***
“Oscar…?”
Nada suara Sexyana terdengar pelan saat menyebut nama Kakak kembarnya. Sebelah tangannya bergerak membetulkan posisi airpods yang tersemat di telinga. “Oscar, apakah kamu sudah disini?” tanyanya. Kali ini, suaranya lebih jelas, tetapi tetap bergetar.
“Ya. Aku dan Mom baru saja meninggalkan bandara,” jawab pria itu dari seberang telepon. Suaranya terdengar berat, seperti biasa. Setelah jeda singkat, ia melanjutkan, “Kau belum menjawab pertanyaanku. Kau mau pergi ke mana?”
Sexyana menggigit bibir bawahnya, menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Matanya tetap fokus pada jalan di depan, meskipun pikirannya terasa penuh. “Aku sedang menuju sekolah Savana. Tadi Miss Martha menelpon… katanya Savana bermasalah di sekolah, Oscar. Dan kali ini, masalahnya cukup serius.”
Hening sejenak. Sexyana bisa merasakan Oscar memproses informasi itu dengan tenang, seperti yang selalu ia lakukan.
“Kita bertemu di sana,” ujar Oscar akhirnya. “Jangan terlalu panik. Semuanya akan baik-baik saja.”
Sexyana menghela napas, sedikit lega mendengar suara Kakaknya. “Ya… Aku harap kamu tidak terlambat,” jawabnya.
“Hm, aku usahakan sampai tepat waktu,” sahut Oscar. Dan tanpa basa-basi, panggilan pun berakhir.
Sexyana menurunkan tangan, melepas airpods dari telinganya, lalu menyimpannya kembali ke dalam kompartemen kecil di samping kursi pengemudi. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang terus berpacu. Namun, napasnya keluar dengan kasar, mencerminkan kegelisahan yang masih membebani pikirannya.
Meski begitu, mendengar bahwa Oscar dan Ibunya sudah berada di Paris membuat perasaan Sexyana sedikit lebih tenang. Dia tahu Oscar adalah sosok yang selalu bisa diandalkan.
Pria itu, dengan ketenangan dan kegigihannya, pasti akan mampu mengatasi masalah ini, seberat apa pun itu. Sexyana percaya sepenuhnya pada Kakak kembarnya.
Namun, waktu tetap menjadi hal yang menekan. Ia tak ingin Savana menghadapi ini sendirian terlalu lama. Akhirnya, Sexyana menginjak pedal gas lebih dalam. Mobil Range Rover-nya melaju lebih cepat di jalanan Paris yang mulai lengang. Meski begitu, ia tetap menjaga kontrol, berhati-hati agar tidak gegabah.
Fokusnya kini hanya satu: sang putri. Sexyana ingin secepat mungkin tiba di sekolah, memastikan bahwa Savana baik-baik saja.
***
Beberapa Menit Kemudian…
Setelah melewati jalanan Paris yang semakin lengang, akhirnya Sexyana tiba di École Montessori des Élites, sebuah sekolah elit dan terkenal di pusat kota Paris, yang dikenal karena kurikulumnya yang sangat selektif dan fasilitas pendidikan terbaiknya.
Sekolah ini memiliki reputasi luar biasa, bahkan untuk anak-anak yang baru berusia empat tahun, seperti Savana. Dengan taman yang luas, gedung modern yang menghadap ke taman bunga, École Montessori adalah tempat di mana orang tua kaya dan terhormat mengirimkan anak-anak mereka untuk menerima pendidikan dasar yang luar biasa.
Mobil Range Rover Velar milik Sexyana meluncur dengan mulus memasuki area sekolah yang dijaga ketat. Pagarnya yang tinggi terbuat dari besi tempa hitam, dihiasi dengan motif geometris yang elegan.
Di dalam area sekolah, jalan setapak berlapiskan batu alam, dikelilingi oleh pepohonan rindang dan patung-patung kecil yang memberikan nuansa mewah dan artistik. Sekolah ini tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga sebuah karya seni yang menginspirasi.
Mobil Sexyana akhirnya berhenti di area parkir, yang hanya diperuntukkan bagi orang tua dan tamu VIP. Tanpa berlama-lama, Sexyana mematikan mesin mobil, meraih tas tangan dari kursi penumpang di sampingnya, dan meletakkannya di bahu. Dengan cepat, ia membuka pintu mobil dan keluar, langkahnya cepat, menggambarkan kecemasannya yang semakin mendalam.
Sesampainya di depan pintu utama sekolah, Sexyana berhenti sejenak, memeriksa kembali keadaan dirinya. Wajahnya terpantul jelas di kaca pintu otomatis yang membuka dengan sendirinya. Mengatur napas, ia melangkah masuk ke area utama sekolah.
Begitu memasuki area dalam, ia langsung disambut oleh seorang petugas keamanan yang berdiri di dekat meja resepsionis. Petugas itu menyapanya dengan senyuman sopan. “Selamat siang, Mrs. Nuella. Ada yang bisa saya bantu?”
Sexyana mengangguk cepat. “Saya ingin bertemu dengan Miss Martha,” jawabnya.
Petugas itu menatap layar komputer sebentar, mengetikkan sesuatu, dan kemudian mengarahkan tangannya ke arah lorong di sebelah kiri. “Tentu, Mrs. Nuella. Ruangan Miss Martha terletak di ujung lorong ini. Harap ikuti tanda yang ada di dinding. Saya akan memberitahukan beliau bahwa Anda telah tiba.”
“Terima kasih,” jawab Sexyana singkat, dengan langkah cepat menuju arah yang ditunjukkan. Meskipun sebenarnya ia sudah tahu persis di mana letak ruangan Miss Martha.
Miss Martha bukanlah guru biasa. Sebagai Kepala Pengajaran dan Koordinator Pendidikan Khusus di École Montessori des Élites, posisi Miss Martha cukup tinggi dan memiliki pengaruh yang besar dalam pengambilan keputusan di sekolah tersebut. Semua masalah besar dan sensitif, terutama yang melibatkan murid-murid istimewa, selalu langsung ditangani olehnya.
Menit kemudian, Sexyana berhenti tepat di depan sebuah pintu besar yang terbuat dari kayu mahoni gelap. Di atas pintu, terdapat papan nama bertuliskan “Ruang Konsultasi dan Penanganan Khusus.” Sexyana mengangkat tangannya, bersiap untuk mengetuk pintu, namun ia urung melakukannya karena tiba-tiba seseorang menyapanya dari belakang.
“Mrs. Nuella, akhirnya Anda sampai,” suara wanita itu terdengar lembut namun penuh otoritas.
Sexyana langsung menoleh cepat, dan tatapannya langsung bertemu dengan mata Miss Martha yang kini berdiri di hadapannya. Raut wajah Sexyana berubah seketika, dari sempat tenang menjadi penuh kecemasan.
“Miss Martha…” Sexyana maju selangkah lebih dekat, mengulurkan tangan dengan gerakan cepat, menyambut jabat tangan Miss Martha yang juga berhenti di depannya. “Selamat siang. Maaf jika saya terlambat,” ucapnya dengan suara yang sedikit bergetar.
Miss Martha mengangguk pelan, memberi tanda bahwa ia mengerti, lalu tersenyum kecil.
“Apa yang terjadi dengan putri saya, Miss? Di mana dia sekarang?” tanya Sexyana.
“Savana saat ini berada di Ruang Penanganan Disiplin,” jawab Miss Martha. “Tapi, Anda jangan khawatir, saya selalu mendampinginya sejak tadi.”
Mendengar itu, seharusnya Sexyana merasa sedikit lega. Namun, kenyataannya, mendengar bahwa putrinya berada di ruang yang di luar kebiasaan itu justru membuat kecemasan semakin menggulung di dadanya.
Ruang Penanganan Disiplin bukanlah tempat yang digunakan untuk masalah kecil. Itu adalah ruang untuk murid yang terlibat dalam masalah serius, yang jika tidak ditangani dengan tepat bisa berujung pada tindakan yang lebih besar.
Miss Martha melanjutkan, "Sebaiknya kita kesana sekarang, Mrs. Nuella. Orang tua murid yang menjadi korban sudah menunggu dan berharap Anda hadir untuk memberikan pertanggungjawaban. Mari."
Mendengar kata "pertanggungjawaban," berat di hati Sexyana, tetapi ia tahu bahwa tidak ada waktu untuk membuang-buang waktu. Ia mengangguk cepat dan tanpa ragu bergegas melangkah lebar, diikuti oleh Miss Martha.
Dalam diam, mereka berjalan menyusuri lorong yang tampak sepi. Beberapa suara anak-anak terdengar dari ruang kelas di sisi kiri, namun bagi Sexyana, dunia terasa sempit, hanya berfokus pada langkah kaki yang kini membawanya ke ruang yang tak ingin ia datangi.
Tiba di depan Ruang Penanganan Disiplin, Sexyana berdiri sejenak, menarik napas panjang untuk mengumpulkan kekuatan. Miss Martha meliriknya sekilas sebelum membuka pintu dengan pelan. “Silakan, Mrs. Nuella,” ucapnya sopan, mempersilakan Sexyana masuk lebih dulu.
Sexyana melangkah masuk, matanya langsung bergerak mencari sosok putri kecilnya di ruangan itu. Namun, suara sarkastik yang datang dari sisi kanan ruangan membuatnya terhenti seketika.
“Ah, akhirnya Ibu dari anak yang tidak jelas ini datang juga!” Sebuah suara wanita terdengar tajam, dengan nada penuh hinaan. Pemilik suara itu adalah seorang wanita berusia sekitar dua puluh delapan tahun, berdiri angkuh bersama Suaminya dengan kedua tangan menyilang di d**a. Tatapannya menusuk tajam ke arah Sexyana.
Sexyana hanya terpaku sejenak, rahangnya mengeras. Tapi, ia memilih untuk mengabaikan wanita itu, dan memprioritaskan putrinya terlebih dahulu. Pandangannya segera menangkap Savana yang duduk di sebuah kursi khusus di sudut ruangan.
“Sayang?” panggil Sexyana lembut.
Savana, yang tampak pucat, segera melompat turun dari kursinya dan berlari ke arah Ibunya dengan tangan kecilnya terbentang. Anak itu memeluk Sexyana erat, kepalanya bersandar di d**a sang Ibu.
Pasangan suami istri itu—orang tua dari murid yang menjadi korban—hanya mendengus dingin, memandang Ibu dan anak itu dengan ekspresi muak dan penuh kebencian.
“Mommy, aku dicubit tadi oleh Ibu itu,” suara kecil Savana bergetar, seraya menunjukkan bekas kemerahan di lengannya.
Mata Sexyana langsung membelalak saat melihat tanda itu. Napasnya tercekat, dan dadanya bergemuruh penuh amarah. Dengan cepat, ia menegakkan tubuhnya dan menatap Miss Martha dengan tajam.
Miss Martha, yang menyadari apa yang terjadi, segera berbicara dengan nada penuh sesal. “Mrs. Nuella, saya sangat meminta maaf. Saya tidak mengetahui ini sebelumnya…”
“Siapa yang melakukannya?!” Sergah Sexyana tajam, suaranya nyaris meledak. Matanya menyala-nyala penuh amarah, wajahnya berubah bengis.
“Aku!” Wanita tadi menyahut dengan berani, maju selangkah sambil menunjuk dirinya sendiri. Di sampingnya, suaminya tetap diam dengan wajah dingin. “Aku yang melakukannya! Dan itu belum ada apa-apanya dibandingkan apa yang telah dilakukan anakmu pada anakku!”
Sexyana menelan ludah berulang kali, napasnya memburu. Ia berusaha menahan emosi, menyadari bahwa Savana ada di sana dan dia tidak ingin menunjukkan kekerasan di depan putrinya. Tapi wanita itu terus melanjutkan.
“Beruntung aku hanya mencubit lengannya, bukan mematahkan tulangnya seperti yang anakmu lakukan pada putriku!” Wanita itu mendesis penuh kebencian, lalu menambahkan dengan suara lebih tajam, “Dasar anak haram!”
Deg!
Kata-kata itu adalah puncaknya. Sexyana tidak bisa lagi tinggal diam. Dalam sekejap, dengan langkah cepat, ia mendekati wanita itu.
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan wanita tersebut, membuat wajahnya terhempas ke samping.
“Kau—” Suami wanita itu membuka mulutnya, matanya menatap tajam ke arah Sexyana. Tapi kalimatnya terputus ketika tamparan kedua dari Sexyana yang sama kerasnya mendarat di pipinya.
PLAK!
Miss Martha dan beberapa guru lain yang berada di ruangan itu hanya bisa membelalak kaget, tak percaya dengan apa yang mereka lihat.
“Diam! Diam, atau aku cabik-cabik tenggorokanmu!” desis Sexyana dingin, wajahnya merah padam, jarinya menunjuk tajam ke arah pria itu tanpa rasa takut sedikitpun.
Miss Martha segera melangkah mendekat. Dengan hati-hati, ia meletakkan tangan di bahu Sexyana, mencoba menenangkan wanita itu yang jelas-jelas tengah berada di ambang ledakan emosi.
“Mrs. Nuella, tolong kendalikan diri Anda,” ujarnya pelan namun tegas.
Namun, Sexyana dengan cepat menepis tangan Miss Martha dari bahunya, tatapan matanya yang penuh amarah tetap tertuju tajam ke arah pasangan suami istri di depannya.
Pria di sebelah wanita itu terlihat hendak maju, gesturnya agresif, tetapi langkahnya langsung dihentikan oleh suara lantang Miss Martha.
“Tuan, tolong diam di tempat!” sergahnya dengan suara menggelegar, membuat pria itu terhenti sejenak. Miss Martha menatapnya dengan pandangan penuh peringatan.
Suasana ruangan semakin panas, tapi Miss Martha mengangkat tangannya, meminta semua pihak untuk tetap tenang. “Saya harap kita semua dapat menahan diri. Permasalahan ini harus kita selesaikan dengan kepala dingin,” katanya dengan suara penuh otoritas. “Saya tidak ingin ada kekerasan lebih lanjut dalam situasi ini!”
Beberapa detik hening berlalu.
Kemudian, seorang pria berusia sekitar empat puluhan, salah satu guru senior yang berada di bawah kepemimpinan Miss Martha, maju dengan langkah mantap. Namanya Mr. Berto, seorang pria yang dikenal tegas dan berwibawa di kalangan staf sekolah.
“Permasalahan ini sebaiknya kita bahas lebih lanjut di Ruang Mediasi, tempat yang lebih kondusif untuk diskusi,” ucap Mr. Berto dengan nada yang tidak bisa dibantah.
Miss Martha mengangguk setuju. “Itu keputusan yang bijak. Mari kita pindah ke sana,” katanya, kemudian menoleh ke arah Sexyana. “Mrs. Nuella, mohon tenangkan diri Anda sejenak. Kita akan membahas ini secara menyeluruh.”
Sexyana menghela napas panjang, mencoba meredakan gejolak emosi di dadanya. Tanpa berkata apa-apa, ia akhirnya mengangguk.
Miss Martha lalu memberikan instruksi kepada salah satu guru wanita muda yang bertugas khusus untuk membimbing dan mendampingi anak-anak. Namanya Madame Élodie, seorang ahli psikologi anak yang berpengalaman.
“Madame Élodie, tolong temani Savana di ruang Penanganan Anak, pastikan dia merasa nyaman dan aman selama kita berdiskusi,” perintah Miss Martha.
“Dengan senang hati, Miss Martha,” jawab Madame Élodie sambil tersenyum lembut ke arah Savana. Ia mengulurkan tangan, dan dengan ragu-ragu, Savana memegangnya.
“Sayang, Mommy akan kembali sebentar lagi, ya. Kamu bersama Madame Élodie sekarang,” kata Sexyana dengan lembut sambil mengusap kepala putrinya.
Savana hanya mengangguk kecil, lalu mengikuti langkah Madame Élodie keluar ruangan.
Setelah memastikan Savana aman, semua orang yang terlibat—Miss Martha, Sexyana, pasangan suami istri itu, serta Mr. Berto—bergerak menuju Ruang Mediasi untuk membahas lebih lanjut masalah ini.
***
Ditempat Yang Berbeda…
Milan, Italia…
Di jantung kota Milan, berdiri megah sebuah bangunan yang mendominasi area strategis di distrik Porta Nuova. Bangunan modern dengan desain arsitektur mencolok ini tampak mencerminkan kemewahan sekaligus kekuasaan.
Namun, di balik kemegahan itu, bangunan ini memiliki identitas yang tidak terlihat oleh kebanyakan orang. Bangunan tersebut adalah markas besar dari kelompok Mafia “Dark Egglen” terkenal yang telah lama beroperasi di bawah radar hukum.
Di lantai tertinggi gedung ini, terdapat sebuah ruangan eksklusif yang hanya diakses oleh segelintir orang terpilih. Ruangan ini adalah Ruang Strategi—tempat dimana pemimpin klan yang ditakuti, mengadakan rapat penting bersama bawahannya.
Ruangan itu sangat luas. Di tengah ruangan, berdiri sebuah meja besar berbentuk oval yang terbuat dari kayu eboni dengan sentuhan emas pada tepinya. Kursi-kursi berbahan kulit premium mengelilingi meja tersebut, semuanya diisi oleh pria-pria berdasi yang tampak formal namun membawa aura berbahaya.
Satu per satu, mereka mulai bangkit dari tempat duduknya, menandakan bahwa rapat eksklusif itu telah selesai. Suara derit kursi dan langkah kaki yang berat menggema di ruangan, tetapi sang pemimpin tetap tak bergeming dari kursinya.
Dia adalah Michele Alessio DeVille, seorang pria berusia 32 tahun yang dikenal dengan wajah tampan dan karisma yang mematikan. Rambut hitamnya disisir rapi ke belakang, memperlihatkan rahang tegas yang menggambarkan kekuatan.
Matanya yang gelap dan tajam seperti elang memancarkan wibawa yang tak terbantahkan, membuat siapa pun yang bertemu pandang dengannya merasa gentar. Bulu-bulu halus menghiasi rahang tegasnya, sementara tubuh atletisnya terbungkus sempurna dalam setelan jas hitam Armani yang berkelas.
Michele duduk di ujung meja, di kursi yang dirancang lebih besar dan megah dibanding yang lainnya. Jemarinya yang panjang mengetuk pelan permukaan meja, menandakan ia sedang berpikir. Di depannya, segelas anggur merah berada, tetapi belum disentuh.
Ketika ruangan mulai kosong dan hanya tersisa beberapa penjaga yang berdiri tegap di dekat pintu, Michele akhirnya bergerak. Tubuhnya yang tegap bersandar ke kursi besar di ujung meja oval itu, pandangannya dingin menatap lurus ke depan, tenggelam dalam pikiran.
Namun, keheningan itu pecah ketika pintu besar ruangan terbuka tanpa ketukan. Langkah mantap terdengar mendekat, dan seorang pria dengan tubuh tegap memasuki ruangan. Pria itu adalah Donathan, berusia 30 tahun, tangan kanan Michele yang selalu hadir untuk menyampaikan informasi penting.
Donathan menghentikan langkah tepat di depan meja besar itu. Matanya melirik sekeliling, mengisyaratkan sesuatu kepada para penjaga. Mereka yang memahami isyarat itu segera meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata, menyisakan hanya Donathan dan Michele.
“Ada informasi apa yang ingin kau sampaikan?” tanya Michele, suaranya datar.
Donathan menarik napas dalam, tampak ragu sejenak sebelum menjawab. “Tuan... beberapa hari yang lalu, saya melihat Nona Sexyana di bandara bersama seorang anak perempuan. Usianya sekitar empat tahun.”
Deg!
Tubuh Michele seketika menegang. Rahangnya mengeras, dan jemarinya yang semula santai di sandaran kursi kini menggenggam erat. Jantungnya berdetak lebih cepat, serta wajahnya yang seketika memucat.
“Di bandara?” gumam Michele, hampir seperti bisikan.
“Ya, Tuan,” jawab Donathan, menelan ludah dengan gugup. “Bandara Internasional Charles de Gaulle di Paris.”
“Paris…” bisik Michele, suaranya terdengar lebih pelan. Alis tebalnya berkerut, menciptakan garis tajam di dahinya. Pikiran-pikiran mulai berputar dalam kepalanya.
Sexyana. Nama itu menghantam memorinya dengan keras. Wanita yang empat tahun lalu adalah bagian dari hidupnya, mantan istrinya.
***