Ferrin melepas jas dokternya dengan gerakan lelah, menggantungnya rapi di balik pintu kamar. Tubuhnya terasa kaku setelah seharian penuh beraktivitas, membuatnya ingin bersandar sejenak di kepala ranjang yang empuk. Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan otot-ototnya yang menegang.
“Selama ini aku belum pernah merawat pasien dengan amnesia total seperti dia,” gumamnya lirih. Pikirannya kembali melayang pada Grisel. “Aku tahu rasanya pasti kosong, sakit, juga penuh ketakutan. Bagaimana dia bisa bertahan dengan semua itu sendirian?”
Ia kemudian mengingat sesuatu. “Nanti aku harus baca lagi buku psikologis tentang amnesia. Mungkin ada metode yang bisa membantu Grisel lebih cepat pulih.” Namun tiba-tiba pikirannya tersentak. “Astaga! Buku itu… bukankah tertinggal di rumah sakit? Di kamarnya Grisel!” Ferrin mengusap wajahnya frustasi sejenak, tapi kemudian menghela napas panjang. “Ah, sudahlah… mungkin besok aku bisa ambil. Semoga dia tidak membukanya, atau kalaupun iya, semoga itu bisa sedikit membantunya.”
Untuk menenangkan pikirannya, Ferrin meraih buku lain dari rak kecil di samping ranjang. Ia memang punya kebiasaan membaca apa saja sebelum tidur, mulai dari jurnal medis, buku filsafat, hingga novel klasik. Malam ini, tangannya meraih sebuah buku sastra lama dengan sampul sederhana. Membuka halaman demi halaman, ia mencoba mengalihkan pikirannya dari segala hal yang menyesakkan.
Namun, meski matanya menelusuri kata-kata di buku, hatinya tetap kembali pada Grisel. Wajah wanita itu, tatapan kosong bercampur ketakutannya, membuat Ferrin merasa aneh, seakan ada keterikatan tak kasatmata yang menuntunnya untuk peduli lebih dari seharusnya. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba mengistirahatkan dirinya. Tapi jauh di dalam benaknya, pertanyaan itu terus bergema. Siapa sebenarnya Grisel?
Di rumah sakit, malam terasa semakin panjang bagi Grisel. Ia duduk di pojokan tempat tidur, tubuhnya gemetar hebat sambil memeluk bantal erat-erat. Bayangan mimpi buruk tadi—sepasang mata tajam yang terus mengejarnya hingga membuatnya tersudut masih menempel jelas dalam benaknya. Napasnya memburu, peluh dingin membasahi pelipis.
“Aku takut… bagaimana kalau nanti saat aku tidur, mimpi itu kembali?” bisiknya dengan suara serak, seolah ruangan yang hening bisa mendengarnya.
Ia menoleh ke kanan dan kiri. Kamar itu kosong, hanya dirinya seorang. Hatinya ingin sekali keluar, sekadar berjalan ke lorong rumah sakit atau menghampiri ruang perawat. Namun, rasa canggung menahannya. 'Masa hanya karena takut mimpi aku harus mengganggu orang lain?'
Malam pun semakin pekat.
“Aku nggak boleh tidur. Apa pun caranya… entah bagaimana, aku harus tetap terjaga,” gumamnya lirih, berusaha meneguhkan diri. Pandangannya jatuh ke meja kecil di samping ranjang. Di sana masih tergeletak buku tebal milik Ferrin yang tertinggal tadi sore.
Dengan tangan gemetar, Grisel meraih buku itu. Ia membuka halaman yang sempat dibacanya, lalu melanjutkan ke halaman berikutnya. Kata demi kata ia ikuti, meski pikirannya setengah kacau. Setidaknya, membaca membuatnya lupa sejenak pada rasa takut.
Satu jam berlalu. Rasa kantuk belum datang. Dua jam berikutnya, kelopak matanya mulai terasa berat. Ia menggoyangkan kepala, mencoba melawan, tetapi tubuhnya kelelahan. Tiga jam kemudian, tanpa sadar, buku itu jatuh pelan di sampingnya, dan Grisel terlelap.
Namun tidurnya tak membawa ketenangan. Lagi-lagi mimpi buruk menyelimutinya.
Dalam mimpinya, ia kembali berada di hutan gelap. Kabut tebal menutupi pandangan. Dari kejauhan, suara langkah kaki berat terdengar mendekat. Grisel berlari, jantungnya berdetak kencang. Tiba-tiba, dari balik pepohonan, muncul sosok tinggi dengan mata berkilat menyorotinya tajam. Mata itu sama persis seperti yang menghantuinya di mimpi sebelumnya.
Grisel mencoba berlari, tetapi kakinya seperti terikat, tubuhnya sulit bergerak. Sosok itu semakin dekat, napasnya terdengar kasar. Tangan besar hampir menyentuh bahunya, dan dari mulut sosok itu terdengar suara berat, mengancam, “Kamu tak bisa lari dariku…”
“Aaakhhh!” Grisel berteriak kencang, tubuhnya terhentak. Ia terbangun dengan napas terengah-engah, keringat dingin mengalir deras. Matanya membelalak, menatap sekeliling yang mulai terang oleh sinar matahari pagi yang menembus tirai jendela.
Ia menatap jam di dinding kamar. “Pagi?” bisiknya lirih, suaranya bergetar. “Tapi… kenapa mimpi itu terus datang padaku?”
Grisel menunduk, meremas bantal di tangannya, hatinya dipenuhi rasa takut sekaligus bingung. Ia sadar, mimpi itu bukan sekadar bunga tidur. Ada sesuatu di baliknya, sebuah ingatan kelam yang mungkin masih terkubur dalam benaknya.
Di saat Grisel masih dilingkupi rasa takut dan napasnya belum sepenuhnya teratur, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Bunyi engsel yang berdecit membuat tubuhnya tersentak, jantungnya seolah berhenti sejenak. Namun, yang masuk hanyalah seorang perawat dengan senyum ramah, membawa alat pemeriksaan sederhana.
“Nona, ada apa? Apa ada sesuatu yang terasa tidak enak?” tanya perawat itu lembut sambil menutup pintu pelan.
Grisel buru-buru menggeleng, meski wajahnya masih pucat. Ia ingin sekali bercerita tentang mimpi buruknya, tentang ketakutan yang masih menempel, tetapi tenggorokannya tercekat. Kata-kata tidak bisa keluar, hanya terhenti di ujung lidah. 'Kalau aku cerita, dari mana harus mulai? Bagaimana aku menjelaskan mimpi yang bahkan aku sendiri tak mengerti?' batinnya kacau.
“Baiklah,” ujar perawat itu setelah sejenak menunggu. “Kalau tidak ada keluhan, saya periksa tensi dan kondisi lainnya, ya.”
Grisel hanya mengangguk pelan. Perawat itu kemudian dengan cekatan memeriksa tensinya, lalu menempelkan stetoskop di da-da Grisel untuk mendengar detak jantung. Semua berlangsung singkat, dan akhirnya perawat itu mengangkat wajahnya sambil tersenyum.
“Kondisi Nona baik-baik saja. Tensi normal, detak jantung juga stabil.”
“Terima kasih, Sus,” ucap Grisel pelan, suaranya serak. Namun sebelum perawat itu beranjak, ia mendadak memberanikan diri bertanya, “Sus… tunggu. Apakah Dokter Ferrin sudah datang?”
Perawat itu menatapnya sebentar, lalu menggeleng. “Belum, Non. Ada apa? Apakah Nona ingin saya sampaikan sesuatu pada beliau?”
Grisel menggeleng cepat. “Nggak, Sus. Nggak ada apa-apa.”
“Baiklah kalau begitu.” Perawat itu tersenyum lagi, lalu merapikan alat-alatnya. “Kalau ada yang terasa tidak nyaman, Nona bisa tekan bel panggil perawat, ya.”
Grisel mengangguk tanpa suara. Setelah itu, perawat keluar dari kamar, meninggalkan ruangan yang kembali sepi.
Grisel menunduk, menggenggam erat bantal di pangkuannya. Hatinya semakin diliputi rasa bingung. Ia ingin sekali mengungkapkan apa yang terjadi padanya, tentang mimpi-mimpi mengerikan itu, tapi mulutnya selalu terkunci. Yang bisa ia lakukan hanya menunggu, menunggu kehadiran Ferrin, satu-satunya orang yang sedikit memberinya rasa aman.
Sementara itu, di ruang kerja megah yang kini terasa menyesakkan, Siva duduk di balik meja besar penuh tumpukan dokumen. Tangannya gemetar saat membuka satu berkas, lalu menutupnya kembali tanpa sempat membaca tuntas. Keningnya berkerut, nafasnya berat. Frustrasi semakin menekan dadanya.
“Ini sulit sekali! Apa yang bisa kulakukan?” pekiknya lirih, suaranya terdengar serak bercampur panik.
Ia menatap layar laptop yang menampilkan laporan keuangan, grafik naik turun yang baginya seperti bahasa asing. Seberapa pun ia mencoba, otaknya kosong. Ia bukan Nyra, ia hanya Siva yang nekat menyamar—dan kini terjebak dalam peran besar yang sama sekali tidak mampu ia mainkan.
“Bagaimana kalau aku salah? Bagaimana kalau ada yang curiga?” gumamnya sambil meremas rambut. “Kalau sampai ketahuan aku menyamar sebagai Nyra, semuanya hancur. Aku pikir jadi CEO itu hanya soal kemewahan, duduk manis, kasih perintah, lalu semuanya berjalan sendiri. Ternyata… tidak. Masalah ini menumpuk dan aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana!”
Siva berdiri gelisah, berjalan mondar-mandir di dalam ruangan. Jantungnya berdebar tak karuan. Bayangan kegagalan menghantui pikirannya. Ia bisa kehilangan segalanya, termasuk identitas barunya yang sudah susah payah ia rebut.
Dengan tangan gemetar, ia kembali duduk dan menyalakan mesin pencari di laptop. “Mungkin… mungkin aku bisa belajar cepat. Cara membuat laporan keuangan perusahaan… cara membaca grafik profit… cara menilai kinerja tahunan…” Ia mengetik kata kunci dengan panik, berharap ada jawaban instan.
Namun semakin ia membaca, semakin ia merasa tersesat. Informasi yang muncul terlalu banyak, penuh istilah asing, membuat kepalanya semakin pusing.
Siva menggigit bibirnya keras. “Tidak… aku nggak boleh kalah. Aku harus menemukan cara agar semua orang percaya aku benar-benar Nyra. Aku tidak boleh gagal sekarang.”
Dengan tekad yang dipaksa tumbuh dari rasa takut, ia menatap layar lagi, mencoba memahami sedikit demi sedikit meski hatinya masih diliputi kepanikan. Dia tahu dia harus bergerak dengan cepat untuk mengatasi ketidakberdayaannya ini atau dia akan terlihat bukan sebagai Nyra.