Sekar berusaha memejamkan mata. Akan tetapi permintaan Emily, kata-kata aneh majikannya, dan... ciuman yang baru saja terjadi di antara Sekar dan laki-laki berotot itu benar-benar mengganggu. Semua serba tiba-tiba.
"Sa-saya... sama sekali tidak paham maksud Mister apa. Tolong berhenti! Mis—"
"Bukannya itu yang kamu inginkan?"
Sekar yang gemetar, berusaha mengangkat wajah, memberanikan diri menatap sepasang mata biru yang tenang itu. Apalagi saat kalimatnya dipotong. Keinginan apa yang dimaksud laki-laki itu?
Sekar tidak pernah menginginkan apa pun, selain betah bekerja di rumah itu. Keinginannya tidak jauh dari keberlangsungan pendapatan demi menyambung hidup. Apalagi di usianya yang sudah seperempat abad itu, ia belum bisa membahagiakan sang ayah.
"Keinginan apa yang Mister maksud?"
Lirih saja Sekar bertanya.
"Kamu ingin Emily mendesak saya supaya menikahi kamu?" tanya laki-laki itu dengan nada meremehkan. "Kamu pikir, saya bakal begitu saja bilang 'iya'? Kamu salah." Mr. Green kembali memajukan tubuhnya.
"A-apa maksud Mister?" Sekar tergagap. Ia tidak menyangka majikannya semakin gelap mata.
"Kamu tidak usah pura-pura polos, Sekar!"
Mr. Green masih terus mendekat dan membuat Sekar kembali mundur. Akan tetapi, laki-laki itu terus maju, maju, dan terus maju. Dan, pada akhirnya Sekar tertahan tembok pembatas lorong menuju kamar Emily.
Mata biru itu berubah sinar.
"Mister, sa-saya tidak paham apa yang—"
"Ssst!"
Sambil menyuruh Sekar diam, mulut laki-laki itu menyasar bibir ranum di depannya.
"Emh, Mis-ter!"
"Itu kan yang kamu inginkan?"
Laki-laki itu terkekeh, suaranya parau.
Sekar yang merasa harga dirinya diinjak-injak, tanpa sadar meneteskan air mata. Hatinya sakit mendengar tuduhan tanpa dasar sang majikan. Ia berani sumpah, tidak ada sedikit pun niatnya untuk mempengaruhi Emily. Apalagi sampai membujuk anak itu untuk melakukan hal-hal di luar akal semacam meminta sang majikan menikahi dirinya.
Gadis itu tersadar dari hadangan tubuh besar laki-laki bule yang kini setengah sadar. Sekar mencari celah agar bisa lepas darinya. Namun, belum lagi ia berhasil, tubuhnya sudah direngkuh sedemikian ketat oleh tangan kekar Mr. Green. Hampir saja Sekar kehilangan napas andai laki-laki itu tidak sedikit mengendurkan dekapannya.
"Tolong lepaskan saya!" pinta Sekar.
Mr. Green tersenyum mengejek.
"Tenang saja, saya pasti melepaskan kamu."
Sambil berkata seperti itu, Mr. Green melepaskan tubuh mungil Sekar dan meninggalkannya.
Sekar benar-benar merasa harga dirinya hilang. Di mata majikannya, ia tidak lebih dari gadis pengejar bule yang begitu terobsesi memiliki pasangan orang asing. Itu benar-benar menyakitkan. Dan, rasa ngerinya terhadap Mr. Green bertambah. Jika sebelumnya Sekar hanya menganggap laki-laki itu dingin, maka kini predikatnya bertambah.
"Laki-laki kurang ajar," umpatnya.
"Sekar."
Suara itu membuyarkan lamunan Sekar.
Tubuh gadis itu bangkit dari ranjang yang kemudian menghasilkan derit memekakkan telinga. Ia lantas mengamati ruangan sempit itu, menyapu semua sudut dengan tatapan awasnya. Sedang Bonbon dengan setia menggonggong di luar.
"Nyonya Ellea, ada apa sebenarnya?" tanya Sekar tidak sabar. Ia sudah tidak kuat lagi terus-terusan dihantui oleh arwah penasaran itu. Lagi pula, Sekar tidak merasa punya salah padanya. Seketika, lampu ruangan itu berkedap-kedip.
Aroma busuk tercium.
"Kamu sudah melampaui batas!" bentak suara itu. Sayangnya Sekar tidak dapat melihat wujud pemilik bentakan. "Kamu berhenti sekarang atau mati." Sekar terperangah. Ia sama sekali tidak menyangka akan mengalami hal seperti ini. Padahal, salahnya pun tidak tahu apa.
"Apa maksud Nyonya?" tanya Sekar.
Ia menoleh ke sana ke mari. Berharap wujud makhluk itu muncul. Sekar sungguh penasaran dengannya. Ia tidak ingin menantang, tetapi hanya ingin tahu maksud makhluk itu mengancamnya. Sekar tentu tidak ingin ada keselahpahaman antara dirinya dengan makhluk tidak kasat mata.
Bau busuk makin menguat. Suara Bonbon di luar sana makin kencang. Angin dingin tiba-tiba muncul dan membuka paksa pintu kamar Sekar.
"Jevin itu milikku!"
"Saya tidak merasa mengganggunya."
"Tapi kamu ingin mengambilnya. Kamu pakai Emily untuk mendapatkan Jevin. Aku tidak akan membiarkan kamu melakukannya."
"Saya tidak ada niat apa pun. Saya di sini murni bekerja. Mencari uang. Saya bukan gadis gila harta," jawab Sekar bergetar.
Ia benar-benar merasa tidak memiliki harga diri lagi. Bahkan mahkluk halus pun menganggapnya sedemikian rendah. Hal itu membuat Sekar terpukul.
"Pergi dari sini atau kamu mati!"
***
Pagi-pagi sekali, Sekar sudah mengepak baju-bajunya. Merapikan kamarnya agar tidak berantakan. Hari ini ia memutuskan untuk pulang.
"Mbok, Mbok Sekar mau ke mana?"
Sekar terkejut saat Emily sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. Anak itu memang rajin sekali memeriksa kamar Sekar saat ia belum terlihat di dapur atau di ruangan lain rumah itu. Dan, pagi ini pun anak itu melakukannya lagi.
Sekar tersenyum samar.
"Em sudah bangun?"
"Mbok Sekar mau ke mana?"
"Em, Mbok Sekar minta maaf, ya."
"Mbok, jangan tinggalkan Mily!"
"Mbok Sekar tidak bisa terus di sini."
Sekar mengelus rambut cokelat nan kusut.
Dibelainya wajah tembam Emily dengan sayang. Gadis cilik itu memeluk pinggang Sekar dan terisak di sana. Air matanya rembes ke kemeja putih yang dikenakan Sekar.
"Mbok Sekar marah sama Mily?" Anak itu menengadah. Wajahnya sembap.
"Tidak. Mbok Sekar hanya... merasa sedikit lelah. Mbok Sekar ingin istirahat."
Sekar mengajak Emily duduk di ranjangnya.
"Istirahat saja di sini. Mily akan bilang pada Dad. Tunggu!" Emily turun dari ranjang Sekar. Derit kaki ranjang sama sekali tidak membuat Emily terganggu atau menghentikan keinginan. Ia berlari keluar dan meninggalkan Sekar yang terbengong. Gadis itu menghela napas.
Dengan gontai, Sekar keluar kamar dengan menenteng tas berisi baju-bajunya.
"Mau ke mana kamu?" tanya Mr. Green dengan tenang kepada Sekar saat gadis itu sampai di ruang makan. Laki-laki itu bahkan tidak menoleh kepadanya. Tetap sibuk dengan kopi hitamnya yang sekar yakin diseduh tanpa gula. Rasanya pasti pahit.
Sekar masih belum mampu mengeluarkan jawaban. Ia masih menimbang apa yang akan dikatakannya kepada sang majikan. Terlebih, Emily ada di sana. Sekar tidak ingin salah bicara.
"Saya ingin libur. Saya ingin pulang kampung. Saya izin pulang kampung seminggu."
"Dad, tahan Mbok Sekar pergi," bisik Emily menyikut sang ayah yang duduk di sebelahnya. Mata biru keduanya saling pandang. Mr. Green melihat permohonan yang begitu tulus dari pancaram mata Emily.
"Kamu bisa istirahat di sini. Ambillah waktu istirahatmu! Biar saya yang mengurus Emily sementara itu." Mr. Green menoleh kepada Sekar.
"Tidak, saya ingin pulang."
***
Sekar sudah berhadapan dengan Mr. Green di ruang kerjanya. Tadi, saat ia berpamitan, laki-laki itu menyuruhnya untuk datang sebentar ke ruangan dingin tempat si bule bekerja. Dengan pertimbangan yang lumayan banyak, akhirnya Sekar mengikuti langkah panjang majikannya.
Kini, mereka berdua saja di sana.
"Sekar, saya minta maaf atas peristiwa tadi malam. Jujur, saya takut...." Mr. Green terlihat kebingungan menjelaskan maksudnya.
Sekar dengan sabar mendengarkan.
Akan tetapi, gadis itu benar-benar melihat laki-laki di depannya bingung mengeluarkan apa yang dipikirkannya. Sekar tidak ingin berkomentar banyak. Ia juga tak ingin tahu apa yang ditakutikan sang majikan.
"Saya tidak paham maksud Mister."
Mr. Green menatap Sekar. Ia ingin sekali menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi. Tentang mimpi-mimpinya yang membuat gadis itu menjadi korban. Akan tetapi, otaknya tidak mengizinkan hal itu terjadi.