Bab 1: Kabar Buruk
***
Paris, Prancis…
Boutique La Savana…
Drrt… Drrt…
Ponsel yang tergeletak di atas meja kayu mahoni berdering, memecah keheningan ruang kerja yang tenang. Sexyana Nuella Blaxton, wanita muda berusia hampir dua puluh empat tahun, mengangkat ponselnya. Layar ponsel menampilkan nama yang sudah tidak asing lagi: Miss Martha. Ia segera menekan ikon berwarna hijau, lalu menempelkan ponsel ke telinga kanan.
“Halo, selamat siang, Mrs. Nuella,” suara seorang wanita terdengar di ujung telepon, nada formal dan tegas mengalun.
Ya, di kota ini, orang-orang memanggil Sexyana dengan nama Nuella—bukan Sexyana.
“Ya, halo. Selamat siang, Miss Martha,” balas Sexyana sopan dengan senyum tipis yang terpancar di wajahnya yang cantik.
Namun, senyum itu perlahan memudar saat Miss Martha melanjutkan.
“Saya harap Anda bisa segera datang ke sekolah, Mrs. Nuella. Hari ini Savana kembali membuat ulah.”
Deg!
Jantung Sexyana berdegup lebih cepat. Sorot matanya langsung berubah waspada, tubuhnya seketika tegak di kursinya. “Apa maksud Anda? Apa yang dilakukan oleh putri saya kali ini?” tanyanya hati-hati, berusaha menahan cemas yang mulai merayap.
Ada jeda beberapa detik sebelum Miss Martha melanjutkan dengan suara yang terdengar lebih berat.
“Kasus kali ini cukup serius, Mrs. Nuella,” kata Miss Martha. “Savana mematahkan lengan kiri salah satu teman sekelasnya.”
Deg!
Tangan Sexyana yang memegang pena langsung terhenti, membeku di udara. Napasnya tertahan, lalu perlahan ia menghela napas, mencoba menenangkan diri. Matanya membelalak, lebih lebar dari sebelumnya, dan tubuhnya refleks menegak lurus.
“Apa—” Sexyana mencoba berbicara, tetapi suaranya serak. Ia menelan ludah, mencoba lagi. “Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana mungkin itu terjadi?”
“Saya rasa penjelasannya akan lebih baik jika Anda datang ke sekolah segera. Kami perlu mendiskusikan ini secara langsung,” Miss Martha menjawab tegas namun tetap sopan.
Sexyana menggenggam ponselnya lebih erat, matanya melirik foto di sudut meja kerjanya—foto dirinya dan Savana yang tersenyum ceria di depan Menara Eiffel. Kenangan indah itu kini terasa jauh. Di bawah sinar matahari yang lembut, foto tersebut justru menambah rasa cemas yang menghimpit d**a Sexyana.
“Baik, Miss Martha. Saya akan kesana sekarang,” jawabnya, berusaha menjaga ketenangan meskipun hatinya dipenuhi dengan ribuan pertanyaan dan kekhawatiran.
Apa yang sudah dilakukan oleh putrinya? Savana Lyoraa.
Ia berdiri dengan cepat dari kursinya. Meja kerjanya yang terbuat dari kayu mahoni gelap memantulkan cahaya lampu kristal besar yang menggantung di langit-langit, sementara dinding ruangan yang dihiasi lukisan abstrak menciptakan atmosfer yang elegan.
Ruangan itu, dengan karpet berbulu halus dan tirai sutra putih yang menjuntai, terasa begitu mewah dan rapi—namun kini, seolah tak mampu menenangkan kekacauan yang mulai melanda pikirannya.
Langkahnya cepat dan tegas menuju lemari tempat ia menyimpan tas tangan dan mantel panjangnya. Sambil meraih kedua barang itu, ia menatap sesaat ke luar jendela besar yang menghadap ke pemandangan kota Paris.
Dengan satu tarikan napas dalam, ia melangkah keluar dari ruang kerjanya yang kini terasa hampa, meskipun semuanya tetap tampak sempurna.
“Nuella!”
Suara nyaring itu menghentikan langkah Sexyana yang tengah terburu-buru menuju pintu butik. Ia menoleh cepat, mendapati Poppy—sahabat sekaligus asistennya—berjalan tergesa menghampirinya.
Poppy, wanita berusia dua puluh lima tahun dengan rambut bob sebahu yang rapi, memandang Sexyana dengan tatapan penuh kekhawatiran.
“Kamu mau pergi ke mana? Kenapa terlihat buru-buru sekali?” tanya Poppy dengan nada cemas.
Sexyana menghela napas gusar sebelum menjawab. “Aku harus ke sekolahnya Savana, Poppy. Ini mendesak.” Raut wajahnya jelas menunjukkan kepanikan yang tak mampu ia sembunyikan.
Poppy tertegun. Alisnya bertaut saat ia menatap sahabatnya lebih dekat. “Ada apa di sana? Apakah ada masalah? Savana baik-baik saja, kan?” tanyanya.
Sexyana menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya meskipun pikirannya terasa kacau. Ia memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya menjawab. “Tidak, dia tidak baik-baik saja, Poppy.”
Poppy mengerutkan kening, semakin khawatir.
“Miss Martha baru saja meneleponku,” lanjut Sexyana, tatapannya beralih menatap lurus ke arah Poppy. “Dia bilang… Savana membuat ulah lagi. Kali ini dia mematahkan tangan teman sekelasnya.”
Pernyataan itu membuat Poppy terkejut luar biasa. Kedua matanya membulat lebar. “Apa?!” serunya tanpa jeda. Tangannya refleks menutup mulut, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Ya Tuhan… Savana?” gumamnya pelan, setengah tak yakin.
Sexyana mengangguk cepat, raut wajahnya semakin tegang. “Aku harus pergi sekarang, Poppy. Aku titip butik ini padamu, ya?” ucapnya sambil memasang mantel.
Poppy mengangguk cepat. “Ya, pergilah. Fokus saja pada masalah Savana. Jangan khawatirkan apa pun di sini. Butik ini aman bersamaku,” katanya meyakinkan.
Sexyana berhenti sejenak, menatap Poppy dengan rasa terima kasih yang tak terucap. “Terima kasih,” ujarnya singkat namun tulus.
Poppy hanya membalas dengan anggukan mantap, memberi dukungan tanpa banyak kata.
Tanpa membuang waktu lagi, Sexyana melangkah cepat menuju pintu. Ketika pintu butik terbuka, angin Paris yang dingin langsung menyergap tubuhnya. Aroma parfum mewah khas Boutique La Savana tertinggal di ruangan itu, melayang di udara, menjadi saksi hening dari mimpi-mimpi besar yang dirajut di sana. Namun, mimpi itu kini terasa jauh, tergantikan oleh bayang-bayang masalah yang menunggu di luar.
Sexyana masuk ke dalam mobilnya, sebuah Range Rover Velar berwarna hitam mengilap yang terparkir rapi di depan Boutique La Savana. Ia meletakkan tas tangan di kursi penumpang, lalu menyalakan mesin. Suara lembut mesin premium itu terdengar, menyatu dengan elegan suasana kota Paris yang sibuk.
Setelah memasang sabuk pengaman, ia menggenggam setir, matanya fokus ke depan. Tanpa ragu, ia menancap gas, dan mobil itu melesat mulus meninggalkan butik, menuju sekolah Savana.
Di sepanjang perjalanan, pikirannya penuh.
Menjadi seorang single mother tidak pernah mudah, terutama untuk wanita muda sepertinya. Namun, Sexyana selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk putri semata wayangnya, Savana Lyoraa. Gadis kecil itu adalah segalanya bagi Sexyana—sebuah alasan untuk terus melangkah, meskipun dunia terasa menghujamnya.
Namun, Sexyana tahu dirinya masih lebih beruntung dibandingkan banyak ibu tunggal lainnya. Meskipun tinggal berjauhan dari keluarganya—ia di Paris, sementara keluarganya menetap di Wellington, New Zealand—Sexyana tetap merasakan cinta mereka.
Terutama dari saudara kembarnya, Oscar Grey Blaxton, yang selalu menjadi pelindungnya. Oscar adalah orang pertama yang akan melompat ke dalam api demi dirinya. Bahkan, pria itu tidak segan untuk "menghabisi" siapa saja yang berani menyakiti Sexyana—termasuk seseorang dari masa lalunya yang kini hanya tinggal kenangan buruk.
Ah, pria itu.
Pikirannya langsung terasa keruh setiap kali bayangan pria tersebut muncul. Hanya dengan mengingatnya saja, rasa muak sudah membanjiri hati Sexyana. Ia menggelengkan kepala, mencoba mengusir ingatan itu.
Mobil melaju di jalanan kota Paris yang sedikit padat di siang itu. Lampu-lampu lalu lintas, deretan butik mewah, dan pemandangan khas kota yang ramai menjadi latar perjalanan yang terasa begitu panjang, meskipun baru sepuluh menit berlalu.
Tiba-tiba, dering ponsel memecah kesunyian di dalam mobil. Sexyana melirik ke arah kompartemen tengah dekat sandaran tangan, tempat ponselnya tergeletak. Layar yang menyala memperlihatkan sebuah nama yang sangat ia kenal.
Ia meraih airpods dari konsol depan, menyematkannya ke telinga kanan dengan cekatan. Seketika, suara berat yang dingin dan tegas terdengar di telinganya.
“Kau pergi ke mana, Sexyana?” suara itu bertanya, tanpa basa-basi, membuat suasana hatinya yang sudah gelisah semakin tegang.
***