Mobil hitam itu meluncur mulus di jalanan kota.
Di kursi belakang, Viana duduk bersandar dengan tenang. Tangannya terlipat di pangkuan, sementara sorot matanya menerawang ke luar jendela. Meski tubuhnya terlihat tenang, namun pikirannya belum bisa lepas dari percakapan saat di kamar mandi tadi.
‘Maaf, Nona. Saya baru bekerja di sini satu minggu yang lalu, jadi saya tidak bisa menjawab pertanyaan Anda. Tapi dari yang saya dengar, Tuan Evan sangat mencintai Anda.’
Jawaban sederhana dari pelayan baru itu masih menggema di benak Viana. Tidak cukup memuaskan, tapi juga tidak sepenuhnya kosong. Bahkan seorang pelayan baru bisa melihat atau setidaknya mendengar betapa Evan sangat mencintainya.
Tapi apa itu cukup? Apakah cinta versi Evan adalah jenis cinta yang bisa ia percayai?
“Hey. Memikirkan apa?” suara Evan menyentak lamunannya.
Viana menoleh cepat, baru sadar bahwa pria itu ada di sampingnya. Senyum tipis tersungging di bibirnya.
“Bukan apa-apa,” jawabnya pelan. “Aku hanya… gugup karena akan bertemu dengan Ayahku.”
Kebohongan kecil yang terasa pahit di lidahnya.
Evan mengangguk perlahan. “Itu wajar.”
Viana tidak menjawab lagi. Ia kembali menatap keluar jendela, dan diam-diam menggenggam jemarinya sendiri yang dingin.
Tak lama kemudian, mobil melambat, lalu berhenti tepat di depan pintu utama rumah sakit.
Alex segera keluar dari kursi pengemudi dan berjalan ke bagasi untuk mengambil kursi roda Viana.
Evan turun lebih dulu, lalu menunduk ke arah Viana. Ia merengkuh tubuh wanita itu dengan hati-hati.
“Pegang leherku,” ucapnya singkat.
Viana menurut, dan dalam sekejap tubuhnya sudah terangkat dari jok mobil.
Dengan penuh kehati-hatian, Evan menurunkannya ke kursi roda yang sudah diambilkan oleh Alex. Tanpa banyak bicara, ia lalu mendorong kursi roda itu dan masuk ke dalam lift.
“Aku sangat gugup,” gumam Viana pelan begitu lift mulai bergerak naik membawa mereka ke lantai empat.
Evan tak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya meletakkan satu tangan di punggung Viana dan mengusapnya lembut.
Ting!
Bunyi khas lift menandakan mereka telah sampai. Pintu logam terbuka perlahan, dan lorong yang sunyi terbentang di depan.
Evan mendorong kursi roda Viana keluar.
Dari kejauhan, pandangan Viana langsung tertumbuk pada seorang wanita paruh baya dengan rambut cokelat kemerahan yang disisir rapi. Wanita itu berdiri tegak di depan pintu ICU, mengenakan mantel elegan berwarna abu-abu dan clutch kecil di tangannya.
Wanita itu menoleh. Matanya langsung tertuju pada Viana, mengamati dari ujung kepala hingga kaki. Tatapannya tak ramah, seperti menilai sesuatu yang tidak ia sukai sejak awal.
Viana menegang. Firasatnya langsung berteriak. Inilah wanita yang diceritakan Evan—ibu tirinya.
Viana menelan ludah, lalu memberanikan diri membuka suara meski sedikit ragu.
“Apa kau… Helena?” tanyanya ketika kursi roda-nya berhenti tepat di depan wanita itu.
“Jadi kau akhirnya datang juga,” ucap wanita itu.
Evan yang sedari tadi berdiri di belakang Viana, lantas melangkah maju. “Viana hanya ingin menemui ayahnya. Ini bukan tempat atau waktunya untuk menyulut konflik, Nyonya Winslow.”
Helena Winslow memutar bola matanya pelan. Lalu menyingkir untuk memberi jalan.
Dengan gerakan perlahan, Evan mendorong kursi roda Viana melewati pintu ruang ICU yang dibuka oleh seorang perawat jaga.
Ruangan itu hanya dihuni satu pasien.
Ayah Viana terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan selang oksigen di hidung dan beberapa peralatan medis yang terhubung ke tubuhnya.
Langkah Evan terhenti di sisi ranjang.
“Jadi, ini ayahku?” tanya Viana pelan.
Evan mengangguk. “Iya.”
Viana menatap wajah pria yang terbaring itu lama. Ia tidak merasakan apa-apa. Tidak sedih. Tidak haru. Tidak juga takut. Hanya perasaan aneh yang menggantung di antara kebingungan dan jarak.
“Dia terlihat... seperti orang baik,” gumamnya pelan, ragu dengan ucapannya sendiri.
Evan menunduk, tak segera menanggapi.
“Kenapa dia koma?” tanya Viana lagi.
“Pendarahan otak.”
Viana menarik napas pelan. Matanya tetap tertuju pada sosok tak berdaya di ranjang itu. “Berapa lama dia begini?” tanyanya.
“Sudah lama,” jawab Evan singkat.
Tak ada lagi pertanyaan. Viana hanya duduk diam, membiarkan tatapannya melekat pada wajah ayah yang tak ia ingat, seolah berharap ada kenangan yang muncul, atau rasa apa pun yang bisa menegaskan hubungan mereka. Tapi tetap saja… kosong.
Beberapa menit berlalu dalam kesunyian.
“Aku ingin pergi,” gumam Viana. Suaranya datar, tapi cukup jelas.
Evan mengangguk tanpa membantah. Ia segera mendorong kursi roda menjauh dari ranjang, lalu keluar dari ruang ICU tanpa berkata-kata.
Tidak ada Helena di luar. Wanita paruh baya itu sudah pergi.
Di pelataran rumah sakit yang mulai ramai oleh aktivitas pagi, Viana duduk tenang di kursi rodanya. Evan berdiri di sampingnya, pria itu menatap layar ponsel sejenak sambil sesekali melirik ke arah jalan masuk. Mereka sedang menunggu Alex yang tengah memutar mobil ke area penjemputan.
Tiba-tiba, suara langkah tergesa terdengar dari arah samping. Seorang wanita muda dengan rambut bergelombang sepundak dan jaket denim mendekat dengan wajah penuh keterkejutan.
“Viana!” seru wanita itu.
Viana menoleh cepat, menatap wanita itu dengan bingung. Wajahnya sama sekali tidak familiar.
“Tuhan, Viana… ini benar-benar kau. Apa yang terjadi?” Wanita itu tampak syok melihat Viana duduk di kursi roda.
“Kau siapa?” tanya Viana.
“Kau tidak mengenaliku?” Wanita itu tercengang, lalu buru-buru mendekat. “Ini aku, Claire! Kau tiba-tiba menghilang dan membuat sutradara murka—syuting jadi kacau!”
Kening Viana berkerut. “Sutradara?”
Wanita bernama Claire itu mengangguk. “Ya. Proyek film pendek yang kita kerjakan sebelum kau menghilang. Tuhan, Viana… apakah kau mengalami kecelakaan? Kenapa tidak ada kabar sama sekali? Seharusnya kau menghubungiku!”
Viana terdiam. Matanya membelalak samar, mencoba mencari potongan-potongan ingatan yang sesuai. Namun tidak ada—ia tidak bisa mengingat Claire, apalagi sutradara dan proyek film pendek yang dibicarakan wanita itu.
Evan segera melangkah maju, tubuhnya setengah menghalangi Claire. “Viana sedang dalam masa pemulihan. Kami minta pengertiannya.”
Claire tampak bingung, lalu menatap Viana lagi. “Pemulihan?”
Viana mengangguk lemah. “Ya. Dan aku kehilangan ingatan,” jawabnya jujur.
Mata Claire setengah membulat. “Astaga. Benarkah? Pantas saja kau tidak mengenaliku.”
Tepat saat itu, mobil hitam milik Evan berhenti di pelataran rumah sakit. Alex turun dari sisi pengemudi dan membuka pintu belakang dengan sigap.
Evan mencengkeram pegangan kursi roda, tatapannya hanya melintas dingin pada Claire sebelum beralih cepat ke Viana. “Kita pulang,” ujarnya singkat, lalu mendorong kursi roda dengan cepat.
Viana menoleh ke arah Claire yang terpaku. “Bisa kita bertemu lagi nanti?”
Namun belum sempat Claire menjawab, Evan sudah membungkuk dan menyelipkan lengannya di bawah tubuh Viana. “Evan, tunggu—” protes Viana, tapi pria itu tetap mengangkatnya dan mendudukkannya di kursi penumpang belakang.
“Viana!” seru Claire, tampak ingin menyusul.
Evan segera masuk dan duduk di sampingnya. Ia menutup pintu dengan cepat sebelum Claire sempat mendekat.
Alex langsung menjalankan mobil, dan mobil hitam itu melaju cepat meninggalkan pelataran rumah sakit.
Viana bersandar ke kursi, matanya menatap Evan tajam dengan rahang mengeras. “Kenapa kau melakukan itu?”
Evan menoleh santai. “Apa?” sahutnya datar.
“Kau tampak seperti menghalangi aku berinteraksi dengan wanita bernama Claire itu,” seru Viana kesal.
Evan menghela napas pelan. “Aku tidak menghalangi. Aku hanya tidak ingin kau kelelahan.”
Viana mendengus kecil. “Kau tahu itu bukan alasan, Evan.”