BAB 10. Mereka Iri Dengki Pada Zara

1237 Kata
Zara sengaja berdiam dulu di dalam ruang musik, dia berharap Arion segera pulang, jangan berlama-lama lagi di sini. Setelah dirasa dia cukup lama menunggu, barulah keluar ruangan. Zara berjalan perlahan menuju ruang tamu, dari sana dia bisa mengintip kaca jendela besar, apakah sedan hitam itu sudah pergi? “Zara?” Zara tersentak. Dia melepaskan gorden jendela dari tangannya. Dia baru mulai mengintip tadi tiba-tiba seseorang mengagetkannya. “Kak Astrid?” “Lagi ngapain kamu? Ngintipin siapa sih?” Astrid sang kakak ipar penasaran. Dia berjalan mendekat dan ikut mengintip ke arah luar. Namun keningnya mengernyit karena tidak melihat ada yang aneh di luar teras. Kembali Astrid menatap Zara dengan kening mengernyit. “Ah, nggak kok Kak. Aku cuma lagi nungguin Brenda. Katanya mau datang. Tapi belum sampai juga.” Astrid menaikkan kedua alis. “Untuk apa Brenda datang jam segini? Bukannya kalian sudah seharian bareng tadi di kampus?” Tatapan Astrid jelas tidak percaya pada jawaban Zara. “Mau main saja katanya.” Lalu Zara segera pergi dari sana. Karena tidak ingin menambah kecurigaan Astrid. Meskipun dalam hatinya agak merasa aneh, biasanya Astrid tidak terlalu peduli dengan urusannya. Bahkan terkesan cuek kecuali saat mendapat perintah dari Krishna, sang papa. Ya, Zara tahu persis, istri cantik Faris itu hanya selalu berpura-pura perhatian padanya. Semata karena ada Krishna di rumah ini sang pemilik segalanya. Zara yakin, jika rumah ini milik Faris, mungkin dirinya tidak akan dianggap oleh Astrid. Tapi Zara tidak terlalu ambil pusing, sebab tangki cintanya sudah selalu terpenuhi oleh semua yang diberikan sang papa, Krishna Ambara. Astrid menatap punggung Zara hingga menjauh. Dia tersenyum tipis lalu juga pergi dari sana. Seperti biasa, sambil menunggu Faris pulang kerja, dia memilih bersantai di kamar mewahnya sambil menonton film dan sesekali membalas chat dari teman-teman arisan sosialitanya. Zara melirik jam di pergelangan tangan. “Hemm baru jam empat. Sepertinya enak untuk jogging nih,” gumamnya lalu beranjak dari ranjang. Diambilnya outfit olahraga nuansa abu-abu pink, juga sepatu khusus lari dari rak besar di ruang walk in closet. Setelah pamit pada papanya yang masih sibuk di ruang kerja, Zara pun keluar untuk berlari santai di sekitar perumahan. Faris baru saja sampai, dia langsung menuju kamar di lantai dua. Sebelum masuk ke kamar, diliriknya kamar Zara di sana. Pintunya tertutup rapat. Ceklek. Astrid menoleh melihat pintu kamar terbuka. Begitu melihat sang suami yang datang, dia langsung beranjak dari sofa dan menghampiri. “Sayang, sudah pulang.” Astrid menyambut kedatangan suami dengan membantu menyimpankan tas kerjanya. Lalu menyiapkan pakaian ganti dan handuk bersih. “Mau kubuatkan kopi hangat, Sayang?” Faris menggeleng. Dia duduk di tepian tempat tidur. “Itu nanti saja. Yang penting sekarang aku mau mendengar tentang Zara dan Arion. Bagaimana? Tadi kamu lihat mereka, kan?” Penuh antusias Faris menatap Astrid. Kedua netranya sampai membulat dengan sorot tidak sabar. Astrid tersenyum sambil mengerling sebentar pada pintu kamar yang sudah tertutup rapat. “Lihat dong, Sayang. Tadi waktu Zara baru saja datang, melihat Arion sedang duduk di ruang tengah bersama Papa. Wuihhh! Mukanya langsung pucat pasi loh! Aku kan ngintip tadi. Hihiii lucu banget ekspresinya!” Astrid terkikik sambil menutup mulut. Faris ikut terkekeh. Dia merasa sangat puas, sebab Arion mau menuruti permintaannya untuk datang ke rumah. Dia bisa membayangkan, pasti Zara sangat terkejut dan panik tadi. “Aku yakin, rencana kita pasti berhasil. Anak itu pasti akan minggat dari rumah ini! Yahh setidaknya dia akan ngerengek minta ngekost sama papa. Atau lebih baiknya lagi, dia akan pindah kuliah ke luar negeri. Bagaimana menurut mu, rencana ini cukup menguntungkan kita, kan?” Astrid tampak berpikir sebentar. “Hemm ... iya sih, Mas. Memang menguntungkan untuk kita, tapi hanya untuk sementara waktu. Jadi, itu saja belum cukup kalau menurutku.” Kening Faris mengernyit. “Maksudmu? Kan nanti kalau Zara sudah nggak tinggal di rumah ini lagi. Kita bisa mulai menguasai rumah ini. Kita bisa rayu papa untuk minta ini dan itu tanpa harus khawatir dicegah oleh Zara. Iya, kan? Atau ...” Kini Faris yang tampak berpikir. “Atau apa, Mas?” “Atau ... kita bisa buat papa sakit. Sudah pasti, penanggung jawab perusahaan akan dialihkan padaku.” Faris tersenyum penuh arti, dia menatap sang istri lekat-lekat. “Nggak mungkin kan perusahaan sebesar itu diserahkan pada Zara yang manjanya bukan main? Sudah pasti hancur itu perusahaan kalau Zara yang pegang kendali.” Astrid menjentikkan jari dan tersenyum sumringah. “Suami aku cerdas banget deh!” Dia langsung memeluk erat Faris. Terbayang nanti dirinya akan menjadi istri dari seorang CEO. Ya, Astrid membayangkan Faris sebentar lagi akan diangkat menjadi CEO baru dari perusahaan besar Ambara Group. Namun detik kemudian Astrid mengurai pelukan dan senyumnya hilang seketika. “Eh iya, Mas, jangan lupakan Pak Dewangga! Dia kan orang kepercayannya papa, tangan kanannya papa di kantor. Apa-apa pasti sama Pak Dewangga deh yang urus.” “Hemm iya juga ya. Tapi ... demi masa depan kita, rintangan apapun itu harus bisa kita lewati. Aku akan bayar orang untuk mengurus si Dewangga. Pokoknya, istana ini dan perusahaan papa yang sangat besar itu, harus menjadi milik kita!” Faris membentangkan kedua tangan lebar-lebar. Astrid kembali memeluk sang suami dengan erat. Dia juga tidak sabar akan menjadi nyonya besar. Selama ini memang dia telah sangat beruntung menikmati fasilitas mewah di rumah ini. Namun tetap saja dia harus patuhi segala peraturan dari Krishna di sini. Dan juga harus rela melihat Zara mendapatkan lebih segala-galanya dibandingkan dirinya. Zara selalu diperhatikan istimewa oleh Krishna. Sedangkan dirinya, justru diminta menjaga Zara seperti menjaga adik sendiri, begitu titah Krishna. Ingin sekali Astrid menolak, tapi apalah daya, dia hanya menantu di rumah megah ini. Istri dari Faris, yang sebenarnya bukan anak kandung Krishna. “Mas Faris.” “Hemm?” “Kalau Mas Faris berhasil menaklukkan papa dan menyingkirkan Zara, maka aku akan menjadi nyonya besar di rumah ini. Aku akan selalu setia melayani Mas Faris dan memberikan kepuasan yang tidak tertandingi. Yang penting, Mas Faris harus berhasil.” Astrid tersenyum sambil membuka kancing kemeja Faris satu persatu. Diusapnya lembut d**a sang suami. Membuat Faris bergetar karena belaian lembut itu. Faris ikut tersenyum. “Kamu tenang saja, Sayang. Aku pasti berhasil. Tapi untuk saat ini, aku butuh bantuanmu untuk menyingkirkan Zara. Bisa, kan?” Astrid mendongak, menatap sang suami lekat-lekat. “Tentu bisa, Sayang. Apapun akan kulakukan, untuk masa depan kita. Nanti, kalau semua sudah menjadi milik kita, aku janji akan mulai program hamil. Demi kamu, Mas.” Sontak kedua bola mata Faris berbinar. Memiliki seorang anak adalah salah satu impian terbesarnya. Selama dua tahun menikah dengan Astrid, belum ada tanda-tanda kehamilan sang istri. Namun Astrid hanya terlihat santai, tidak ada keinginan untuk berusaha lebih. Dan sekarang, setelah istrinya berucap seperti itu, semangat Faris untuk memiliki keturunan kembali berkobar. “Sayang! Aku senang sekali mendengarnya!” Faris langsung mengecup bibir ranum Astrid Astrid ikut terkekeh senang. Dia kembali mengusap ada bidang Faris lalu melepaskan kemejanya. “Mandi dulu, ya. Sudah mau gelap loh ini, sudah jam enam.” Faris mengedipkan sebelah mata. “Sebelum mandi, aku mau yang satu itu dulu, supaya nambah semangat aku.” Faris mengusap kepala istrinya dengan lembut. “Mau apa?” Astrid pura-pura tidak tahu. “Mau kamu, Sayang.” Faris tidak ingin menahan lagi. Dia langsung mengangkat tubuh ramping Astrid lalu merebahkannya di atas ranjang empuk mereka. Detik kemudian Astrid sudah menggeliat tak karuan di atas ranjang karena kedua tangan nakal Faris yang mulai menggerayangi setiap lekuk tubuh molek istrinya. Desahan-desahan pun mulai lolos dari mulut keduanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN