Suhita baru saja ke dapur dan menyeduh kopi pas jam menjelang makan siang. Ia membuat secangkir cappuccino instan yang memang sengaja disiapkan sang majikan. Denting sendok beradu dengan keramik bermotif bunga menciptakan nada indah di telinga.
"Mbok Yan, boleh ngobrol sebentar?"
"Ngobrol tentang apa?"
"Tentang yang Mbok Yan bilang tadi pagi."
"Ada hubungannya sama Mr. Green?"
"Iya, yang tadi pagi itu."
"Ya, kenapa memang?"
"Maksud Mbok Yan apa sebenarnya?"
Wayan Suhita menoleh ke arah arloji di pergelangan kirinya. Beberapa menit lagi, ia dan Mr. Green akan pergi menemui klien. Akhirnya ia memutuskan untuk menceritakan kejadian semalam kepada Sekar secara singkat. Namun, Suhita tentu tidak mau ketahuan.
"Ngobrolnya di kamar kamu saja."
"Nah, ayo, Mbok!"
Mereka bergegas menuju kamar sempit di dekat kamar mandi. Sekar mempersilakan Wayan Suhita untuk duduk di ranjangnya. Ia kemudian menutup rapat pintu kamar itu agar tidak ada yang mengganggu.
Wayan Suhita menyeruput kopi. Mengamati wajah Sekar yang menunggunya. Kemudian, ia mulai bercerita. Cerita yang dilihatnya.
Kepada Sekar, Suhita bercerita bagaimana paniknya Mr. Green mendapati gadis itu pingsan. Ia juga menyinggung tentang gaun yang Sekar pakai. Suhita kemudian balik bertanya kepada Sekar, "Kamu ngapain malam-malam masuk ke ruang kerja Mr. Green?"
"Aku ndak tahu, Mbok."
Suhita menautkan alis.
"Terus maksud kamu, Mr. Green yang culik?"
***
Malam kian larut, Sekar sudah berbaring di kamarnya. Ia masih sibuk memikirkan kata-kata Wayan Suhita. Juga tentang gaun yang tiba-tiba dipakainya semalam. Sekar sama sekali tidak ingat dari mana ia mendapatkannya.
Suara Bonbon di luar kembali terdengar.
"Bon, kenapa selalu gonggong malam-malam?"
Sekar menggerutu. Ia turun dan bermaksud menengok Bonbon di kandangnya. Sekar hanya ingin memastikan bahwa rumah majikannya aman. Itu saja. Namun, baru saja kakinya ingin melangkah ke arah pintu, lampu kamarnya berkedap-kedip. Hawa dingin menyergap.
Sekar berusaha tenang dan mencari jaket.
Akan tetapi angin kencang kali ini membuka paksa pintu kamarnya yang tertutup. Sekar sedikit panik. Ia tak menyukai hal itu.
Jaket di belakang pintu disambarnya.
"Sekar."
Suara itu lagi.
"Siapa sebenarnya kamu?"
"Aku, Ellea. Istri Jevin. Kamu adalah mediaku."
"Media?"
Di saat bersamaan, tubuh Sekar mengejang.
Gonggongan Bonbon makin kencang. Angin bertambah dingin. Sekar yang sudah dirasuki Ellea bergegas menuju ruang kerja Mr. Green.
Gadis itu melemparkan jaket yang tadi disambarnya. Ia juga berganti pakaian terlebih dulu di kamar yang sama dengan kemarin. Kamar yang digunakan untuk menyimpan segala macam barang milik Ellea.
"Jev, I'm coming."
Pukul 23.15 WITA bukan jam istirahat untuk Mr. Green. Ia terlalu mencintai pekerjaannya, hingga tidak rela membiarkan mereka menumpuk. Laki-laki itu bahkan kuat begadang berhari-hari saat ada yang harus dikerjakannya.
"Sekar?"
Mata keduanya bertatapan. Mr. Green berdiri menatap tubuh mungil yang melangkah gemulai ke arahnya. Tidak ada lagi logika dalam kamus hidup laki-laki itu saat ini. Dari kacamata Mr. Green, Ellea hidup dalam tubuh Sekar.
Wanita itu kini di hadapannya.
"Aku datang, Sayang."
Segera, Sekar menggelayut manja di tubuh berotot yang apabila dalam keadaan sadar sangat ditakutinya itu.
"I miss you."
Laki-laki itu sudah tidak sanggup menolak.
"Ah, Jev."
"Jangan pergi lagi, El!" bisik Jevin yang sudah memajukan wajahnya ke area leher gadis di pangkuannya.
Keduanya mulai meniti jalan setapak menuju puncak. Saling memacu gerak. Mengikis jarak. Hingga desah mereka berarak.
"Jevin," desah si wanita dalam rengkuhan gairah sang tampan. Keduanya lupa daratan. Mabuk kepayang. Saling serang.
Andai mereka tahu, ada sepasang mata lain yang menatap dengan sedih.
"Itu bukan aku, Jev. Tolong jangan teruskan!" Ia tergugu. Hancur melihat kedua insan itu diperbudak nafsu.
Adegan panas kedua insan berlainan jenis kelamin itu terhenti. Lagi-lagi, Sekar pingsan. Mr. Green terduduk lemas. Ia bolak-balik menatap tubuh polos nan mungil itu. Ingin rasanya ia melanjutkan kegiatannya yang lagi-lagi harus terhenti. Akan tetapi, nalurinya tidak mengizinkan. Ia bukan b******n. Bahkan ia sungguh tidak mengerti dengan apa yang dilakukannya saat ini. Tangannya mengepal. Gigi-giginya gemeletuk.
"Stupid!"
***
Pagi-pagi sekali Jevin sudah menunggu Sekar bangun. Ia khawatir akan keadaan gadis itu. Semalam, ia tidak lagi menghubungi Rio.
Laki-laki itu hampir terjaga sepanjang malam. Ia bolak-balik mengintip Sekar dari jendela kamar gadis itu yang sengaja dibiarkan terbuka oleh Mr. Green demi mempermudah pemantauan. Ia sungguh-sungguh khawatir.
Andai saja ia tidak mudah percaya akan mimpi-mimpinya, mungkin gadis itu tidak akan mengalami hal seburuk ini. Jevin menyesal. Ia merasa begitu egois. Harusnya ia tidak melibatkan siapa pun dalam urusan pribadinya. Akan tetapi, semua sudah terjadi.
Mungkin dengan memulangkan Sekar akan membuatnya lepas dari masalah.
"Dad," sapa Emily terkejut.
Anak itu mengamati dengan saksama gerak-gerik sang ayah di depan kamar Sekar. Ia bertanya-tanya dalam hati apa yang sedang ayahnya lakukan sepagi ini di depan kamar pengasuh anaknya. Akan tetapi gadis kecil itu belum berniat mengonfrontasi sang ayah saat ini.
Mr. Green yang tertangkap basah oleh sang anak menjawab gelagapan. Ia beralasan tadi mendengar Sekar berteriak. Untuk itu ia datang bermaksud menolong. Hal itu janggal di telinga Emily.
"Tapi sepertinya Daddy salah dengar."
Laki-laki itu menggaruk leher.
"Daddy aneh."
"Apa yang aneh?"
Emily tidak menjawab sang ayah, melainkan mengetuk pintu kamar Sekar.
Melihat itu, Mr. Green kabur.
"Hai, Em," sapa Sekar.
"Mbok Sekar sudah bangun?"
"Ah, maaf sepertinya badan Mbok agak kurang sehat." Suara gadis itu serak. Emily menatap iba sang pengasuh baik hati itu.
"Mbok hari ini istirahat, Mily bisa siapkan makan sendiri. Hari ini libur. Mbok Sekar boleh libur juga, ya."
Emily mengusap-usap lengan Sekar. Kemudian, ia menyuruh gadis itu untuk kembali tidur. Setidaknya hal itu dapat mempercepat penulihannya.
Setelah itu, Emily pamit.
"Terima kasih banyak, Em."
Emily mengecup kening sang pengasuh. Mata biru itu menatap sekali lagi gadis yang pagi ini terlihat begitu lemah. Tubuh gadis itu pun terasa panas. Hal itu membuat Emily berencana kembali dengan kompres.
Benar saja, beberapa saat Emily pergi, tiba-tiba sudah kembali dengan baskom kecil berisi air hangat. "Mily kompres dulu, ya, Mbok."
"Mbok jadi merepotkan Em."
Senyum manis di bibir bocah 8 tahun itu terkembang sambil menggeleng. Ia sama sekali tidak keberatan dan merasa repot. Ia malah senang bisa menolong.
"Dad bilang, jadi anak yang suka menolong adalah salah satu ciri anak hebat."
Sekar sekali lagi dibuat terkagum-kagum.
Di saat anak-anak lain seusianya sibuk meminta uang jajan, Emily sudah berpikiran untuk menolong orang lain. Apalagi orang itu hanya berstatus sebagai pegawai ayahnya. Dalam artian bukan teman atau keluarganya.
"Dad pasti bangga sama Em."
Sekar mengelus rambut cokelat yang masih berantakan itu. Meski begitu, Emily tetap terlihat cantik dan memukau. Sangat relevan dengan kecantikan hati malaikat kecil itu. Hal yang benar-benar membuat Sekar jatuh cinta begitu saja kepada sosoknya. Sosok anak kecil yang bertingkah macam peri cantik baik hati.
"Mbok Sekar bangga sama Mily juga?"
Dengan semangat, Sekar mengangguk.
"Tentu."
Emily refleks memeluk Sekar. Ia mendekatkan telinganya di d**a gadis pengasuh itu. Hingga debaran jantung Sekar bisa didengarnya.
"Mbok, maukah Mbok Sekar jadi mom Mily?"
Deg!
"Em, tidak mudah untuk memutuskan."
Sekar benar-benar tidak tahu harus menjelaskan dengan cara apa kepada Emily.
"Mbok cukup bilang 'mau', maka Mily akan mengurus Dad," ucap gadis cilik itu.
"Em, menikah tidak semudah itu."
Kali ini Emily terdiam. Mendunduk. Kemudian setitik air jatuh dari ekor matanya.
"Mbok Sekar tidak benar-benar sayang sama Mily. Kalau sayang, mana mungkin Mbok membiarkan Mily sedih?"
Serba salah, Sekar memejam.
"Em, Mbok Sekar bukan type Dad. Em tidak kasihan jika Dad harus menikah dengan orang yang tidak disayanginya?" Sebuah jawaban yang sukses membuat Emily seolah-olah tersadar dari lamunan.
Gadis cilik itu mengangguk.
"Em paham, Mbok."
Sekar menatap anak itu.
"Tolong maafkan, Mbok."
"Bukan salah Mbok jika Mily menjadi piatu."
"Em...."