Pria berambut klimis itu sempat terdiam beberapa detik, sorot matanya masih menatap Viana seolah berusaha keras menggali ingatan yang samar. Namun begitu menyadari atmosfer tegang yang mulai tercipta, senyumnya kembali muncul. “Ah, maafkan saya,” ujarnya terkekeh canggung. “Saya kira pernah melihat Anda, tapi mungkin saya salah.” Viana mengangguk kecil walau rasa heran masih tersisa di matanya. Sementara Evan, pria itu hanya menatap pria berambut klimis tanpa senyum. Rahangnya tetap mengeras, dan jemarinya yang bertumpu di atas meja mengetuk pelan seolah memberi peringatan agar pria berambut klimis berhenti sampai di sini. Pria berambut klimis itu segera merespons ketegangan itu dengan sikap lebih formal. Ia kemudian menyerahkan dua buku menu pada Evan dan Viana. “Silakan dipilih,” uj