BAB 14. Menginap

1176 Kata
Faris dan Astrid saling berpandangan. Keduanya lalu tersenyum penuh arti. “Ya waktu itu kebetulan saya lagi ada waktu luang visit ke kelas-kelas dan kebetulan saya melihat Zara sekilas. Dia dan teman-teman sekelasnya sedang menanti kedatangan saya waktu itu. Pemilik Sekolah Musik Nawasena. Mereka sangat antusias, tapi beberapa bahkan sampai melongo melihat saya ... termasuk Zara. Makanya saya sampai hapal wajah dia. Mungkin saat itu dia terpesona pada ketampanan owner Nawasena yang ternyata masih terbilang muda, tapi sudah begitu sukses.” Arion tertawa sambil sesekali melirik ke arah Zara. Zara ikut terkekeh malas sambil sesekali mengangguk. Di depannya persis tersaji sepiring ayam goreng lengkap dengan sambal gepreknya. Ingin rasanya Zara menyumpal mulut berbisa Arion dengan sambal itu. Faris terlihat kagum dengan ucapan Arion. “Wahh kalau begitu beruntung sekali adik saya ini sampai dikunjungi oleh owner Nawasena yang memiliki jadwal super padat. Kalau begitu, silakan dinikmati hidangan makan malam yang kami sajikan. Mohon maaf kami tidak bisa menyajikan yang lebih berkesan daripada yang ada di meja makan ini. Kebetulan hari ini menunya tradisional Indonesia.” “Iya, silakan dicicipi, Mas Arion. Ada ayam geprek, iga bakar, cah kangkung, tempe dan tahu bacam, sop konro. Maaf seadanya ya, Mas Arion. Ini masakan chef di rumah kami, semoga cocok di lidah Mas Arion.” Astrid menimpali. Zara tidak peduli kesibukan Faris dan Astrid melayani Arion. Dengan cueknya dia menyendokkan nasi ke piringnya sendiri lalu juga beberapa lauk-pauk. Bahkan Zara langsung makan tanpa menawari lebih dulu pada Arion. Karena Zara sudah malas melihat Arion, maka dia memilih makan sambil fokus menatap pada piring, seolah sedang menikmatinya. Padahal dia mau cepat-cepat angkat kaki dari meja makan ini. Faris berbicara lewat matanya pada Arion. Seolah sedang mengatakan bahwa begitulah sifat asli Zara. Gadis pembangkang dan tidak tahu sopan santun. Arion hanya diam dan sesekali melirik ke arah Zara. Dia mulai makan perlahan, seperti sedang membaca situasi. Tiba-tiba terdengar suara hujan turun, Faris langsung tersenyum penuh arti. Dia meletakkan sendok dan garpu di piring. “Hemm Mas Arion, sepertinya hujan turun. Apa nggak sebaiknya Mas Arion menginap saja di sini malam ini?” Zara langsung berhenti mengunyah. Ucapan Faris sungguh di luar prediksi isi pikirannya. Dia langsung mendongak dan menatap tajam pada Faris. “Hemm iya ya, hujannya cukup deras sepertinya.” Arion berlagak seolah sedang fokus mendengarkan suara rintik hujan yang hanya terdengar samar. Zara langsung menoleh dan menatap tajam Arion. “Om Arion kan naik mobil bukan naik motor. Kenapa jadi masalah kalau turun hujan? Di dalam mobil nggak akan kehujanan kok.” Ketus sekali nada suara Zara, sampai Faris dan Astrid cukup kaget juga mendengarnya. Sedangkan Arion justru berkebalikan, dia terlihat biasa saja. Tampaknya Arion sudah terbiasa dengan sikap galak gadis itu padanya. “Zara! Kok ngomongnya begitu sih? Nggak sopan loh kamu!” Astrid menegur dengan gestur tubuh seolah tidak enak hati pada Arion. Zara mendengkus kesal. “Kan memang benar, Kak. Baru kali ini aku lihat ada orang takut hujan padahal dia naik mobil. Kecuali, matanya udah agak rabun kali ya.” Arion langsung terbatuk diledek rabun oleh Zara. “Zara!” Faris melotot dari seberang meja. Zara mendengkus kesal. Dia melatakkan sendok garpu di atas piring dengan agak kencang. “Maaf ya semuanya, aku duluan, sudah kenyang soalnya.” Gadis itu menggeser kursi lalu berdiri dan melangkah lebar-lebar keluar dari ruang tamu. Faris geleng-geleng kepala. “Tuh lihat kelakuannya, kan! Begitu tuh bandelnya! Makanya gue minta tolong sama lo buat ngasih dia pelajaran. Bukan apa-apa, kasihan Papa sudah tua, harus ngadepin anak nakal begitu.” Arion mengangguk perlahan. Dia tidak menjawab, hanya sibuk berpikir sendiri. Astrid memajukan punggung. “Mas Arion, kami minta tolong sekali, beri dia pelajaran seberat-beratnya, supaya kapok dan nggak suka membantah lagi begitu. Juga biar dia tahu sopan santun!” Faris ikut memajukan punggung. “Arion, malam ini lo nginep aja di sini. Urusan papa biar gue yang bilang. Lagipula papa pasti pulang lewat tengah malam kalau sudah urusan bisnis. Malah sering sampai menginap di kantor. Ada kamar papa khusus di kantor.” Arion menaikkan kedua alis. “Oke.” Faris dan Astrid langsung tersenyum senang. Pikir mereka, Zara pasti akan merasa tidak betah, merasa diteror dan diikuti terus oleh Arion. Usai makan malam, Arion diantarkan oleh seorang pelayan ke kamar tamu utama. Di dalam kamar juga sudah dipersiapkan semuanya. Hingga ke pakaian ganti bersih untuk tidur. Pria tinggi itu duduk di tepi tempat tidur. Sibuk dengan isi kepalanya sendiri. Arion berpikir, tadinya memang dia hanya iseng saja mau membantu Faris, lagipula dia sedang suntuk karena urusan rumah tangganya sendiri. Perceraiannya dengan Donna beberapa waktu lalu, cukup menyita energinya hingga membuat Arion selalu murung dan suka menyendiri belakangan ini. Dan kehadiran Zara, membuatnya seperti punya mainan baru sebagai hiburan. Zara di mata Arion hanyalah seorang anak kecil manja dan akan mudah ngambek kalau digoda. Namun begitu, satu hal yang dia sesali, dia sudah merenggut keperawanan Zara. Arion menyesal tidak bisa menahannya waktu itu. “Huft!” Arion mengusap wajah dengan kasar. Lalu menghempaskan badan di atas kasur. “Ada apa denganku? Perasaan marahku pada Donna belum usai, sekarang harus menanggung beban perasaan pada Zara.” Arion baru saja membalikkan badan dengan posisi tengkurap, tiba-tiba pintu kamar diketuk cukup kencang. Membuatnya kaget dan nyaris melompat dari ranjang. Kembali pintu diketuk dengan tidak sabar. Arion mendengkus malas lalu berjalan untuk membukakan pintu. Dan ... betapa kagetnya dia. Di ambang pintu berdiri Zara dengan raut wajah garang, bagai siap menerkam dirinya. Di tangan kanan ada sebotol besar air mineral. Arion langsung memasang kuda-kuda, dia berjaga jika sewaktu-waktu Zara menyerang dengan botol penuh itu. Arion memperkirakan cukup berat juga isinya, lumayan kalau kena kepala. “Nih airnya!” Tanpa aba-aba Zara memberikan air di botol 1,5 liter itu, tapi tepat di d**a Arion, dengan gerakan mendorong yang cukup kencang. Arion sontak memegang botol itu dan menahan batuk. Dadanya serasa habis kena pukul. “Ehm! Huft ... apa ini?” Zara melotot. Arion bertanya seperti itu saja baginya seperti Arion habis melakukan dosa besar. “Pakai tanya segala! Bukannya Om Arion yang minta dibawakan air minum ke kamar? Mas Faris bilang Om Arion minta aku bawakan air, nggak mau orang lain! Di rumah ini ada puluhan pelayan, kenapa harus aku?! Cuma sekadar bawa air minum!” Zara tidak peduli jika teriakannya sampai terdengar ke kamar Faris di lantai dua. Masih sempat dia berpikir, papanya belum pulang. Kalau sudah pulang pastilah tidak berani berteriak-teriak begini. Karena Arion tidak menjawab apapun, hanya menatapnya dengan ekspresi dingin, membuat Zara semakin emosi. Dia sekarang berkacak pinggang. “A—ahh!” Teriakannya tertahan sebab tiba-tiba sekali Arion menarik satu tangan Zara lalu menutup pintu kamar dengan cepat. “Apa—“ Sekali lagi kalimat Zara terpaksa terputus sebab kali ini tahu-tahu dia sudah ada dalam pelukan Arion. Satu tangan Arion mampu memeluk erat tubuh ramping Zara padahal sambil memegang botol minum. Dan satu tangan lagi membekap mulut cerewet gadis itu. Zara panik. Namun dia tidak mampu berbuat apa-apa kecuali menatap Arion penuh tanda tanya. “Zara, kamu pikir aku bisa tahan lihat bibir kamu itu terus-terusan berbicara tanpa jeda? Hem?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN