BAB 19. Buaya Darat Beraksi

1142 Kata
“Kalau boleh tahu, pikiran Arion yang mana yang kamu bilang kuno?” “Yahh ... dia kan tahu persis karirku di dunia model sedang di atas, tapi entah kenapa dia tuh kayak nuntut aku ingin punya anak gitu loh. Aduh ... pokoknya aku nggak paham deh jalan pikirannya. Egois banget, Ris!” “Ohh.” Faris terus menatap lekat-lekat pada Donna. Dia mencerna semua kalimat wanita cantik ini. Sang model profesional dengan wajah dan bentuk tubuh begitu sempurna. Donna memutar kedua bola matanya dengan malas. “Nggak aku kira sama sekali, Ris. Tampilan dia yang sangat modern dan memiliki wawasan luas, ternyata punya jalan pikiran sekolot itu. Aku hanya minta, tunggu sampai nanti waktunya, kita akan punya anak, tapi bukan sekarang di saat aku masih menikmati pekerjaan ini. Giliran dikasih ide angkat anak saja, dia malah nggak setuju! Ribet banget, kan?” Donna mengernyitkan kening. Faris tersenyum sambil sedikit memiringkan kepala. Sesekali dia mengangguk pelan. Untuk saat ini Faris sedang memposisikan diri berada di pihak Donna, apapun yang dia katakan. Itulah strategi manusiawi seorang lelaki normal yang sedang tergiur keindahan dunia di depan mata. “Menurut kamu bagaimana, Ris? Yaa semisal nih ya, istrimu adalah aku?” “Hem?” Kedua alis Faris sontak terangkat. “Misal, Ris. Ini misal. Istrimu adalah seorang model yang karirnya sedang melambung, apa kamu akan memaksanya untuk hamil saat ini juga? Padahal istrimu itu dalam posisi lagi kebanjiran job dan dia sangat menikmati dunianya sekarang. Hem?” Donna menuntut jawaban. Faris tersenyum hangat. Lalu menggeleng perlahan dan memberikan tatapan seolah dia sedang sangat berempati pada Donna. “Tentu saja aku tidak akan seegois Arion. Bagiku, kebahagiaan istri adalah kebahagiaan ku juga. Justru aku akan selalu mendukung keputusannya, sekali lagi ... asalkan dia bahagia.” “Nah!” Donna menjentikkan jari dengan sorot mata bersemangat. “Kenapa sih Arion nggak bisa berpikiran begitu? Heran deh!” Faris kembali tersenyum hangat. “Oke. Jadi ke depannya bagaimana? Rencanamu?” Donna tampak berpikir sejenak. Kemudian dia tersenyum tipis, tapi begitu manis. “Aku akan fokus pada karirku, pada kebahagiaan diriku sendiri. Aku akan melupakan Arion dengan segala kenangannya, supaya nggak mengganggu fokus ku.” Bukan itu jawaban yang Faris inginkan. Tapi tetap saja dia mengangguk seolah langsung setuju dengan keputusan Donna. Faris mengancungkan dua jempol tangannya. “Two thums up, Don! Aku suka wanita cerdas yang sangat memahami dirinya sendiri! Apalagi wanita cerdas yang sepaket dengan kecantikannya, luar biasa!” Donna senyum tersipu. Wajah putih mulusnya langsung terlihat rona merah muda yang semakin menambah kadar kecantikannya. “Lalu, kalau untuk urusan asmara, bagaimana ke depannya? Apa yang kamu inginkan?” Donna kembali tampak berpikir. Raut wajahnya begitu serius meskipun segaris senyuman melengkung di bibir ranumnya. Baru saja Donna akan menjawab ketika pintu diketuk lalu dibuka dari luar. Seorang pelayan masuk dan meletakkan semua pesanan di atas meja. Tidak lupa dia menanyakan apakah ada yang dibutuhkan lagi? Setelah Faris dan Donna merasa tidak ada yang kurang, barulah pelayan itu keluar kamar kembali. “Silakan diminum, Don.” Faris membantu menyiapkan sedotan untuk Donna. Dia bahkan belum menyentuh gelasnya sendiri sebelum Donna mulai minum. “Terima kasih, Ris.” “Jadi, bagaimana?” Kening Donna mengernyit. “Hem? Bagaimana apanya?” Dia bingung, kemana arah pertanyaan Faris. Rupanya jeda tadi membuatnya lupa obrolan mereka sampai di mana tadi. “Hemm pura-pura lupa karena nggak mau jawab kayaknya. Urusan asmara? Maumu bagaimana ke depannya?” Donna langsung terkekeh. “Ya ampun! Aku beneran lupa loh. Oke oke, aku jawab nih.” Faris memajukan punggung. Dia sungguh sangat menanti jawaban ini. Sambil terus memperhatikan Donna, tangannya meraih garpu dan pisau, lalu mulai memotong rib eye steak di atas piring. “Seperti yang aku bilang tadi, aku mau memulai sesuatu yang baru. Yang tidak banyak menuntut dan membuatku pusing. Yang penting bahagia dan sama-sama suka menjalaninya. Jadi yaa ... nggak akan ada yang merasa terbebani.” Donna kembali meneguk minumannya. Faris tersenyum penuh arti. “Umm ... kalau sesuatu yang baru itu adalah, cinta lama bersemi kembali, bagaimana, Don? Cinta lama yang sudah pasti akan menerima, karena tidak mau lagi merasakan pahitnya kehilangan yang sama.” Setelah mengucapkan itu, Faris sengaja mengalihkan pandangan dari Donna. Memilih menunduk dan fokus menyelesaikan potongan steak yang terakhir. Donna menatap Faris tanpa berkedip. Bahkan bibirnya sedikit terbuka. “A—apa maksudmu, Faris?” Potongan daging sudah sempurna di atas piring. Faris meletakkan kembali garpu dan pisaunya bahkan tanpa mengeluarkan suara. Kemudian dia kembali menatap lurus ke depan. Ke seberang meja, pemandangan indah yang dia yakin akan segera dia reguk. “Aku, Don. Tidakkah kamu paham, kenapa aku mencari kamu lagi sekarang? Setelah kamu berpisah dari Arion? Tiga tahun, Don. Tiga tahun masa pernikahanmu dengan Arion, selama itu juga aku menunggumu. Dan sekarang, aku nggak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.” Mantap sekali kalimat Faris sampai sempat membuat Donna tertegun beberapa detik. Khas wanita normal. Akan selalu luluh pada rayuan keromantisan yang tepat. “Tapi Ris ... kamu kan sudah punya istri.” Bahkan Donna turut hadir bersama Arion saat hari pernikahan Faris dan Astrid, di sebuah ballroom mewah hotel bintang lima. Dan menurut Donna saat itu, Astrid begitu cantik dengan pesona khas wanita Indonesia. Faris tersenyum. Tapi seperti dipaksakan. Dia memasang raut wajah seperti orang yang sedang menyimpan luka mendalam. Namun seolah sedang berusaha menutupinya. Padahal justru terlihat kentara sekali ada yang sedang disembunyikan. Membuat Donna penasaran. “Kenapa, Ris? Ohh jangan bilang nasib pernikahanmu sama denganku!” Donna menutup mulutnya dengan kedua tangan. Faris menggeleng perlahan. “Nggak, Don. Pernikahanku dengan Astrid masih utuh, itu yang terlihat dari luar dan akan terus begitu. Sebab pernikahan ini semata untuk mendongkrak nama perusahaan. Hanya demi menjaga nama baik papaku di dunia bisnis. Tapi di dalam pernikahan itu sendiri, hambar rasanya, Donna.” Faris menunduk. Raut wajahnya tampak begitu sendu. Hati Donna tersentuh. Perlahan dia memegang punggung tangan Faris di atas meja. Diam-diam Faris tersenyum tipis sekali. Berhasil! Umpanku tepat dan kamu sudah masuk perangkapku, Cantik! Faris kembali menaikkan wajah, menatap lekat-lekat pada Donna di depannya. “Donna, rasa cintaku hanya untuk kamu. Meskipun aku menikah dengan Astrid, tapi aku tersiksa, Don. Karena ... kamu yang selalu ada di pikiran aku.” Tatapan mata indah Donna penuh haru. Wanita mana yang tidak akan tersentuh perasaannya disanjung sedemikian hebat. Apalagi tatapan kedua netra Faris di depannya tampak berkabut. “Ohh Faris, aku nggak nyangka ternyata sedalam itu perasaanmu. Kukira dulu kamu dan Arion hanyalah sebatas rasa suka anak remaja.” Faris segera menggeleng. “Jangan samakan aku dengan Arion, Donna! Aku nggak akan mampu menyakitimu apalagi membiarkanmu pergi. Arion begitu tega tidak mempertahankanmu padahal aku sudah berkorban perasaan.” Tanpa Donna sadari, tangannya kini justru dalam genggaman Faris, di atas meja. “Donna, izinkan aku menjadi lembaran barumu. Aku berjanji akan selalu meratukanmu. Kita tidak perlu terikat janji apapun itu, terpenting kita jalani dengan rasa bahagia. Apa kamu bersedia?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN