Evan tak bergeming mendengar desis kesal Viana. Ia hanya menatap wajah wanita itu tanpa mengalihkan pandangan. “Kenapa? Karena aku mengatakannya dengan jujur?” Wanita itu memalingkan wajah cepat-cepat, matanya menatap lantai marmer butik yang bersih sempurna. Tapi Evan tahu, pipi Viana semakin merah. Mungkin di masa lalu ia bukan gadis polos yang baru mengenal sentuhan pria. Tapi bersama Evan... semuanya selalu terasa seperti ranjau emosi yang bisa meledak kapan saja. “Sudahlah,” gumam Viana. “Kau bisa keluar. Aku akan meminta staf wanita membantu.” Namun Evan malah menarik napas pendek. “Aku tidak akan menyakitimu, Viana. Aku hanya ingin memastikan kau mengenakan sesuatu yang nyaman dan pantas.” Viana kembali menatap suaminya itu, kali ini lebih tajam. “Dan kau pikir aku tidak bis