Jantung Viana berdentum begitu keras hingga terasa memekakkan telinga sendiri. Tatapan tajam Evan membuat napasnya tercekat, dan saat tangan pria itu perlahan terulur ke arahnya, tubuhnya otomatis menegang kaku. Begitu jemari Evan berhenti di lehernya, Viana sontak memejamkan mata rapat-rapat. “Aku memang salah,” suaranya bergetar samar. “Tapi, kurasa keterlaluan jika kau mencekikku karena itu,” ujarnya lirih. Satu detik. Dua detik. Lima detik. Tak ada tekanan di lehernya. Tak ada hukuman. Alih-alih mencekiknya, Evan hanya menghela napas pelan, jemarinya sekadar menyentuh sisi leher Viana yang tergores. “Kita obati lukamu,” ucap pria itu rendah. Mata Viana langsung terbuka lebar. Ia menatap wajah suaminya dengan bingung. “K-kau … tidak akan menghukumku?” tanyanya ragu. Senyum mir