Bab 5

1202 Kata
Viana menatap Evan dalam diam. “Aku tidak tahu harus menjawab apa,” gumamnya jujur. “Semuanya terasa terlalu cepat.” Evan bangkit dari kursinya. Langkahnya tenang saat ia berjalan mengitari meja dan berhenti di depan kursi roda Viana. Ia berjongkok, menatap wajah wanita itu dari bawah, lalu meraih tangannya dan menggenggamnya dengan lembut. “Aku tak ingin kehilanganmu, Viana,” ucapnya pelan. “Sekalipun kau tak mengingatku sekarang, aku masih mencintai kau seperti dulu. Bahkan mungkin lebih dari sebelumnya.” Viana menunduk, menatap tangannya sendiri yang digenggam Evan. “Entahlah, Evan. Aku benar-benar bingung,” bisiknya hampir tak terdengar. Evan terdiam sesaat, lalu menjawab dengan suara dalam, “Aku mencintaimu. Sangat. Bahkan jika kau berubah, aku tetap akan memilihmu, Viviana.” Viana menelan ludah. Kata-kata itu begitu manis, tapi justru karena itulah hatinya mencelos. “Aku... akan berusaha,” ujarnya akhirnya. Senyum di bibir Evan mengembang, lalu ia berdiri perlahan. “Terima kasih, Sayang.” Ia mencium kening Viana sekilas, kemudian mundur dan kembali ke kursinya. Viana kembali menunduk, memandangi makanan yang sudah dingin di piringnya. “Dan Evan... bisakah kau mengantarku menemui ayahku?” tanya Viana lirih. Evan tak langsung menjawab. Ekspresinya berubah, seolah sedang mempertimbangkan hal itu dengan serius. Viana menahan napas. Ia menatap pria itu tanpa berkedip. Permintaannya sederhana, ia hanya ingin bertemu ayahnya yang sedang koma. Jika Evan benar-benar mencintainya seperti yang selalu ia katakan, maka pria itu tidak akan menghalangi permintaannya, bukan? Tapi jika pria itu menolak—atau bahkan mencoba menghindar—maka kecurigaan yang selama ini ia pendam akan tumbuh semakin kuat. Hening menyelimuti mereka beberapa detik, hingga akhirnya Evan menarik napas pelan. Sebuah senyum tipis perlahan muncul di wajahnya “Tentu saja. Kita akan menemuinya besok pagi.” Mata Viana langsung berbinar. Ia tersenyum lega. “Terima kasih,” ujarnya senang. Evan balas tersenyum. “Kau tak perlu berterima kasih, Sayang. Aku tahu betapa pentingnya ayahmu bagimu. Dan aku akan melakukan apa pun agar kau merasa nyaman.” Viana menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, lalu mengusap perutnya pelan. “Aku kenyang… dan agak mengantuk,” gumamnya jujur. Evan kembali bangkit dari kursinya tanpa berkata apa-apa, lalu berjalan menghampiri Viana. Ia berjongkok di depan kursi roda, lalu menyelipkan satu tangan merengkuh Viana. “Hei…!” Viana buru-buru bersuara saat tubuhnya terangkat dari kursi roda-nya. “Kau tak perlu melakukan ini. Aku bisa pakai kursi roda.” Tapi Evan tak menggubris. Ia tetap mengangkat tubuh Viana dengan hati-hati dan menggendongannya. “Aku merindukanmu,” bisik Evan lirih di dekat telinga Viana. “Biarkan aku melakukan ini.” Viana seketika terdiam. Ia menoleh pelan, menatap wajah pria itu dari jarak sangat dekat. ‘Kuakui dia memang tampan,’ gumamnya dalam hati. Evan melangkah perlahan menyusuri lorong menuju kamar, langkahnya mantap dan penuh kehati-hatian. Pelayan yang kebetulan lewat segera menunduk sopan dan menjauh tanpa suara. Saat sampai di kamar, Evan membuka pintu dengan siku, lalu masuk dan langsung menuju tempat tidur. Ia menurunkan Viana pelan-pelan ke atas ranjang. “Sudah cukup nyaman?” tanya pria itu. Viana mengangguk mantap. “Sangat nyaman. Terima kasih.” Evan mengusap rambut Viana dengan lembut, lalu menunduk dan mengecup kening wanita itu untuk kedua kalinya hari itu. “Tidurlah, Sayang,” ucap Evan. “Aku akan tetap di sini.” Viana membuka mata perlahan. “Kau tidak ikut tidur?” Evan tersenyum lembut, lalu melepaskan jam tangannya, dan meletakkannya di atas nakas. Tanpa banyak bicara, ia menaiki ranjang dari sisi lain dan berbaring di samping Viana. Viana membalik tubuhnya perlahan agar menghadap Evan. Mereka bertatapan sejenak. “Kau tidak lelah?” bisik Viana. “Aku tidak ingin tidur dulu,” jawab Evan pelan. “Aku hanya ingin berada di sisimu.” *** Pagi harinya, Viana membuka matanya perlahan. Ia terperanjat sedikit saat pandangannya langsung tertumbuk pada Evan yang berdiri di samping ranjang, mengenakan kemeja putih bersih dan tengah mengancingkan manset bajunya. “Tuhan! Kau mengagetkanku,” seru Viana, suaranya masih serak karena baru bangun tidur. Evan menoleh padanya dan tersenyum manis. “Selamat pagi, Sayang,” ucapnya lembut. “Bangun dan bersiaplah. Aku akan mengantar kau ke rumah sakit sebelum ke kantor.” Viana masih menatap pria itu dengan mata setengah terbuka. Ia mengusap wajahnya perlahan. “Pukul berapa sekarang?” “Delapan lewat sepuluh,” jawab Evan sambil merapikan kerah bajunya. Viana mengangguk pelan dan menguap, tangan kirinya terangkat menutupi mulut. Matanya masih terasa berat dan tubuhnya belum sepenuhnya siap meninggalkan tempat tidur super nyaman itu. Evan melangkah mendekat begitu Viana mulai menggeliat hendak bangun. “Jangan paksakan dirimu,” ucapnya sambil menunduk dan menyentuh bahu wanita itu dengan hati-hati. “Biar aku bantu.” Dengan gerakan mantap, Evan menyelipkan satu tangan di belakang punggung Viana, dan satu lagi di bawah lututnya, lalu mengangkat tubuh wanita itu dari tempat tidur dalam hitungan detik. “Lagi?” gumam Viana, separuh terkejut, separuh pasrah. “Aku suka memelukmu pagi-pagi begini,” jawab Evan ringan, senyumnya mengembang kecil. Viana mengalihkan pandangan, berusaha menyembunyikan rona merah di wajahnya. Entah kenapa, ia tak bisa menolak pelukan itu. Saat Evan melangkah menuju kamar mandi, benak Viana mulai dipenuhi berbagai prasangka. ‘Apa dia akan membantuku mandi?’ pikirnya gugup. ‘Tuhan. Aku bahkan belum bisa mengingat tentangnya. Apakah kami… sering mandi bersama? Apakah hal semacam ini biasa dilakukan Evan padaku dulu?’ Pipi Viana kian merona. Ia bahkan tak berani menoleh untuk menatap pria itu. Namun begitu sampai di ambang pintu kamar mandi, Evan tidak langsung masuk. Ia justru berhenti, lalu menoleh ke arah pelayan wanita yang entah sejak kapan berdiri tak jauh di belakang mereka sambil membawa handuk bersih di lengannya. “Bantu Viana mandi dengan hati-hati,” ujar Evan pada pelayan wanita itu. “Pastikan kakinya tidak terlalu banyak digerakkan.” Pelayan itu mengangguk sopan. “Baik, Tuan.” Evan menunduk ke arah Viana yang masih berada dalam gendongannya. Tatapan matanya hangat dan lembut. “Aku tunggu di ruang makan.” Viana hanya bisa mengangguk pelan. Ia tak tahu harus lega atau kecewa. ‘Oke. Jadi dia tidak akan membantuku mandi. Syukurlah,’ pikirnya lega. Tapi kemudian muncul suara kecil lain di dalam kepalanya. ‘Tapi kenapa aku kecewa?’ Evan menurunkan Viana dengan hati-hati di dekat pintu kamar mandi, lalu menyerahkannya pada pelayan yang sudah menunggu. Ia menatap Viana sejenak, mengangguk kecil tanpa berkata apa-apa, kemudian berbalik dan melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Viana menunduk dalam diam. Hari itu baru dimulai, tapi pikirannya sudah riuh oleh pertanyaan yang bahkan tidak bisa ia jawab sendiri. “Mari, Nona. Saya bantu mandi,” kata pelayan wanita itu dengan nada lembut dan sopan. Viana menoleh, ragu sejenak, lalu mengangguk kecil. “Baik.” Pelayan itu memapah Viana masuk ke dalam kamar mandi yang luas dan terang. Uap hangat mulai memenuhi udara saat air mengalir dari pancuran. Viana duduk di kursi khusus yang telah disiapkan, dan pelayan wanita itu mulai membantu melepas baju tidurnya dengan hati-hati, memastikan kakinya yang masih dibalut gips tetap aman. Suhu air dibuat hangat, dan gerakan tangan pelayan itu begitu hati-hati saat membersihkan tubuh Viana. Tak ada percakapan di antara mereka selama beberapa menit. Namun akhirnya, Viana membuka suara untuk memecah keheningan. “Boleh kutanya sesuatu?” gumamnya ragu. Pelayan itu menoleh singkat, lalu tersenyum kecil. “Tentu, Nona.” “Apa biasanya aku dan Evan romantis?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN