Vei membuka mata dan mengatakan, “Sampai mana kau mau menggendongku?” Gama menghentikan langkahnya, terdiam sejenak kemudian menjawab, “Sampai pelaminan.” Mendengar itu membuat sudut bibir Vei terangkat. “Di saat seperti ini pun kau masih bisa bergurau?” ucapnya. Gama tersenyum tipis kemudian kembali melangkah. “Harusnya kau membalasnya,” ucapnya tiba-tiba. Vei hanya diam. Sejak ia kecil, dirinya tak pernah bisa membalas Amel. Rasa trauma teringat dirinya selalu disalahkan meski dirinya diam sekalipun seakan masih membekas, menyisakan rasa trauma meski sebenarnya ia begitu ingin membalas perlakuan Amel padanya. “Apa kau sudah merencanakan ini?” tanya Vei tak berniat membahas kembali ucapan Gama sebelumnya. “Hanya untuk jaga-jaga dan untungnya, aku melakukannya. Dugaanku benar.”