Eps. 12 Tunangan Nyra

1333 Kata
Siva menatap layar komputernya dengan mata lelah. Jemarinya mengetik cepat, membuka berbagai situs tentang dasar-dasar laporan keuangan. Ia membaca satu per satu artikel dengan napas terengah, berusaha mencerna setiap kata secepat mungkin. “Jadi seperti ini cara bikinnya… aku harus belajar banyak,” gumamnya lirih. Pandangannya penuh tekanan, tapi juga berusaha menanamkan semangat. Di tengah kesibukan itu, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka pelan tanpa ketukan. Suara itu membuat Siva terlonjak kaget, jantungnya berdetak lebih cepat. Siapa yang berani membuka pintu ruang CEO tanpa izin? Seharusnya semua orang mengetuk lebih dulu, bukan sembarangan masuk. Ada rasa tak suka, bercampur gugup, dan juga kemarahan yang berusaha ia tahan. Perlahan ia memutar kursinya untuk menatap arah pintu. Matanya langsung membelalak ketika melihat sosok pria asing berdiri di sana. Ia tampak tinggi, tegap, dengan postur atletis yang memancarkan wibawa. Wajahnya tampan, berkelas, dengan rahang tegas dan senyum yang memukau. Kulitnya terawat, aromanya maskulin menyegarkan memenuhi ruangan. Rambutnya hitam gelap, ditata rapi dengan sentuhan elegan. Jas yang ia kenakan adalah rancangan desainer ternama, tampak pas menempel di tubuhnya. Sepatunya mengilap, jam tangannya mewah, semuanya menunjukkan status tinggi. Pria itu melangkah mendekat, senyum lebar menghiasi bibirnya. “Nyra, kamu sedang sibuk?” tanyanya lembut namun penuh kedekatan. Siva tertegun, jantungnya seperti berhenti berdetak sesaat. Siapa pria tampan ini? Mengapa terlihat begitu akrab, begitu dekat? Pria itu kembali berbicara, suaranya hangat, “Sayang, aku rindu padamu. Aku baru kembali dari Jerman, dan langsung ke sini menemuimu. Tidakkah kamu juga rindu padaku?” Deg! Siva hampir mengeluarkan umpatan marah, namun buru-buru menahan bibirnya. Pria itu baru saja memanggilnya sayang. Itu artinya… dia kekasih Nyra? Lebih tepatnya… tunangan Nyra? Dadanya bergemuruh antara panik, bingung, dan takut identitasnya terbongkar. Namun dalam kekacauan pikirannya, sebuah ide gila muncul. Ia kembali menatap Sakha intens, mengamati pria itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Betapa sempurnanya lelaki ini—berkelas, tampan, dan berwibawa. 'Sepertinya aku beruntung sekali jadi Nyra…” pikirnya. “Itu artinya… dia juga milikku sekarang.' Bibirnya sedikit bergetar, namun sorot matanya mulai berubah, menyadari peluang besar yang kini terbentang di hadapannya. “Ya, aku juga rindu padamu. Bila kamu lelah harusnya istirahat dulu baru datang kemari,” balas Siva akhirnya, mencoba menyesuaikan diri dengan peran barunya. Suaranya terdengar tenang, padahal dalam hati masih bergolak antara gugup dan tidak percaya dengan situasi yang ia hadapi. Sakha menatapnya penuh perhatian, kemudian melirik ke meja kerja yang dipenuhi berkas menumpuk dan layar laptop yang masih menyala terang. “Kamu sibuk sekali, ya?” tanyanya, alisnya sedikit terangkat. Siva langsung tersentak kaget. Jantungnya berdetak lebih cepat ketika menyadari pandangan Sakha mengarah ke layar laptopnya. Ia buru-buru menggeser kursinya, lalu dengan tangan agak gemetar menekan tombol untuk menutup halaman web yang berisi panduan laporan keuangan. “Iya, seperti yang kamu lihat,” jawabnya canggung, berusaha menutupi kegugupannya. Sakha mengerutkan kening, sedikit heran. “Tidak biasanya pekerjaanmu menumpuk begini. Biasanya kamu cepat sekali menyelesaikannya, Sayang.” Siva menegang sejenak, lalu memaksa bibirnya melengkungkan senyum. “Ya… kamu tahu sendiri, akhir-akhir ini banyak meeting. Jadi aku belum sempat menyelesaikan semua ini.” Ucapannya terdengar manis, tapi canggung. Sakha seolah mengerti. Ia menarik napas pendek lalu berkata lembut, “Kalau begitu aku datang di waktu yang salah. Kalau kamu sibuk, aku akan kembali lagi nanti. Aku hanya ingin memberikan ini padamu.” Ia kemudian mengangkat tas kecil yang dibawanya sejak tadi, lalu mengeluarkan sebuah kotak beludru hitam yang tampak mewah. Dengan senyum hangat, ia membukanya di depan Siva. Di dalamnya tergeletak sebuah kalung berlian elegan dengan desain modern namun tetap klasik, rantai tipis emas putih yang berkilau, dihiasi liontin berbentuk tetesan air besar berlapis berlian kecil di sekelilingnya. Permata itu berkilau indah, memantulkan cahaya lampu ruangan dengan anggun. Siva membelalakkan mata, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Itu… untukku?” tanyanya terbata, suaranya nyaris tak keluar. “Tentu,” jawab Sakha lembut. “Aku akan pakaikan ini di lehermu.” Tanpa menunggu persetujuan lebih lanjut, Sakha melangkah ke belakang kursi Siva. Dengan gerakan hati-hati dan penuh kelembutan, ia mengalungkan kalung itu di leher wanita yang dikiranya tunangannya. Jemari dingin Siva hampir tak bisa bergerak, sementara hatinya berdebar kencang, merasakan sentuhan lembut itu seakan mengikat dirinya pada peran Nyra yang sedang ia mainkan. “Pas sekali,” puji Sakha tulus, matanya berbinar. “Kalung ini indah di lehermu, dan kamu terlihat semakin cantik.” Siva menegang kembali, wajahnya memerah bukan hanya karena tersipu, tapi juga karena terkejut dan tak percaya. Baru kali ini ia mendapatkan hadiah semewah dan semahal itu. “Terima kasih,” ucapnya lirih. Sakha tersenyum hangat, lalu mendekat. Tanpa ragu, ia mengecup puncak kepala Siva sebelum berpamitan. Tubuh Siva seketika bergetar, merinding, jantungnya berdegup tak terkendali. Ia membeku di tempat, masih sulit memahami perasaan baru yang tiba-tiba muncul. “Sayang, aku kembali dulu ya?” ucap Sakha dengan nada hangat, penuh kelembutan. Siva yang masih canggung menatapnya, berpikir keras kalimat apa yang pantas keluar agar tak menimbulkan kecurigaan. Di tengah ribuan pilihan kata, akhirnya ia mengucapkan, “Ya, kamu istirahat saja dulu di rumah. Jangan bekerja hari ini.” Ia berharap itu terdengar seperti jawaban yang akan diucapkan oleh Nyra yang asli. Sakha tersenyum tipis, lalu melambaikan tangan sebelum melangkah keluar. Pintu ruang kerja kembali tertutup rapat, meninggalkan keheningan yang terasa melegakan. “Hah…” Siva mengembuskan napas panjang, tubuhnya terasa sedikit rileks. “Nyaris saja aku ketahuan.” Ia bersandar di kursinya, jantungnya masih berdegup cepat akibat pertemuan mendadak tadi. Lalu matanya jatuh pada kilauan yang terpantul dari lehernya. Ia menunduk, jemarinya meraba kalung berlian yang baru saja dipakaikan Sakha. “Astaga… ini indah sekali,” gumamnya. Permata itu berkilau lembut, seakan memantulkan cahaya kebahagiaan yang tak pernah ia miliki sebelumnya. “Barang mahal begini… bahkan wanginya berbeda,” bisiknya lagi, seolah bisa merasakan aura mewah yang menyelimuti dirinya. Senyum lebar merekah di bibirnya, matanya berbinar terang. Untuk sesaat, Siva melupakan kegugupannya. Rasa takut ketahuan seakan tertutupi oleh perasaan melayang, perasaan seperti sedang berada di puncak keberuntungan. Ia bahkan berputar sedikit di kursinya, seolah ingin memastikan dirinya memang benar-benar memakai benda semahal itu. “Nyra… kamu sungguh beruntung,” lirihnya, namun lalu ia tersenyum licik. “Atau mungkin… aku yang akan lebih beruntung menggantikanmu.” ** Di rumah sakit, Grisel berdiri di depan pintu kamarnya cukup lama. Hatinya menolak untuk masuk. Bayangan mimpi buruk semalam masih begitu nyata, membuat tubuhnya merinding. Dengan suara lirih dan penuh ragu, ia meminta izin kepada perawat yang sedang berjaga untuk menunggu di ruangan dokter Ferrin. Untungnya, perawat itu mengangguk dan memperbolehkannya. “Dokter Ferrin… kenapa kamu belum datang? Hampir siang begini,” gumam Grisel cemas, duduk di kursi dengan tangan yang meremas bantal kecil yang ia bawa. Entah sudah berapa kali ia menatap pintu, berharap sosok dokter itu segera muncul. Sosok yang tak kalah menawan dari Sakha, tunangannya. Ferrin memang punya pesona berbeda. Tubuhnya tinggi, tegap, wajahnya tegas dengan sorot mata tenang yang membuat orang lain merasa aman. Jas dokter putihnya selalu rapi, dan setiap langkah yang ia ambil memancarkan wibawa. Hingga akhirnya, terdengar langkah berat namun teratur mendekat. Grisel langsung menegakkan tubuhnya, jantungnya berdegup keras. Pintu terbuka, memperlihatkan Ferrin yang baru saja datang. “Grisel? Kenapa kamu ada di ruanganku?” tanyanya, mengangkat sebelah alis, jelas terkejut melihat pasiennya duduk di sana dengan wajah pucat dan sorot mata penuh ketakutan. Grisel langsung berdiri, suaranya bergetar. “Dok… tolong aku. Semalaman aku nggak bisa tidur setelah kamu pulang.” Ferrin mengerutkan kening, lalu menaruh tas kerjanya di meja. “Apa yang terjadi?” tanyanya penuh perhatian. “Aku mimpi buruk berulang, Dok… mimpi itu begitu mengerikan. Aku takut sekali, dan semua terasa nyata,” jawab Grisel, tubuhnya gemetar hebat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ferrin mencondongkan tubuh sedikit ke arahnya. “Coba ceritakan. Seperti apa mimpinya?” Grisel menggigit bibirnya, lalu berkata lirih, “Dok… aku mimpi ada sepasang mata. Mata yang tajam, mengerikan, terus mengikutiku ke mana pun aku pergi. Seolah mereka ingin menangkapku, memburuku…” Suaranya pecah, matanya berkaca-kaca. Ferrin terdiam sejenak, menatapnya lekat. Ada sesuatu dari cerita Grisel yang membuatnya ingin lebih dalam memahami siapa sebenarnya wanita ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN