederhana yang memberi rasa bebas dalam dirinya.
Dari bangku kayu di sisi taman, Ferrin memperhatikan. Wajahnya yang biasanya serius melunak. Senyum tipis muncul setiap kali ia melihat Grisel menepuk-nepuk udara, mengejar kupu-kupu bersama anak-anak itu. Ada kehangatan yang sulit ia jelaskan, wanita yang selama ini penuh ketakutan dan kebingungan, kini tampak seperti anak kecil yang baru menemukan arti kebahagiaan.
Ferrin menyandarkan punggung, membiarkan pandangannya terpusat pada sosok Grisel. 'Lucu sekali,' batinnya, melihat bagaimana perempuan itu tertawa lepas meski dengan perban masih menempel di kepalanya. “Mungkin, pikir Ferrin, “Inilah awal dari penyembuhan yang sebenarnya, ketika Grisel bisa tersenyum bukan karena dipaksa, tapi karena hatinya benar-benar merasa bahagia.”
Setelah beberapa menit berlari dan tertawa, napas Grisel mulai terengah. Ia berhenti di tepi jalan setapak, kedua tangannya bertumpu di lutut untuk menstabilkan pernapasan. “Ternyata lelah ikut juga mengejar kupu-kupu seperti anak kecil,” desahnya sambil tersenyum lemah. Keringat tipis membasahi pelipisnya, namun ada rona ceria yang tak biasa di wajahnya.
Sementara itu, dua anak kembar tadi masih berlari penuh semangat. Tawa mereka pecah setiap kali kupu-kupu putih itu lolos dari jangkauan tangan mungil mereka. Sesekali mereka menoleh ke arah Grisel, melempar senyum lebar yang membuat wajah mereka semakin mirip bagaikan cermin.
Grisel terpaku. Senyum itu… wajah kembar itu… entah kenapa menusuk hatinya. Seperti ada potongan puzzle yang terselip di dalam ingatannya. Tatapan matanya terkunci pada mereka, tubuhnya seakan membeku. “Aku… pernah melihat senyum seperti itu… tapi di mana?” bisiknya lirih.
Ia mencoba berpikir keras, menggali ruang kosong dalam benaknya. Namun seiring upayanya, tiba-tiba denyutan tajam menghantam kepalanya. “Hisss! Kepalaku!” seru Grisel, spontan memegangi sisi kepala yang masih diperban.
Nyeri itu begitu kuat hingga membuat pandangannya kabur. Dunia di sekitarnya berputar, suara tawa anak-anak berubah samar seperti gema jauh di dalam telinga.
Dari bangku tidak jauh, Ferrin yang sejak tadi mengamati langsung tersentak. Matanya membelalak melihat Grisel meringis kesakitan. “Astaga! Grisel! Kamu kenapa?” teriaknya panik. Ia segera bangkit dan berlari secepat mungkin menuju wanita itu.
Grisel sempat goyah, langkahnya melemah, sebelum tubuhnya benar-benar kehilangan kekuatan. Pandangannya meredup, kaki tak lagi sanggup menopang. Detik berikutnya, tubuhnya roboh tanpa daya.
Namun Ferrin berhasil menangkapnya tepat waktu sebelum jatuh ke tanah. Ia merengkuh tubuh Grisel ke dalam pelukannya, wajahnya cemas luar biasa. “Grisel! Bertahanlah! Jangan pingsan di sini!” katanya dengan nada penuh kekhawatiran.
Anak-anak kembar yang tadi bermain pun berhenti berlari, menatap dengan bingung dan takut. Mereka berbisik pelan satu sama lain, tak berani mendekat.
Sementara Ferrin, dengan jantung berdegup keras, segera mengangkat tubuh lemah Grisel ke dalam gendongannya. Ia tahu, ini bukan sekadar pingsan biasa. Nyeri di kepala itu jelas tanda ada sesuatu yang lebih serius tersembunyi di balik ingatan Grisel yang hilang. Tanpa membuang waktu, ia berlari kembali ke rumah sakit.
Ferrin dengan hati-hati membaringkan Grisel di ranjang, memastikan posisi kepalanya tetap nyaman. Ia lalu menyalakan lampu kecil di samping tempat tidur dan memeriksa denyut nadi serta pernapasan wanita itu. “Syukurlah, semuanya normal. Hanya wajah Grisel yang masih tampak pucat, napasnya sedikit tidak teratur seakan tubuhnya baru saja melewati pergulatan berat.”
“Pasti ada sesuatu yang memicu ingatannya,” gumam Ferrin lirih. Ia menatap lekat perban di kepala Grisel. “Mungkin kenangan itu terlalu berat, sehingga otaknya memaksa untuk mengingat dan malah membuatnya pingsan.”
Ia mengembuskan napas panjang, lalu menarik selimut hingga menutupi tubuh Grisel dengan lembut. Sesekali, ia menepuk pelan tangannya, berharap wanita itu segera sadar dengan tenang. Ada rasa lega menyelinap karena kondisi fisiknya tidak berbahaya, namun di sisi lain, hatinya resah. Jika ingatan Grisel benar-benar kembali, apa yang akan ia temukan?
Ferrin menatap wajah lemah itu, lalu berbisik, “Semoga saat kamu terbangun nanti, itu bukan kenangan yang justru menyakitimu.”