Masih di ruang kerja Mr. Green.
Seorang dokter muda dengan jubah dokternya, terlihat duduk di hadapan bule yang sedang kebingungan itu. Sekar telah dipindahkan ke kamarnya. Kepada dokter itu, Mr. Green menanyakan keadaan Sekar. Ia lega karena ternyata Sekar hanya syok dan kelelahan. Setidaknya bayangan buruk tentang kematian kini enyah dari benak laki-laki tersebut. Namun, otaknya masih terus bertanya-tanya bagaimana bisa arwah Ellea benar-benar bisa masuk ke tubuh Sekar.
Sejujurnya, Mr. Green mempekerjakan Sekar di rumahnya tidak lain karena mimpi-mimpinya.
Ellea selalu datang dalam mimpi dan memintanya mencari seorang gadis sebagai pengasuh Emily. Katanya, lewat gadis itu, Ellea bisa masuk dan kembali ke hidup Mr. Green. Mr. Green yang penasaran karena mimpi itu terus berulang, akhirnya menyuruh Suhita mencari gadis pengasuh untuk Emily. Dan, konyolnya, syarat mutlak calon pengasuh itu harus benar-benar perawan. Harus perawan.
"Aku merasa kacau akhir-akhir ini, Rio."
"Ceritalah!"
Rio ingin mendengar cerita dari sang sahabat.
"Aku takut Sekar kenapa-kenapa tadi."
"Kamu apakan gadis itu?"
Pertanyaan dokter bernama Rio yang juga merupakan sahabat Mr. Green itu membuyarkan lamunan. Pria itu tergagap sambil tanpa sadar mengusap buku-buku jarinya yang terasa perih. Mata Rio mengikuti pergerakan tangan sahabatnya. Ia memperhatikan gerak-gerik si pria baik-baik.
"Ah, sebenarnya aku ingin cerita, tapi ragu."
Rio masih mengamati sahabatnya itu. Ia menagkap gerak-gerik yang sedikit aneh. Ia menerka-nerka apa yang terjadi sebenarnya.
"Kamu sangsi aku pendengar yang baik?"
Si bule terkekeh. Raut wajah yang sejak tadi terlihat tegang, kini mulai tampak santai. Rio senang melihatnya. Ia masih menunggu jawaban sahabatnya itu. Namun, Mr. Green tidak juga berbicara.
Rio merasa ada sedikit ketidaknyamanan. Entah apa. Yang jelas, Rio melihat sahabatnya ini berbeda. Namun, pria itu tidak tahu apa masalahnya. Dan, pada akhirnya Rio memutuskan untuk terus menunggu.
Mr. Green menata kalimat. Matanya berkali-kali meneliti wajah Rio. Senyum kaku sahabatnya beberapa kali tercipta. Lidah laki-laki itu seolah-olah kelu. Padahal, biasanya Mr. Green lancar saja berbicara.
"We've kissed."
"Just kissing?"
"Honestly no," cicit Mr. Green menggigit bibir. Matanya terlihat begitu khawatir. Ada sedikit ketakutan yang ditangkap Rio dari dalamnya samudera biru yang biasanya terlihat teduh itu.
"Did you both have s*x?" Hati-hati seklai Rio bertanya. Ia tentu tidak mau disangka terlalu kepo tentang hal itu. Padahal, ia hanya ingin mmebantu.
Laki-laki itu menggaruk kepalanya.
"That was close."
"Kamu tertarik padanya?" tanya Rio.
Laki-laki di hadapan Rio menggeleng yang sukses membuat mata bening pria berjubah khas dokter itu melotot.
"Are you kidding me?"
Sekali lagi Mr. Green menggeleng.
"Aku serius."
"Lalu apa sebabnya? Kamu terangsang?" Rio bertanya sambil menggeleng.
Pria yang kini menatap Rio itu lagi-lagi menggeleng. Rio benar-benar pusing dibuatnya. Entah persoalan apa yang membuat kewarasan sahabatnya ini terenggut. Rio sedikit kewalahan kini. Ia tidak menyangka akan menghadapi kelabilan jiwa sahabatnya. Rio bahkan bersumpah akan menyeret pria itu bertemu psikolog agar akal sehat Mr. Green kembali.
Rio meneliti ruang kerja sahabatnya dan tidak menemukan adanya benda berbahaya.
"Ellea ada di dalam tubuh gadis itu."
Rio yang tadinya sedang asyik mengamati ruangan serta merta menoleh. Tangannya sampai mengorek-ngorek kuping karena tidak percaya akan kinerja alat pendengarnya itu. Namun, sayangnya Mr. Green mengulangi perkataan yang sama.
"Jev, please, kali ini dengar aku," lirih Rio, "kita jadwalkan pertemuan dengan psikolog, ya? Aku tidak mau kamu seperti ini."
"Rio, aku sehat."
"Jiwamu labil."
"Aku baik-baik saja, Rio."
"Aku tidak yakin."
"Aku sangat yakin."
"Lalu, luka apa itu?" tanya Rio saklek sambil menunjuk buku-buku jari tangan kanan sahabatnya yang terlihat memerah.
"Ini hanya luka biasa."
"Orang waras tidak akan melakukan hal semacam itu, Bro. Jadi mari kita jadwalkan pertemuan dengan psikolog. Mau kapan?"
Mr. Green mendengkus.
"Kamu kenapa tidak percaya padaku?"
"Dasar hukum dari mana yang bisa dijadikan pegangan buat aku percaya kamu?"
Berbicara tentang hal-hal mistis dengan Rio akan sama halnya memancing di ikan di gurun pasir.
Rio memang terlahir dari keluarga yang realistis. Pola asuh keluarganya tidak pernah mengajarkan ia untuk percaya pada hal-hal mistis. Untuk Rio yang rasional, hantu dan sejenisnya tidak pernah ada.
Beda lagi bagi Mr. Green, ia merupakan orang yang senang mendengarkan berbagai teori. Termasuk di dalamnya adalah teori konspirasi, alien, dan dunia gaib. Ia percaya bahwa hantu dan kawan-kawannya memang ada. Mereka kadang bersentuhan dengan manusia.
"Memang tidak ada dasar hukumnya."
"Jadi sah dong kalau aku tidak percaya?"
"Iya, sah saja. Yang penting kamu senang." Sungguh, Mr. Green tidak ingin melanjutkan pembicaraan itu.
Rio yang paham dengan tabiat sang sahabat akhirnya memutuskan untuk pamit.
"Aku pamit dulu, ya!"
"Datanglah lain waktu saat kamu senggang!"
"Jangan khawatir!"
"Baik, salam untuk Queen, ya."
"Insya Allah akan aku sampaikan."
"Segeralah kalian punya anak yang lucu!"
***
Sepeninggal Rio, Mr. Green merenung.
Ia tidak habis pikir dengan kejadian yang baru saja terjadi kepadanya dan Sekar.
Hatinya terus bertanya-tanya, benarkah Sekar dirasuki oleh arwah Ellea?
Karena, jika bukan Ellea, apa Sekar bisa bertingkah seliar itu? Wajah polos Sekar sama sekali kontras dengan aksinya yang bahkan mampu membuat pertahanan Mr. Green bobol. Suaranya yang menggoda, serta keberaniannya menyentuh Mr. Green terlebih dulu sangat tidak masuk akal. Sepanjang pengamatan Mr. Green, Sekar sangatlah lugu.
Bagaimana tidak lugu, bahkan, ia tidak pernah memakai bawahan di atas lutut. Celana atau roknya selalu panjang. Kaus dan kemejanya pun demikian.
Sekar juga hanya memakai bedak tipis.
Tadi itu, Sekar menggunakan lipstik berwarna merah menyala. Yang jika diingat-ingat lagi, sepertinya mirip dengan warna kesukaan Ellea. Katanya, warna itu sungguh menggoda. Dan, Ellea merasa seksi jika menggunakannya. Apa itu benar-benar ulah Ellea?
***
Pagi-pagi benar, Mr. Green sudah bangun.
[Selamat pagi, Mister.]
[Hari ini Anda dijadwalkan untuk meetinh dengan pemilik lahan yang di Ubud.]
Mr. Green mengangguk tanpa sadar.
[Pagi. Jam berapa jadwal meeting kami? Bisakah sambil makan siang saja?]
Sedetik kemudian Suhita menjawab bahwa memang mereka akan meeting sekitar pukul 13.30 WITA. Klien sudah mereservasi sebuah ruang pertemuan sederhana di sebuah kafe. Mr. Green mengiyakan jadwal tersebut.
Setelah mengecek jadwal, laki-laki itu kemudian menyalakan musik di kamar.
[Mister]
Sebuah pesan kembali tertera di layar komputer jinjing Mr. Green. Ia memang sengaja menginstal layanan perpesanan berwarna hijau di laptopnya agar lebih enak dibaca sembari bekerja. Sepertinya saat ini contohnya.
Ia sedang mencari berkas rencana pembangunan hotel baru di kawasan Ubud.
Hotel yang nantinya akan berdiri tidak jauh dari kawasan wisata Goa Gajah itu mengusung tema alam.
[Ada apa lagi?]
Mr. Green sebenarnya kurang suka apabila info dari asisten pribadinya itu tidak utuh alias putus-putus.
Suhita is typing....
[Ada undangan pesta ulang tahun Bu Megaluh.]
Mr. Green menggeleng.
[Tolak.]
Mr. Green memang tidak ingin berhubungan dengan wanita itu lagi. Perempuan yang terus-terusan mengejarnya hanya karena mereka pernah one night stand. Tidak masuk akal. Bahkan, ia terang-terangan bilang kepada Emily saat ulang tahun gadis cilik itu yang ke-6, tentang keinginannya menggantikan Ellea.
Untung saja Emily anak cerdas. Bocah itu menolak dengan tegas. Alasannya, Megaluh memiliki tatapan yang tidak bersahabat. Emily yakin, wanita itu hanya akan merebut ayahnya. Dan, Emily tidak ingin hal itu terjadi.
[Baik, Mister.]
[Sampai jumpa nanti siang.]