Segera Zara mengalihkan pandangan. Rasa marah yang tadinya memuncak, kini berubah menjadi rasa takut. Tatapan tajam Arion beserta ucapannya bagaikan sedang menyerang mentalnya. Mau apa sebenarnya orang ini? Apa belum puas dia sudah menghancurkan masa depanku?
Arion melangkah semakin dekat, lalu setengah membungkuk di samping Zara hingga wajah mereka berdua kini hanya berjarak tak lebih dari lima senti.
“Mulai sekarang, turuti perintah saya atau ... akan banyak orang yang tahu tentang kejadian malam itu. Termasuk papa mu.”
Sontak Zara melotot, tubuhnya bergidik ngeri mendengar ancaman pria tampan tapi berhati bengis ini. “A—apa maksud Om? Ke—kenapa Om Arion ....” Zara tidak berhasil melanjutkan ucapannya. Hanya titik-titik air mata yang turun di pipi putih mulus.
Seumur hidupnya selama dua puluh tahun, baru kali ini Zara mendapat perlakuan sekejam ini dari orang yang bahkan belum dia kenal lama. Dan parahnya, dia tidak mampu mengelak.
“Sekarang, mainkan lagu terakhir yang kamu bawakan bersama Irene.” Arion hanya cukup mengucapkannya dengan nada rendah, tapi tegas dan dingin.
Zara gugup, dia berusaha menarik napas dalam beberapa kali. Lalu dengan jari-jarinya yang masih gemetar, Zara mulai memainkan lagu Waltz in A Minor karya Chopin.
Arion tersenyum tipis. Dia duduk di salah satu kursi di pojok ruangan. Dari sana dia bisa melihat dengan jelas setiap detail pergerakan Zara. Handphonenya bergetar, ada pesan masuk.
Arion merogoh saku celana. Membaca pesan yang masuk tanpa ekspresi sedikitpun. Sesekali dia masih melirik ke arah Zara.
[Jadi kamu sudah datang ke rumah? Wah! Cepat juga pergerakannya! Hebat Arion! Nanti kabari aku ya bagaimana kondisi kejiwaan si Zara itu hari ini hahahaaa. Thank you, Bro!]
[Oke.]
Hanya itu balasan singkat dari Arion. Untuk pesan yang dikirimkan oleh Faris. Ya, Faris adalah dalang dibalik rentetan musibah yang dialami Zara.
Faris dan Arion adalah teman satu kampus waktu sama-sama menempuh pendidikan bisnis di London Business School. Dulu, Faris adalah mak comblang antara Arion dengan Donna, hingga akhirnya menikah.
Jadi, beberapa waktu lalu, saat Faris minta tolong padanya, untuk membuat jera seorang gadis remaja nakal, kata Faris waktu itu. Arion langsung menyanggupinya, kebetulan dia juga sedang sangat suntuk dan ingin keluar sejenak dari rutinitas di tempat kerja maupun di rumahnya sendiri.
Menurut Arion, apa salahnya membantu Faris kali ini. Lagipula bukan hal sulit, hitung-hitung hanya untuk hiburan baginya. Hingga terjadilah sesuatu yang di luar rencana, Arion kebablasan melakukan hal ‘itu’ pada Zara. Hasrat lelakinya yang telah cukup lama terkubur, tiba-tiba bisa bangkit begitu saja oleh Zara. Entahlah, Arion juga bingung bercampur kaget setelahnya.
“Selesai.”
“Hem?” Arion mendongak. Dilihatnya Zara telah berdiri dan bagian tuts piano juga sudah tertutup rapat. Arion memiringkan kepalanya sedikit. “Memang kamu pikir sudah selesai latihannya? Baru juga satu lagu.”
Rahang Zara mengeras. Kedua tangannya juga terkepal kencang di sisi badan. “Memangnya kita sedang latihan? Dari tadi Om Arion hanya main handphone saja.”
Arion tersenyum miring. Benar kata Faris, anak ini perlu diberi pelajaran, rajin sekali membantah, pikirnya. “Saya main handphone bukan urusan kamu. Urusan kamu adalah harus tetap latihan.”
Arion berdiri, dimasukannya handphone kembali ke saku celana. Dia maju perlahan menghampiri Zara. Sesekali Zara membuang pandangan, tidak berani bila harus saling tatap lebih dari tiga detik dengan Arion. Terlalu bengis dan horor menurut Zara.
Arion terus melangkah maju, mendesak Zara hingga gadis itu duduk kembali di kursi panjang itu. “Oke! Aku harus main lagu apalagi?” Zara sampai menarik napas panjang karena sanking kesalnya dengan kelakuan pria dingin tiga puluhan ini.
Arion tersenyum tipis. “Gymnopedies. Mainkan lagu itu.”
Zara menggeleng. “Aku belum bisa.”
“Hem? Irene belum mengajarimu? Bukannya kamu sudah tiga bulan masuk Nawasena? Seharusnya—“
“Aku belum bisa, bukan berarti Kak Irene belum mengajariku. Om Arion bisa cerna kalimatku nggak sih?” Pokoknya jika ada celah sedikit saja, maka Zara akan langsung menyerang Arion. Dia tidak mau terlihat lemah di depan pria ini. Meskipun memang Arion sudah melihat gelagat ketakutan itu.
Arion membuka penutup tuts. “Perhatikan ini!” Itu perintah dan tidak mau dibantah. Mau tidak mau Zara menurut. Tiba-tiba saja Arion sudah duduk di sampingnya. Aroma maskulin dari parfum mahal yang dipakai Arion langsung menguar, menyelusup masuk ke indera penciuman Zara. Tapi gadis itu justru sengaja menghirupnya.
Arion mulai memainkan tuts piano dengan gestur tubuh dan raut wajah sangat serius. Jemari Arion memainkan lagu Gymnopedies dengan begitu lihai. Mengalun merdu sekali sehingga tanpa sadar membuat Zara terpana.
Awalnya gadis itu memperhatikan jari-jemari Arion. Indah sekali dilihat, sebab begitu lincah dan tak ada satu nadapun yang salah. Namun berikutnya justru pandangan Zara naik ke wajah Arion.
Ternyata dilihat dari samping dia sangat tampan. Pahatan wajahnya begitu sempurna. Sedekat ini aku bisa melihat ternyata dia memiliki wajah yang tidak seram sama sekali, justu ingin terus melihatnya. Benarkah dia sudah tiga puluh tahun? Masa’ iya wajah setampan ini milik seorang pria m***m?
“Masih mau latihan atau mau mengagumi wajah saya saja?” Arion menoleh dan tatapan mata elang itu kembali menghujam netra Zara.
Sontak Zara memalingkan wajah. Dia salah tingkah, tidak menyangka bisa tertangkap basah seperti ini. “A—umm ... aku haus, mau minum.” Zara berdiri.
“Saya juga haus. Bawakan air putih dingin dengan rendaman irisan lemon. Pakai gelas bening, jangan berwarna.” Arion kembali memainkan sebuah lagu.
Zara mencibir. “Enak betul main perintah saja! Memangnya siapa dia! Huh!” desis Zara berbisik. Kemudian dia membalik badan dan berjalan menuju dapur.
Arion tersenyum tipis ketika Zara sudah keluar ruangan. Dia terus bermain piano dengan begitu menikmati. Arion memang paling bisa memahami kemampuan diri sendiri. Bagaikan merasa tidak ada yang lebih sempurna dibandingkan dirinya sendiri.
Zara meletakkan gelas berisi minuman pesanan Arion di atas meja. “Minumnya aku taruh di sini.”
Arion menghentikan permainan. Dia menoleh pada Zara. “Bawa kesini minumnya.”
“Ish!” Sambil cemberut, Zara kembali mengangkat gelas itu lalu berjalan menghampiri Arion. Diberikannya gelas bening tinggi itu.
Arion memperhatikan gelas itu beberapa detik, seperti sedang mencari kesalahan jika ada yang tidak sesuai dengan pesanannya. Barulah dia minum, hanya seteguk. Kemudian kembali diberikannya gelas itu pada Zara.
“Selanjutnya kamu nggak perlu lagi mendatangi Sekolah Musik Nawasena. Saya yang akan datang kesini untuk memberikan les private.” Kemudian Arion berjalan meninggalkan ruang musik tanpa peduli wajah Zara yang langsung tersentak kaget dan menganga.
“Hah?!”