Viana baru saja ingin menikmati hari indahnya. Namun dari meja sebelah, terdengar suara tawa ringan dua wanita berpakaian mewah, kacamata hitam besar yang masih bertengger di kepala, dan aroma parfum tajam yang menyeruak sampai ke meja Viana. “Kasihan sekali, ya,” gumam salah satunya dengan nada setengah berbisik, tapi jelas bisa didengar oleh Viana. “Ke restoran semewah ini… sendirian… dan pakai kursi roda.” Temannya tertawa pelan. “Aku heran, siapa yang akan membayar? Dia tidak terlihat mampu. Atau mungkin dia berharap dikasihani dan ditraktir oleh orang lain?” Viana tidak menoleh, tapi ia mendengar semuanya. Kata-kata itu meluncur seperti sembilu halus, menyayat pelan namun pasti. Ia tak langsung membalas semua hinaan itu, namun hatinya mulai panas. “Aku pernah lihat yang seperti di