“Karena kau terlihat sangat ingin berdansa,” jawab Evan santai. Viana tercekat, refleks mendongak menatap suaminya itu. “Aku tidak—” “Tidak apa?” Evan memotong cepat, matanya menatap lurus ke dalam mata Viana. “Tidak ingin? Atau tidak berani menginginkan?” Ujung kalimat itu menggantung seperti belati di udara. Viana terdiam. Bibirnya memang terbuka, tapi lidahnya kelu. Keheningan di antara mereka seolah mengurungnya. Dan tepat saat atmosfer itu memuncak, getaran halus dari ponsel di saku celana Evan memecahkan ketegangan. Evan berdeham singkat, kembali menguasai situasi. Ia perlahan menuntun Viana kembali ke kursi roda. Setelah memastikan ia duduk dengan nyaman, barulah Evan merogoh ponselnya. Nama Alex terpampang jelas di layar. “Aku harus menerima telepon,” katanya, nada suaranya