Setengah jam berlalu sejak tubuh Grisel roboh di taman. Di dalam kamar rawat, suasana tenang, hanya terdengar bunyi lembut detak jam dinding. Ferrin duduk di kursi samping ranjang, sebuah buku terbuka di tangannya. Sampulnya berwarna hijau tua, dengan judul Psikologi Trauma dan Ingatan yang tercetak jelas. Sesekali ia menandai halaman dengan pensil, namun matanya lebih sering melirik pasiennya yang masih terbaring.
Perlahan, kelopak mata Grisel mulai bergerak. Napasnya yang tadinya berat kini sedikit lebih stabil. Dengan usaha, ia membuka mata, menatap langit-langit putih sebelum akhirnya menangkap sosok Ferrin. Ia berkedip beberapa kali, mencoba menyadari keadaan.
Dengan gemetar, Grisel berusaha bangkit duduk. “Dokter Ferrin… kenapa aku tiba-tiba berbaring di sini?” tanyanya heran.
Ferrin segera menutup bukunya dan meletakkannya di atas meja kecil di samping ranjang. Ia maju, wajahnya penuh perhatian. “Grisel, kamu sudah sadar? Kamu benar-benar nggak ingat apa yang terjadi di taman tadi?”
Grisel menatap kosong ke depan, lalu perlahan menggeleng. “Tidak… aku hanya ingat sedang bermain dengan dua anak kembar yang mengejar kupu-kupu. Tapi setelah itu… kosong. Aku berusaha mengingat, tapi kepalaku langsung terasa berat.” Suaranya terdengar frustrasi.
Ferrin mencondongkan tubuh, suaranya lembut namun menekankan setiap kata. “Anak kembar… senyuman anak-anak itu. Apa kamu yakin?”
Grisel menutup matanya sejenak, mencoba membayangkan kembali. Wajah polos dua gadis kecil dengan tawa riang dan senyum yang seakan menyala. Ia membuka mata lagi, menatap Ferrin dengan kebingungan. “Aku merasa pernah melihat senyum itu sebelumnya. Seperti… ada sesuatu yang ingin pecah dalam ingatanku. Tapi aku benar-benar nggak tahu, Dok. Aku takut… takut kalau ternyata itu kenangan buruk.”
Ferrin menghela napas panjang, lalu meraih bahu Grisel, menepuknya pelan. “Nggak apa-apa. Itu sudah kemajuan. Kamu bisa mengingat potongan kecil, meski belum jelas. Ingatanmu masih rapuh, jangan dipaksa. Kalau kamu memaksakan diri, tubuhmu akan bereaksi seperti tadi.”
Grisel menunduk, jemarinya meremas selimut. “Aku benar-benar ingin tahu siapa diriku sebenarnya… tapi aku juga takut apa yang akan kutemukan.”
Ferrin menatapnya dengan tenang, matanya penuh empati. “Semua orang punya masa lalu, Grisel. Entah itu indah atau menyakitkan, menghadapi kenyataan lebih baik daripada terus hidup dalam ketakutan. Tapi kita lakukan pelan-pelan, ya? Nggak perlu terburu-buru.”
Ruangan itu kembali hening, hanya ada kedamaian tipis di antara mereka. Grisel menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Sementara Ferrin menatapnya penuh keyakinan, bertekad menemani setiap langkah wanita itu dalam perjalanan menemukan dirinya kembali.
Terdengar suara langkah kaki mendekat di koridor, semakin lama semakin jelas hingga akhirnya pintu kamar Grisel terbuka. Seorang perawat muda masuk dengan wajah sedikit tergesa. “Dok, ada pasien datang,” ucapnya singkat namun sopan.
Ferrin dan Grisel sontak menoleh ke arahnya. Grisel hanya terdiam, matanya mengikuti gerakan perawat itu tanpa berkata apa-apa, sementara Ferrin langsung bangkit dari kursinya. Ia merapikan jas putih yang dikenakan lalu menatap perawat itu. “Ya, aku akan ke sana. Tolong minta pasien untuk menunggu sebentar,” ujarnya tegas namun tetap ramah.
Perawat itu mengangguk cepat, kemudian keluar meninggalkan ruangan.
Ferrin berbalik kembali ke arah Grisel. Ekspresinya melunak, ia menatap pasiennya yang masih tampak lemah di ranjang. “Grisel, aku harus pergi sebentar. Ada pasien yang menunggu. Mungkin nanti kita bisa lanjutkan konsultasi, kalau kamu sudah merasa lebih kuat.”
Grisel mengangguk pelan, berusaha tersenyum meski masih ada rasa tidak enak di hatinya. “Iya, Dok. Jangan khawatir. Aku baik-baik saja kok.”
Ferrin sempat menatapnya sejenak, memastikan bahwa ucapan itu benar. Setelah menghela napas, ia berkata lembut, “Kalau ada apa-apa, tekan saja lonceng yang kuberikan tadi. Aku akan segera datang.”
Grisel menunduk, menggenggam erat benda kecil itu di tangannya. “Baik, Dok.”
Ferrin pun melangkah keluar, meninggalkan Grisel yang kembali terdiam di dalam kamar. Wanita itu menatap pintu yang baru saja tertutup, lalu menarik napas panjang. Meski merasa aman, hatinya tetap dihantui oleh rasa takut dan tanda tanya besar tentang siapa dirinya sebenarnya.
Setelah Ferrin keluar dari kamar, keheningan kembali menyelimuti ruangan. Grisel duduk sejenak, mencoba menenangkan dirinya, lalu perlahan bangkit dari kasur. Kakinya masih agak goyah, tapi ia berusaha berjalan menuju jendela. Tirai tipis ia singkap, membiarkan cahaya sore masuk, hangat menyentuh kulitnya. Pandangannya tertuju pada taman di luar, tempat ia tadi bermain bersama dua anak kembar.
“Ke mana mereka?” gumamnya lirih, matanya menyapu setiap sudut taman. Namun, sosok dua gadis kecil itu tak terlihat. Tak ada tawa riang yang sempat membuatnya ikut larut. Yang tampak hanya beberapa pasien berjalan santai ditemani keluarga, dan seorang perawat yang menata kursi taman.
“Mungkin mereka sudah pulang…,” ujarnya kecewa, mengembuskan napas pelan. Ada rasa hampa yang tiba-tiba menyelinap. Seolah dua anak itu membawa pergi potongan ingatan yang hampir bisa ia raih.
Grisel akhirnya berbalik, namun langkahnya terhenti saat matanya tertuju pada buku yang Ferrin tinggalkan di meja samping ranjang. Sebuah buku tebal dengan sampul hijau tua. Ia melangkah mendekat, tangan gemetar ketika meraih benda itu.
“Buku apa ini?” lirihnya penasaran. Ia menatap judul yang tercetak jelas di sampul 'Psikologi Trauma dan Ingatan.'
Jantungnya berdegup lebih cepat. “Buku ini… apa mungkin Dokter Ferrin berniat membantuku memulihkan ingatanku?” gumamnya, matanya menelusuri sampul seakan mencari jawaban.
Ia lalu duduk kembali di kursi dekat meja, membuka halaman pertama dengan hati-hati. Deretan kata-kata medis, teori, dan kisah pemulihan trauma memenuhi pandangannya. Meski sulit dipahami sepenuhnya, setiap kalimat terasa berharga, seolah memberi isyarat tentang dirinya sendiri.
Dengan perlahan, ia membaca keras dalam hati, mencoba memahami bagaimana trauma bisa menekan ingatan, bagaimana otak berusaha melindungi diri dengan menutup sebagian masa lalu. Setiap paragraf seakan berbicara langsung padanya.
Grisel menggenggam erat buku itu. “Mungkin… inilah jalanku menemukan siapa aku sebenarnya,” bisiknya penuh harap.
**
Di perusahaan Nyra.
Siva melangkah perlahan di koridor kantor yang megah itu. Dinding kaca besar memantulkan sosoknya, membuatnya merasa seolah benar-benar menjadi Nyra. Namun dalam hatinya, kegugupan tak bisa ia sembunyikan. Ia berusaha tampak percaya diri, padahal ia bahkan tidak tahu di mana letak ruangannya sendiri.
Matanya menelusuri deretan pintu dengan plakat nama jabatan. Sesekali ia berhenti, pura-pura menilai keadaan kantor, padahal sebenarnya ia hanya mencari arah. Akhirnya, ia berhenti di depan sebuah ruangan cukup besar. “Ini… ruangan apa? Apa ini ruanganku?” gumamnya, lalu memberanikan diri mendorong pintu terbuka.
Begitu pintu bergerak, beberapa staf di dalamnya sontak tersentak kaget. Mereka segera berdiri, wajahnya tegang, menatap wanita yang mereka yakini sebagai CEO mereka.
“Pagi, Bu Nyra. Apa ada yang bisa kami bantu?” Salah seorang staf menyapa kikuk, suaranya hampir terbata.
Siva mengerjap, jantungnya berdetak cepat. Namun ia segera tersenyum tipis, mencoba menutupi kepanikan. “Nggak, aku hanya… berjalan-jalan saja,” jawabnya datar, lalu buru-buru menutup pintu.
Tanpa menoleh lagi, ia berjalan menjauh, berusaha tampak wajar. Tapi begitu langkahnya hilang di koridor, para staf itu saling berpandangan.
“Aneh sekali, tak biasanya Bu Nyra datang ke ruangan kita,” bisik salah seorang, menepuk dadanya lega.
“Iya, aku juga kaget. Sampai jantungku serasa berhenti,” sahut yang lain sambil tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan.
Mereka lalu kembali ke pekerjaan, tapi rasa heran masih tersisa. Nyra yang biasanya begitu tegas dan tahu arah, kini tampak berbeda, membuat keanehan kecil itu diam-diam menimbulkan tanda tanya di hati mereka.
“Ada apa ya sebenarnya Bu Nyra tadi kemari? Apa kita sedang diamati?” lontar staf lain ketakutan.
“Jangan drama gitu ah, aku rasa kita nggak buat kesalahan. Mungkin Bu Nyra hanya lewat saja tadi.”
“Tapi aneh sekali menurutku.”
“Entahlah, yang penting tadi beliau sudah bilang nggak ada apa-apa, artinya kita aman,” sahut satf lain mencoba menenangkan rekan kerjanya yang kini wajahnya menegang semua.