Suasana rumah Mr. Green malam ini tidak begitu ceria. Emily yang biasanya terlihat bersemangat pun tampak sedikit berbeda. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Hal itu disadari sang ayah.
"Anak Dad sedang memikirkan sesuatu?"
Pertanyaan menyelidik dilontarkan pria berkaus putih yang sedang menikmati seladanya. Matanya menatap penuh tanya sekaligus khawatir ke arah malaikat kecilnya. Pria itu sampai menahan kunyahan demi mendengar jawaban sang anak.
"Dad, mungkin tidak Mbok Sekar jadi mommy Mily?" Bukan sebuah jawaban yang didapat Mr. Green, melainkan sebuah pertanyaan mengejutkan. Hampir saja laki-laki itu tersedak selada yang sedang dikunyahnya. Rasa gurih mayones dan segarnya daun hijau di mulutnya tiba-tiba sirna. Buru-buru ia mengambil air putih yang terhidang di depannya, lalu meneguknya perlahan. Laki-laki itu tampak lebih baik setelah air di gelas berkaki itu tandas. Ia bersiap membuka mulut.
"Em, stop bercanda tidak jelas!"
"Serius."
Pria itu tercengang. Dalam pikirannya, ia curiga pengasuhnya telah mencuci otak sang anak. Logika Mr. Green tidak bisa melihat apa spesialnya gadis pengasuh itu hingga Emily begitu sayang. Baginya, Sekar tidak beda jauh dengan gadis-gadis lain. Laki-laki itu bahkan berpukir, mungkin juga bukan hanya dirinya yang punya motif tersembunyi.
"Em, sampai kapan pun Mommy tidak akan tergantikan." Mr. Green meletakkan sendok berlumur mayones itu di piring. Daun hijau dan segala jenis sayuran mentah yang tadi ada di sana, kini telah tandas.
Emily menunduk. Ia mengerti, mungkin permintaannya memang tidak masuk akal. Akan tetapi, rasa nyamannya saat bersama Sekar tidak dapat diabaikan begitu saja. Emily merasa butuh sosok ibu seperti Sekar.
Sekali lagi, Emily menatap sang ayah. Lalu, ia turun dari kursi makannya. Gadis kecil berkepang dua itu berlari ke kamar.
Mr. Green hanya dapat menghela napas berat. Haruskah ia menuruti permintaan sang anak? Ah, sepertinya tidak mungkin, batinnya kemudian.
"Permisi, Mister, ada Pak Rio di depan."
Tiba-tiba suara Sekar membuyarkan lamunan Mr. Green yang begitu dalam.
"Baik, suruh dia ke ruang kerja saya."
"Baik, Mister. Permisi." Sekar mengangguk.
"Ya."
Gadis itu berbalik badan dan meninggalkan ruang makan di mana Mr. Green duduk. Mata pria itu mengamati gerakan tubuh Sekar saat berjalan. Ia masih tidak dapat menemukan sesuatu yang istimewa.
"Permisi, Mister."
"Kenapa lagi?"
"Biar saya yang merapikan alat makannya."
"Bagus."
Laki-laki itu bangkit sekaligus menggeser kursinya ke belakang. Dengan tergesa, ia meninggalkan ruang makan dan menuju ruangan kerjanya. Tidak lupa, disempatkannya mengintip kamar sang anak. Mr. Green tertegun mendengar isakan dari balik selimut.
Hati ayah mana yang tidak sedih mendapati sang anak begitu merindukan ibunya. Tanpa sadar, air mata menggenang. Hampir menetes.
"Mister, kok, ada di sini?"
Laki-laki berambut cokelat dengan jambul sedikit berantakan itu terkejut. Ia buru-buru mengusap kelopak matanya. Mr. Green merasa tidak baik menampakkan kerapuhan.
"Ah, tidak apa-apa," jawabnya gugup.
***
Di pangkuan Sekar, Emily menumpahkan segala kesedihan. Ia mengaku sangat merindukan sang ibu. Mendengar itu, Sekar seolah-olah sedang melihat masa lalunya sendiri.
Emily terus meracau. Sekar yang memang paham rasanya tidak memiliki seorang ibu, ikut terbawa suasana. Bening di matanya tumpah.
Sekar kecil hanya bisa memperhatikan teman-temannya yang bisa bermanja dengan sang ibu.
"Mbok Sekar paham."
"Mbok Sekar tahu kesedihan Mily?"
"Tentu."
Emily mengerjap. Ia merasa punya celah untuk merayu Sekar. Dan, ia sangat yakin Sekar akan dengan mudah mengiyakan keinginannya.
"Mbok Sekar sayang Mily?"
Sekar mengelus rambut kepang anak asuhnya.
"Sangat."
Emily masih menatap wajah ayu sang pengasuh.
"Mbok Sekar mau jadi apa mommy Mily?"
"What?"
"Mommy, istri Dad."
Sekar bukan gadis yang bermimpi semuluk itu. Bahkan, di saat gadis lain-lain bercita-cita memiliki pacar bule, dirinya justru sedikit ngeri. Apalagi jika menilik perbedaan perawakan mereka dengannya.
"Mbok Sekar tidak pantas jadi mommy Em. Mbok Sekar juga bukan kekasih Dad. Suami istri itu harus saling mencintai."
Sekar menjelaskan sebisanya.
Terus terang, Sekar tidak habis pikir dengan tingkah Emily yang begitu getol membujuknya. Padahal tadi pagi-pagi sekali mereka sudah membicarakan hal itu. Akan tetapi, siangnya diulang.
"Mbok Sekar tidak ingin bersama Mily?"
Sekar hanya takut kalau-kalau Mr. Green justru akan mengira dirinya memanipulasi Emily. Secara logika, anak kecil seusia Emily tidak mungkin merayu seorang gadis untuk menjadi ibu sambungnya. Apalagi gadis itu hanya seorang pengasuh.
***
"Kamu tahu, baru saja aku ke kamar Em," kata Mr. Green perlahan. Bibirnya mengisap rokok yang baru saja diambilnya dari laci meja kerjanya. "Dia menangis. Dan, aku sedih tidak bisa memberikan apa yang dimintanya." Laki-laki itu menyemburkan asap rokok tepat di hadapan Rio. Dokter berusia 35 tahun itu hanya mendengkus.
"Dia minta apa?"
Mr. Green menceritakan apa yang diminta anaknya. Rio mendadak tertawa. Ia sungguh tidak menyangka akan permintaan anak sahabatnya itu.
"Dia paham ilmu psikologi mungkin?"
Rio mencoba menelaah.
"Entah. Tapi Emily begitu sayang padanya. Aku pun heran." Mr. Green terus mengisap rokoknya. Ia terlihat begitu menikmati.
Rio yang tidak merokok pun kali ini hanya diam. Ia membiarkan sahabatnya menenangkan diri dengan caranya. Rio paham betul kebiasaan laki-laki itu saat sedang kalut. Menenggak alkohol, merokok, kadang pergi ke night club dan berakhir dengan one night stand.
Akan tetapi, sejak kepergian Ellea, laki-laki itu sudah tidak pernah lagi main-main dunia malam. Ia seperti sudah bertobat. Benar-benar menjadi laki-laki alim. Dan, Rio semakin bersimpati kepada sahabatnya itu.
Ditatapnya mata biru Mr. Green yang kosong. Entah apa yang sedang dipikirkannnya. Yang jelas, Rio bertekad untuk membantu.
"Kamu sendiri tidak tertarik padanya?"
"Tertarik?" Mr . Green tergelak. Mengejek.
Rio menarik napas dan mengembuskannya.
"Dia cantik. Kulitnya eksotis. Masih kurang?"
"Kurang."
Rio menggeleng. Sahabatnya memang sedang tidak dalam suasana hati yang tepat untuk diajak berbincang. Akhirnya Rio memilih untuk pamit.
"Aku pulang dulu."
Mr. Green mengangguk. Ia tidak ingin mengatakan sesuatu kepada Rio. Makanya, Rio keluar ruang kerja itu pun tak diantarkan olehnya.
Ia hanya terus mengisap batang rokoknya.
Wajahnya masih tertengadah.
"El, benarkah aku sudah gila seperti kata Rio?" Mr. Green tergelak sendirian. Menertawakan kebodohan dirinya sendiri.
Sedangkan di kamar Emily, Sekar sedang mengelus-elus rambut cokelat yang kini tergerai di bantal merah jambu. Sepasang mata kecil itu sudah terpejam. Napasnya terdengar halus di telinga Sekar.
Perlahan, Sekar menghentikan elusannya.
Ia kemudian bergegas mematikan lampu kamar, menggantikannya dengan lampu tidur di sudut kamar.
"Sekar!"
Sekar menoleh ke arah suara.
Tidak ada siapa pun.
"Siapa pun kamu, aku tidak suka diganggu."
Sekar bergegas keluar kamar Emily.
"Sekar!"
Sekar kembali mendengar namanya dipanggil.
"Siapa?"
Sekar mencari sumber suara. Dilihatnya pria itu di sana. Di ambang pintu ruang kerja yang berjarak sekitar 3 meter dari tempatnya berdiri. Mau tidak mau, Sekar menghampiri si pemanggil.
"Kamu mau menikah denganku?"
"Menikah?" Sekar terkejut. Keringat dingin tiba-tiba saja mengucur deras. Ia benar-benar seperti mimpi. Sama sekali tidak pernah terpikirkan dalam kepalanya bahwa ia akan diajak menikah oleh majikannya sendiri.
"Kamu mau?"
Wajah laki-laki itu terlihat serius.
"Ta-tapi mana mungkin?"
Laki-laki yang kini menyandarkan tubuh ke kusen pintu kayu ulin itu tiba-tiba menunduk. Menekuri lantai marmer berwarna gelap. Segelap pikiran pria itu saat ini. Saking gelapnya hingga ia tidak sadar apa yang sedang dilakukannya sekarang.
Mr. Green memangkas jarak dengan Sekar.
Saat mereka semakin dekat, Sekar dapat mencium aroma menyengat dari laki-laki tinggi di depannya. Bau alkohol yang sangat tidak disukainya. Gadis itu mencoba bertahan demi menghormati majikannya.
"Kita bahkan sudah berkali-kali berciuman."
Mr. Green menyeringai. Jarak mereka makin dekat, hingga tubuh keduanya hampir bertumbuk. Sekar yang terkejut mendengar kalimat Mr. Green, makin menjadi saat kulitnya hampir bersentuhan dengan milik sang majikan. Tanpa disadari, kakinya mundur beberapa langkah.
Melihat Sekar yang menghindar, Mr. Green berusaha menjangkau dengan tangan kekarnya. Laki-laki yang sudah dikuasai alkohol dalam jumlah cukup banyak itu seolah-olah sudah tidak peduli lagi siapa Sekar. Yang ia ingin malam ini hanya sebuah jawaban 'mau' dari mulut gadis itu.
"Saya memang bukan wanita terpandang, tapi saya tidak ingin menjadi murahan, Mister." Sekar mencoba bernegoaiasi. Ia yakin laki-laki itu hanya sedang tidak dalam suasana hati yang baik.
"Kalau kamu tidak murah, mana mungkin kamu datang pada saya? Merayu saya. Kamu pura-pura lupa?"