Siva akhirnya kembali ke mobil dengan langkah yang sedikit gemetar. Jantungnya masih berdetak kencang, tapi ia mencoba menenangkan diri. Di dalam mobil, ia bersandar di kursi pengemudi dan memejamkan mata rapat-rapat. Tidak jelas apakah ia sedang menyesali perbuatannya atau justru berusaha menenangkan diri dari rasa takut yang membelit. Napasnya naik turun tak beraturan. “Nyra… kamu sudah mati,” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan yang ditujukan untuk dirinya sendiri. “Ya, pasti kamu sudah mati. Nggak mungkin kamu hidup setelah jatuh ke sana.” Ia mengulang-ulang kalimat itu seperti mantra, mencoba mengusir bayangan wajah Nyra yang terus menghantui pikirannya. Beberapa detik kemudian, napasnya mulai teratur. Ketegangan di wajahnya perlahan mencair, berganti dengan ekspresi lebih rileks

