Pagi ini Sekar merasakan terbangun dengan tubuh yang seakan-akan telah dipukuli orang sekampung. Tulang-tulangnya ngilu. Namun, demi menunaikan tugas, ia tetap turun dari ranjangnya. Derit kaki ranjang sedikit membuat telinga Sekar sakit. Kedua tangan Sekar refleks menutupi telinga.
Jam di dinding sudah menunjuk angka lima. Biasanya sepagi itu Sekar sudah di dapur untuk menyiapkan sarapan Emily. Untuk itu, Sekar terburu-buru melangkah keluar kamar dengan kondisi kakinya yang belum begitu sembuh. Saat gadis itu sampai di depan kamar mandi, matanya menangkap sosok laki-laki berotot sedang menghadapi kompor.
Sekar bingung, ia sungguh tidak enak jika sang majikan harus menyiapkan sarapan untuk Emily. Padahal Sekar dibayar untuk itu. Dengan tekad bulat, ia menghampiri sang majikan.
"Permisi, Mister," sapa Sekar, "Biar saya saja yang menyiapkan sarapan untuk Emily." Gadis itu menampakkan gigi-gigi putihnya di hadapan laki-laki berusia 40 tahun itu. Namun, bukannya balas tersenyum atau paling tidak menjawab sesuatu, ia hanya menatap sekilas Sekar sebelum akhirnya pergi.
"Emily akan sakit perut saat makan makanan tidak higienis," kata laki-laki yang kini sudah di balik punggung Sekar dengan sedikit berteriak.
"Maksud Mister?"
"Kamu yakin tubuhmu sudah higienis?"
Sekar paham maksud sang majikan.
"Baik, saya mandi dulu," kata Sekar.
"Gosok dengan bersih sampai semua nodanya hilang." Kalimat itu diucapkan Mr. Green dengan pelan. Namun, entah mengapa terdengar tidak enak di telinga Sekar. Akan tetapi, gadis itu berusaha mengabaikan.
Lain Sekar, lain pula Mr. Green. Laki-laki itu justru mencuri pandang ke arah gadis berambut hitam pekat yang sedang bergegas ke kamar mandi. Pikirannya melayang ke peristiwa semalam.
"Dad!" jerit bocah berambut cokelat yang terlihat masih lecek penampilannya.
"Eh, hai," gagap sang ayah.
Laki-laki itu terlonjak saking terkejutnya. Sang anak malah tertawa riang. Merasa senang membuat ayahnya terkejut.
Bocah 8 tahun itu kemudian menuju lemari pendingin guna mengambil keju.
"Pagi ini mari kita sarapan roti bakar keju!"
Anak itu mengoceh sambil mempersiapakan bahan yang akan diolahnya.
"Em, Daddy minta omelet saja. Bisa?" tanya Mr. Green kepada sang anak yang sibuk dengan berbagai bahan di tangannya. Sang anak menyahut hanya dengan kerlingan mata kirinya. "Tapi nanti, saat anak Daddy sudah mandi."
"Ah, percayalah Dad, perut Daddy akan baik-baik saja. Emily paham tabiat ayahnya yang sangat tidak menyukai orang mengolah makanan dalam keadaan belum mandi. Laki-laki itu memang menyukai segala bentuk kebersihan, bahkan, ia mau menyeduh kopi pun harus mandi terlebih dahulu. Dan, itu salah satu alasan ia tidak suka memiliki pelayan, selain memang sudah terbiasa mandiri sejak kecil. Mr. Green kecil selalu dituntut untuk bisa melayani dirinya sendiri. Jadi, wajar saja jika terbawa sampai saat ini. Mandiri dan perhatian.
Beberapa menit berlalu, Sekar sudah selesai mandi. Ketika ia keluar dari kamar mandi, matanya menangkap sosok Emily yang asyik membakar roti. Aroma khas roti bakar begitu harus menyapa indera penciuman Sekar dan membuat perutnya keroncongan. Tanpa sadar tangannya mengusap perut. Akan tetapi melihat bocah itu terlihat kerepotan membalik roti, otomatis Sekar bergegas mendekatinya untuk membantu.
Ia tak sadar bahwa sang majikan memperhatikan kehadirannya. Bahkan Sekar pun masih belum menyadari bahwa tubuhnya hanya berbalut handuk dari d**a hingga ke paha. Menampakkan pemandangan indah untuk mata laki-laki. Dan, di ruang makan yang tembus dapur itu, ada jakun yang turun naik seperti kesulitan menelan.
"Em mandi dulu, saja, ya! Ini biar Mbok Sekar yang meneruskan bakar rotinya."
Sekar berusaha membujuk Emily pelan. Sekar sebenarnya tidak yakin usahanya berhasil. Dan, benar saja, gadis cilik itu menolak.
Ia malah menyuruh Sekar untuk memakai baju terlebih dahulu. Sekar akhirnya menurut. Ia berbalik badan, bermaksud untuk menuju kamar.
Siapa sangka, matanya menabrak sosok berkaus putih ketat yang terlihat seperti sedang memperhatikannya. Seketika Sekar membeku. Ia merasa malu dan menyesal akan kecerobohannya sendiri.
"Mbok, kenapa masih di situ?"
"Eh, i-iya, Em."
Sekar melesat menuju ke arah kamarnya.
"Awas, Mbok handuknya melorot!"
"Em, Daddy sembahyang dulu," pamit Mr. Green kepada sang anak. Emily manggut-manggut sambil menata sarapan di piring. "Lekaslah mandi dan sembahyang, Em. Agar Hyang Widhi menyayangimu."
Emily mengangguk sekali lagi. Gadis cilik itu fokus ke arah nampan yang kini dibawanya. Di saat bersamaan, Sekar sudah kembali dari kamar.
Ia menawarkan bantuan kepada gadis berambut cokelat yang masih berkimono gambar Elsa itu, tetapi tentu saja Sekar ditolak. Gadis cilik bernama Emily itu benar-benar sudah menjadi produk mandiri karya Mr. Green. Mengagumkan. Hal yang membuat Sekar makin sayang pada bocah lucu itu. Bocah yang selalu menatapnya dengan kedua irisnya yang biru layaknya lautan. Lautan kasih yang seolah-olah tidak bertepi.
Setelahnya, mereka menuju kamar Emily dan Sekar menyuruh bocah itu mandi.
"Mbok Sekar sembahyang dulu saja."
"Okey, maafkan tadi Mbok kesiangan."
"Tidak masalah, Mily senang bisa membuat sarapan sendiri. Kata Dad, Tuhan menyukai anak-anak mandiri." Emily menyambar handuk dan bergegas menuju kamar mandi di sudut kamarnya yang luas.
Sekar keluar dan segera mempersiapakan diri untuk bersembahyang.
Sekar mendapati sang majikan baru saja keluar dari area pura keluarga itu.
Gadis itu menunggu beberapa saat sebelum ia memasuki pura dan bersembahyang.
"Kaki kamu sudah sembuh?"
Mata biru nan tenang bagai lautan itu menatap Sekar. Gadis itu tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan dari laki-laki yang selama ini dianggapnya sangat dingin. Sebuah keanehan yang Sekar tidak tahu sebabnya. Namun, dalam hati, Sekar begitu senang sang majikan memperhatikannya.
Siapa pegawai yang tidak bahagia saat diberi perhatian oleh bosnya? Meski itu merupakan perhatian kecil seperti menanyakan keadaan kaki Sekar. Bagi gadis itu sungguh sangat cukup. Tanpa sadar senyum di bibirnya terkembang. Gigi-gigi putihnya dipertontonkan sempurna.
Saking bahagianya, Sekar hanya bisa mengangguk.
"Geg, kenapa gitu senyum-senyum?"
Sekar menoleh cepat ke sumber suara.
"Ah, eh, a-anu, i-itu," gagap Sekar.
Ia tidak menyadari kehadiran Suhita.
Bahkan, aroma lavender yang memancar dari tubuh wanita itu seolah-olah lenyap ditelan angin.
Biasanya, di jarak 5 meter saja, Sekar sudah dapat membaui aroma mahal itu.
"Ehem-ehem, kamu naksir sama Mr. Green?"
"Mbok Yan, jangan nae ngomong gitu!"
Sekar mencoba menghindari asisten pribadi Mr. Green yang pagi ini bersanggul.
Tidak biasanya wanita 40 tahun itu pagi-pagi sudah datang ke rumah Mr. Green.
Penampilannya sangat rapi membuat Sekar menerka-nerka akan ada rapat atau sejenisnya yang akan dilakukan wanita itu dengan sang majikan. Seperti diketahui, Mr. Green adalah pengusaha hotel yang sukses. Masalah rapat dan sebagainya tentu bukan hal aneh baginya.
"Hati-hati, nah!"
Sekar menoleh kaget ke arah Suhita.
"Ape maksudne, Mbok?"
"Kejadian tadi malam itu sudah menjelaskan semuanya. Kamu harus sadar posisi di sini. Kamu siapa dan dia siapa."
Sekar berpikir keras, berusaha mengingat kejadian apa yang dimaksud Suhita. Nyatanya ia hanya ingat tentang makhluk berwajah pucat itu. Atau tentang suara menggema di kamar sempitnya yang mampu membuat bulu kuduk berdiri.
Kalimat panjang Wayan Suhita itu seperti menampar keras hati Sekar. Terdengar masuk akal, tetapi menyakitkan. Namun, sejujurnya Sekar tidak mengerti kejadian apa yang dimaksud Suhita.
Sekar sebenarnya ingin bertanya tentang hal itu, tetapi ia ragu-ragu. Akhirnya, ia memutuskan untuk segera memulai persembahyangan dan kemudian mengantar Emily ke sekolah. Dan, apa pun yang terjadi tidak membuat gadis yang kini mengikat pinggulnya dengan selendang kuning itu malas bekerja.
Beberapa saat Sekar begitu khusuk memanjatkan doa kepada Yang Kuasa.
Sekar tidak menyadari ada sepasang mata biru yang mengawasinya dari dalam ruangan berpendingin, di mana dari kaca jendelanya dapat melihat orang di area persembahyangan. Gadis itu menyudahi doa dan memasang bunga di daun telinga. Ia juga menempel bija di antara alis, kedua pelipis, dan pangkal kerongkongan.
Sekar menuruni anak tangga pura dengan hati-hati. Rambut hitamnya yang terurai berkibar indah membuat d**a si pemerhati berdesir. Sekar benar-benar mengingatkannya kepada gadis berdarah Jawa-Bali yang sudah memberinya seorang putri cantik. Dia Ellea.
"I miss you, El!"
"Permisi Mr. Green, maaf saya langsung masuk karena beberapa kalu ketuk pintu tidak ada jawaban."
Mr. Green tersentak mendengar suara di belakangnya. Suara yang sangat dikenalnya. Ia baru ingat bahwa menyuruh wanita itu datang pagi-pagi.
"Ya, tidak apa-apa."
Mr. Green membalik badan. Ia segera menuju meja kerja dan memeriksa berkas yang ingin dipresentasikan nanti siang. Biarpun ada Suhita, Mr. Green tetap selalu turun tangan, mengecek seluruh detail yang memang ia butuhkan demi kelancaran rapat.
"Jadi untuk apa Mister menyuruh saya datang sepagi ini?" Suhita penasaran karena diberi perintah untuk lekas datang. Padahal tadinya ia ingin berangkat sedikit lebih siang.
"Apa yang kamu pikirkan tentang saya setelah melihat peristiwa tadi malam?"
Suhita bingung akan memberikan jawaban apa. Sedangkan, di otaknya kini menari-nari berbagai bayangan absursd. Apalagi saat ia masuk ke ruangan itu tadi, dipergokinya Mr. Green sedang mengintip Sekar di area persembahyangan.