Zara mencoba memberontak, tapi tenaga Arion tentu saja jauh lebih kuat. Pelukannya tidak kendur sedikitpun.
Arion menghela napas, lalu kembali menatap lekat-lekat pada Zara yang hanya setinggi pundaknya saja. Pria itu menunduk, tatapan elangnya jelas berhasil membuat gadis ini ketakutan.
Cih! Dia memang galak, tapi aslinya serapuh ini. Baru digertak seperti ini saja sudah gemetaran. Arion tersenyum miring, jelas sekali dia sedang mengintimidasi Zara.
Namun beberapa detik berlalu, tatapan mereka masih terkunci. Arion justru merasakan sesuatu yang lain. Dia seperti menyukai keadaan ini. Bukan, bukan karena dia sedang menjalani tugas dari Faris, untuk meneror dan menakuti gadis ini. Tapi dia suka situasi saat ini, murni dari hatinya sendiri. Bisa sedekat ini dengan Zara, menaklukkan si gadis galak dalam pelukannya.
Ditatap sedemikian lama, Zara kembali teringat pada kejadian malam itu. Dia mengira om-om m***m ini pasti sedang kumat lagi ganjennya. Sekali Zara mencoba berontak. Seketika Arion tersadar dari lamunannya. Dia berdeham pelan.
“Hemm Zara, akan aku lepaskan, tapi kamu harus janji, jangan teriak-teriak lagi, ini sudah malam dan ini adalah rumah, bukannya pasar.”
Ya kata siapa ini pasar?! Jelas aku tahu ini rumah, ini kan rumahku! Zara merutuk dalam hati, tapi kemudian dia mengangguk. Perlahan Arion melepas bekapan tangannya di bibir mungil Zara, lalu mengurai pelukan.
Zara langsung menarik napas dalam. “Om Arion, kenapa sih Om ini selalu ngikutin aku kemana saja?” Zara menoleh ke belakang, memastikan pintu kamar tertutup rapat. Dia takut ada orang lain yang mendengar pembicaraan mereka sekarang. Lalu kembai menatap tajam pada Arion. “Apa Om nggak puas sudah ... sudah melakukan itu padaku?” Suara Zara bergetar. Inilah pertanyaan yang ingin sekali dia ajukan pada Arion, tapi rasanya sulit sekali untuk diungkapkan.
Dengan mata yang mulai merah, Zara masih berusaha keras berani menatap Arion di hadapannya. “Apa Om nggak sadar kalau sudah menghancurkan aku? Mentalku, jiwaku, dan mungkin juga akan menghancurkan masa depanku. Aku ini masih 20 tahun, Om! Dan belum pernah ada satu orangpun laki-laki yang bisa mneyentuhku seperti itu! Om Arion yang pertama! Dan tanpa seizinku!” Zara menunjuk tepat ke wajah Arion. Merah padam wajahnya, juga kedua bola mata yang mulai berair. Saat ini, Zara sangat marah pada Arion.
Arion masih hanya membalas tatapan Zara, tanpa sepatah katapun terucap.
“Jawab, Om! Sebenarnya apa sih maunya?!” Zara menguatkan diri setengah mati supaya tidak berteriak. Tapi di setiap katanya penuh penekanan. “Kenapa kamu selalu ngikutin aku! Aku seperti diteror tau!” Kembali telunjuk Zara mengarah pada wajah Arion.
Arion berdeham pelan. Dengan tenang dia turunkan telunjuk Zara. Lalu agak membungkukan sedikit tubuh tingginya di depan gadis itu. “Dengar ya, Zara, kenapa aku selalu mengikutimu? Justru untuk menjagamu, sama sekali bukan menambah menyakitimu.”
“Ha?” Zara tidak mengerti, keningnya mengerut. “Apa maksudnya?”
Arion masih dalam posisi sedikit membungkuk di depan gadis muda belia dengan tampang plongo itu. “Apa kamu nggak sadar, kejadian satu malam itu bisa saja menumbuhkan benih superior di dalam perutmu.” Arion menunjuk ke arah perut rata Zara. “Aku ini pria normal, sehat lahir bathin, dan yang terpenting ... sangat macho!” Arion memamerkan otot-otot menyembul pada kedua lengannya. Dia tidak sadar Zara justru mulai ketakutan melihat otot bisep Arion yang terlihat kokoh.
Arion tersenyum miring. “Dan kalau memang benih itu tumbuh lalu berkembang. Sudah tentu akan menjadi janin superior. Sebab sang penanam benih adalah pria tangguh dan unggul yang tidak perlu diragukan kesempurnaannya sedikitpun. Dan aku ....” Arion mendekatkan wajahnya pada Zara. “Akan memastikan calon anakku mendapat perawatan yang terbaik sejak masih dalam kandunganmu ... Zara!” Sekarang kedua sudut bibir Arion melengkung sempurna, membentuk bulan sabit.
Zara bergidik ngeri melihatnya. Apa?! Benih katanya? Janin? Calon anak? Kandungan? Ini gila! Ini tidak mungkin! “Ah!” Zara menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Arion langsung menegakkan punggung. Tangannya terulur lalu menyentuh tangan Zara. “Zara?”
“Lepas!” Zara menepis tangan Arion dengan kasar. Detik kemudian dia berlari keluar kamar menuju kamarnya sendiri di lantai dua. Suara hujan lebih jelas terdengar daripada di dalam kamar, rupanya di luar sana hujan benar-benar turun dengan deras.
Dia terus berlari masuk ke kamarnya sendiri, lalu mengunci pintu. Tangisnya meledak sesaat setelah membenamkan wajah pada bantal. “Ini nggak mungkin!” lirihnya di sela isak tangis. Beruntung hujan benar-benar turun dengan derasnya, sehingga suara tangis Zara dapat teredam, tidak terdengar sampai keluar kamar.
Bagaimana kalau yang Om Arion katakan benar terjadi? Bagaimana kalau aku sampai hamil? Aku kan sudah dewasa, apalagi dia. Tapi aku nggak mau hamil! Aku masih ingin kuliah dan mengejar cita-cita! Bagaimana nanti dengan teman-temanku kalau sampai aku hamil? Mereka pasti malu punya teman sepertiku. Lalu bagaimana juga dengan Nathan? Dia tidak mungkin mau sama gadis yang ... ah, sudah bukan gadis lagi! Bahkan akan menjadi seorang ibu!
Tangisan Zara tidak bisa berhenti sebab dia membayangkan wajah Nathan, cowok impiannya yang dia harapkan kelak menjadi suaminya. Seraya memegang perut ratanya, lalu meremas baju tidurnya hingga kusut. “Aku nggak mau hamil. Aku nggak mau punya anak dari om-om m***m itu. Hiks ....”
Karena lelah menangis, akhirnya Zara tertidur dengan wajah sembab dan air mata yang perlahan mengering di pipi. Gadis itu bermimpi menikah dengan seseorang. Pria calon suaminya terlihat samar sedang memakai kemeja putih, tapi samar-samar pula Zara seperti melihat sebuah tanda garis panjang di bahu belakang, seperti bekas luka. Ya. Memang saat ini posisi pria itu sedang berdiri memunggunginya. Baru saja Zara akan melihat lebih dekat, pria itu telah menaikkan kemeja lalu mengancingkannya. Kemudian sekarang dia terlihat sedang memakai jas hitam yang—
Tok tok. Suara ketukan di pintu kamar semakin memburu. Awalnya biasa, selanjutnya menjadi lebih kencang juga lebih cepat.
Zara menggeliat, mengusap kedua mata yang masih terasa berat. Dia baru tersadar, ada orang yang mengetuk pintu kamarnya. “Umm ... ya sebentar,” ucapnya malas.
Langkahnya masih terhuyung untuk mencapai pintu kamar, malas sekali rasanya. Dengan kedua mata memicing, Zara melihat Astrid berdiri di ambang pintu sambil geleng-geleng kepala.
“Kenapa sih Kak pagi-pagi udah ribut aja?”
“Ini sudah jam delapan, Ra! Memangnya kamu nggak ada kuliah pagi? Papa sudah nungguin tuh di meja makan.”
“Astaga! Aku ada kuliah jam sembilan!” Brak! Pintu kamar dibanting Zara begitu saja. Meninggalkan Astrid yang langsung mengoceh panjang dengan suara tak jelas.
Setengah berlari Zara masuk ke kamar mandi. Supaya cepat, sabun badan dibuatnya untuk rambut dan wajah juga, gosok gigi sebentar dan selesai. Diraihnya setelan baju casual dari lemari. Pelembab wajah dan badan dimasukkan ke dalam tas, juga sisir, dia berniat memakainya nanti saja di mobil. Tidak lupa menyambar handphone dari atas meja nakas.
Tidak sampai dua puluh menit, Zara sudah sampai di ruang makan dengan napas sedikit tersengal. “Pa, Zara berangkat!”
“Loh? Nggak sarapan dulu, Sayang?”
“Nanti saja di kampus, Pa!” Zara langsung meraih tangan papanya yang masih memegang sendok, lalu mencium punggung tangannya. Kemudian mencium kening sang papa dan memeluknya sekilas.
Arion yang sejak tadi juga telah duduk di ruangan itu, tersenyum tipis melihat tingkah Zara.
“Sudah ya, Pa! Aku harus buru-buru supaya nggak telat. Tiga puluh menit harus sampai kampus!” Tangannya melambai sudah akan angkat kaki dari sana.
Namun spontan Krishna mencekal pergelangan tangan Zara. “Tiga puluh menit katamu?! Kamu nggak boleh bawa mobil ngebut-ngebut Zara! Papa khawatir malah kenapa-kenapa di jalan!”
“Izinkan saya yang mengantar Zara ke kampus, Pak. Demi keselamatan Zara. Saya sudah berpengalaman menyetir di segala kondisi dan rintangan.” Arion berdiri dan merapikan kerah jasnya yang sama sekali tidak berantakan.