Revan pulang kembali ke rumah dengan beberapa botol obat penenang, di luar resep yang diberikan dokter. Apa yang menimpa Feeya benar-benar memberikan pukulan telak terhadap mentalnya sehingga dia tak bisa bertahan lagi tanpa adanya obat-obatan itu. Juga beberapa botol minuman. Dia butuh ikhlas, dia ingin agar hatinya menerima takdir jika memang Feeya tak bisa kembali padanya. “Feeya, apa aku bersalah jika berusaha melupakanmu dan menyerah?” bisik Revan lalu meneguk, matanya memanas dan akhirnya air matanya tumpah. Lelaki tampan bertubuh tegap dan kokoh itu terpuruk sepenuhnya di lantai, memeluk foto Feeya sambil menangis tersedu-sedu. Amarah dan ketidakberdayaan membuatnya semakin jatuh semakin dalam di jurang kesedihan. “Feeya, Feeya!” raungnya pilu. Pintu rumahnya terbuka, Sekar