***
Setelah keheningan panjang yang memenuhi ruangan itu, Michele menggerakkan tangannya perlahan, meraih dasi hitam yang melingkar di lehernya. Dengan satu gerakan tegas, dia melonggarkan simpulnya, memberikan sedikit ruang pada kerah yang terasa menyesakkan.
“Anak perempuan itu…” Michele menatap Donathan tajam, suaranya turun beberapa oktaf, penuh tekanan yang tak terbantahkan. “Apakah kau yakin usianya sekitar empat tahun?”
Donathan mengangguk cepat, wajahnya tegang. “Ya, Tuan. Saya mengamati mereka cukup lama. Meskipun dari jarak yang tidak terlalu dekat, tapi wajah anak itu sangat mirip dengan Anda. Sangat mencolok.”
Deg!
Pernyataan itu membuat Michele terdiam sejenak. Napasnya terasa lebih berat, dan pikirannya mulai berputar liar. Jika gadis kecil itu memang berusia empat tahun, maka…
“Anak itu…” Michele berhenti, rahangnya mengeras seiring upayanya merangkai kata. “Kau yakin dia bersama Sexyana?”
“Betul, Tuan. Saya tidak mungkin salah melihat,” jawab Donathan tegas. “Mereka terlihat seperti Ibu dan Anak. Nona Sexyana terlihat sangat protektif terhadap gadis kecil itu.”
Ruangan itu kembali tenggelam dalam keheningan. Michele memejamkan matanya, mencoba menenangkan badai yang mulai mengamuk di dalam dirinya.
Satu tahun koma. Terbaring tak berdaya di ruang ICU, tubuhnya melawan maut, tetapi itu berarti ia melewatkan begitu banyak hal. Ketika akhirnya terbangun, kenyataan yang dihadapinya menghancurkan segalanya. Sexyana telah pergi tanpa jejak, menghilang tanpa sepatah kata, meninggalkannya bersama tumpukan pertanyaan yang tak terjawab.
Sekarang, empat tahun kemudian, satu kenyataan lain menghantamnya: Sexyana mungkin membawa sesuatu yang sangat berarti—atau lebih buruk lagi, seseorang.
Michele membuka matanya perlahan. Tatapannya berubah, kini tajam seperti pisau yang hendak menusuk. Ia menatap Donathan, nadanya terdengar begitu dingin. “Cari tahu segalanya. Di mana mereka tinggal, apa yang mereka lakukan, dan siapa yang ada di sekitar mereka. Jangan hanya Oscar. Aku tahu dia selalu ada di sisi Sexyana. Cari siapa pun yang lain. Jangan ada yang terlewatkan.”
Donathan mengangguk cepat. “Baik, Tuan. Saya akan segera mengurusnya.” Ia membungkuk hormat sebelum melangkah keluar dengan sigap, meninggalkan Michele sendiri di ruangan besar itu.
Michele tetap di tempatnya. Tatapannya kini mengarah ke jendela besar yang tertutup rapat oleh tirai gelap. Di luar, cahaya kota Milan berpendar, namun pikirannya tenggelam dalam kegelapan yang pekat.
‘Jika anak itu benar milikku…’
Pikirannya bergemuruh. d**a Michele terasa sesak, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.
‘Apakah malam peristiwa itu… membuat Sexyana hamil? Atau…’ Ia menelan ludah, pikirannya melompat ke kemungkinan lain yang lebih menyakitkan. ‘Apakah anak itu milik pria lain? Milik Nicolas? Mungkinkah dia menikah dan hidup bahagia di Paris bersama Nicolas? Dan semua orang menyembunyikan pernikahan mereka di belakangku?’
Wajah Michele berubah kelam, rahangnya mengeras lebih kuat. Ia tidak bisa menerima kemungkinan itu. Tidak dengan Sexyana, wanita yang dulu pernah berdiri saling berhadapan dengannya di atas Altar.
‘Tidak. Tidak mungkin!’ Ia menggelengkan kepalanya dengan kasar, menepis segala dugaan yang menyesakkan dadanya.
Donathan telah mengatakan bahwa anak itu sangat mirip dengannya. Mata cokelat yang sama, garis wajah yang mengingatkan pada cerminan dirinya sendiri.
‘Anak itu darah dagingku. Aku yakin!’ batinnya berteriak.
Namun, sebuah pikiran baru menghantamnya, membuat tubuhnya menegang. Ibu. Michele mengingat Ibunya, Jesslyn yang sering bepergian ke Paris selama ini. Ia mengira itu hanya alasan untuk menghadiri acara sosialita, bertemu teman-teman lamanya. Tapi sekarang, semuanya tampak jelas.
‘Jangan-jangan… Mom tahu tentang Sexyana? Mungkin dia bertemu dengannya di sana? Atau lebih buruk lagi, dia tahu tentang anak itu sejak awal dan menyembunyikannya dariku?’
Kemarahannya memuncak. Michele menggeram pelan, kedua tangannya bergerak ke rambut hitamnya yang tebal, mencengkeramnya dengan keras hingga sendi-sendi jemarinya memutih.
‘f**k!’ teriaknya dalam hati. Napasnya memburu, dan pikirannya terasa semakin kacau.
Namun, satu hal pasti. Jika Sexyana benar telah menyembunyikan anaknya darinya, dia tidak akan tinggal diam. Tidak ada yang bisa menghentikannya untuk mendapatkan kembali apa yang menjadi miliknya—baik itu Sexyana maupun anak mereka.
Oscar. Nama itu kembali terlintas dalam benak Michele, memicu rasa benci yang membara di dalam dirinya. Pria itu adalah ancaman terbesar dalam hidupnya—orang yang pernah membuatnya terbaring koma selama satu tahun penuh.
Oscar Grey Blaxton, anggota keluarga Blaxton yang berpengaruh, adalah penyebab kehancurannya dulu. Namun, kali ini berbeda. Michele tidak akan membiarkan apa pun, bahkan kekejaman Oscar, menghentikannya.
Keluarga Blaxton. Keluarga dari pihak Ibunya, yang selalu dianggap untouchable karena hubungan darah mereka. Tetapi, apa gunanya darah jika itu hanya menjadi tali pengikat yang membelenggu?
Mereka telah menunjukkan bahwa mereka tidak memberi kesempatan kepada Michele. Jadi, mengapa Michele harus menghormati keluarga yang telah mencoreng nama dan kehidupannya?
Michele menghembuskan napas panjang, mencoba meredam gejolak emosinya. Dia memejamkan mata, menggenggam kursi di kedua sisinya dengan kuat. ‘Sexy… Jika Nicolas membersamai kepergianmu dan pria itu yang menjadi alasan kebahagiaanmu saat ini, maka bersiaplah. Karena aku akan menghancurkan kebahagiaan yang kalian bangun selama ini,’ batinnya penuh tekad.
Setelah itu, Michele menegakkan tubuhnya. Dia merapikan jas hitamnya, menarik kedua sisi depan dengan gerakan tegas. Pandangannya dingin dan fokus saat ia melangkah keluar dari ruangan rapat yang kini kosong.
Begitu pintu besar terbuka, seorang wanita dengan pakaian formal mendekat, membawa clipboard di tangannya. Tatapannya menatap waspada saat melihat Michele keluar dari ruangan.
“Permisi, Tuan,” ucap wanita itu hati-hati, mencoba menjaga nada suaranya agar tidak terdengar terlalu gugup.
Michele menghentikan langkahnya. Matanya yang tajam seperti pisau menatap lurus ke arah wanita itu. Wanita itu tanpa sadar menelan ludah.
“Saya ingin mengingatkan bahwa Tuan Christian saat ini sedang menunggu kehadiran Anda di kantor pusat D-Tech Corporation,” katanya, suaranya sedikit bergetar.
Christian Miguel DeVille adalah adiknya Michele.
Michele menatapnya tanpa ekspresi selama beberapa detik sebelum menjawab dingin, “Aku tidak akan datang. Sampaikan padanya.”
Wanita itu tampak ragu, tetapi mencoba melanjutkan, “Tapi, Tuan—”
Tatapan maut Michele yang menghunjam tajam menghentikannya. Dia membeku, kata-katanya tersangkut di tenggorokan.
“B-Baik, Tuan,” akhirnya wanita itu mengangguk dengan terbata. “Akan segera saya sampaikan kepada Tuan Christian.”
Michele tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya menatap wanita itu selama beberapa detik, seolah memastikan pesannya jelas dan tak terbantahkan. Setelah itu, dia melanjutkan langkahnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Di depan markas besar yang dikenal sebagai markas klan Dark Egglen, sebuah mobil mewah sudah disiapkan untuknya. Itu adalah Ferrari Purosangue, SUV mewah pertama Ferrari dengan desain memukau dan kekuatan yang menggetarkan—pilihan sempurna untuk seorang pemimpin Mafia sekelas Michele DeVille.
Pintu mobil dibuka oleh salah satu staf keamanan khusus. Michele masuk ke dalam tanpa menghiraukan sapaan penuh hormat dari anak buahnya. Begitu pintu tertutup, mesin mobil langsung menyala, mengeluarkan suara halus.
Mobil itu melaju perlahan melewati gerbang utama markas Dark Egglen. Gerbang itu menjulang tinggi, kokoh, dan dilengkapi dengan teknologi keamanan tercanggih, memberikan aura yang tidak bisa ditembus oleh siapa pun yang tidak diizinkan masuk.
Michele melajukan mobilnya melewati gerbang tersebut, meninggalkan markas besar tanpa memberi tahu siapa pun tujuannya. Dalam pikirannya, hanya ada satu hal yang jelas: dia akan menemukan Sexyana, dan dia akan menemukan kebenaran. Apapun yang terjadi.
***
Paris, Prancis…
Siang Hari…
Oscar Grey Blaxton menginjak pedal gas dengan sedikit lebih keras dari biasanya, mencoba mengejar waktu. Namun, kemacetan jalanan kota yang padat siang ini membuatnya terpaksa terlambat tiba di École Élégance de Lumière, sekolah eksklusif tempat keponakannya, Savana, bersekolah.
Begitu gerbang besar berukir lambang megah sekolah terbuka, Oscar meluncur masuk dengan kendaraannya yang mewah, sebuah Aston Martin DBX berwarna hitam mengkilap. Alih-alih berhenti di area parkir, mobil itu langsung berhenti tepat di depan pintu utama gedung sekolah.
Dengan gerakan cepat, Oscar membuka sabuk pengamannya. Wajahnya tampak tegas dan datar, mencerminkan emosi yang dia sembunyikan. Ia turun dari mobil, diikuti oleh Ibunya, Brianna Blaxton, seorang wanita dengan aura otoritas yang kuat.
Sopir mereka, yang sebelumnya sempat diminta Oscar bertukar posisi karena kecepatannya dianggap tidak memadai, segera kembali ke kemudi dan memindahkan mobil ke tempat parkir resmi.
Langkah lebar Oscar terdengar tegas ketika ia memasuki gedung sekolah. Di dekat meja resepsionis, para tokoh penting sekolah telah menunggu dengan berbaris rapi. Kepala sekolah, beberapa anggota dewan pengurus, serta dua wakil direktur yang bertanggung jawab atas administrasi dan hubungan eksternal berdiri siap menyambut.
“Selamat datang, Mr. Blaxton. Selamat datang, Mrs. Blaxton,” ucap seorang pria paruh baya, Kepala Sekolah Émile Durand, dengan nada hormat dan postur sedikit membungkuk.
Oscar hanya mengangguk tipis, seperti biasanya ia lakukan kepada mereka. Tatapannya dingin, raut wajahnya menunjukkan amarah yang sulit disembunyikan. “Di mana Nuella?” tanyanya dengan suara dingin.
Émile terlihat sedikit gelisah sebelum menjawab, “Mrs. Nuella bersama Miss Martha dan orang tua murid korban saat ini berada di Ruang Mediasi, Mr. Blaxton.”
Ruang Mediasi?
Oscar terdiam sejenak, rahangnya mengatup erat, tanda bahwa emosinya hampir memuncak. Di sebelahnya, Brianna langsung membelalak kaget mendengar informasi tersebut. Ruang Mediasi adalah tempat khusus untuk menyelesaikan konflik serius di sekolah ini—tempat yang jarang sekali digunakan, kecuali masalahnya benar-benar besar.
“Antarkan kami ke sana. Sekarang,” ujar Brianna dengan nada tegas.
Émile terdiam sejenak, tampak ragu. Ruang Mediasi seharusnya menjadi area yang sangat privat, hanya diperuntukkan bagi pihak-pihak terkait. Namun, menghadapi permintaan dari Blaxton, keluarga dengan pengaruh besar yang merupakan donatur terbesar dan penyumbang dana utama untuk seluruh operasional sekolah ini, Émile tidak memiliki pilihan lain selain patuh.
“Baik, Mrs. Blaxton. Silakan ikuti saya,” ucap Émile, akhirnya mengalah.
Dengan langkah tergesa, Émile memimpin jalan menuju Ruang Mediasi yang terletak di sayap timur gedung. Oscar dan Brianna berjalan di belakangnya, tatapan Oscar tetap tajam. Brianna, meski terlihat tenang, sesungguhnya wanita itu diliputi rasa khawatir yang mendalam.
Di sepanjang perjalanan, beberapa staf sekolah yang melihat kehadiran mereka segera menundukkan kepala sebagai bentuk penghormatan. Semua orang di sekolah ini tahu bahwa keluarga Blaxton tidak hanya memiliki pengaruh besar, tetapi juga mampu menentukan nasib siapa pun yang ada di sana.
Ruang Mediasi akhirnya terlihat—sebuah ruangan dengan pintu kayu besar berukir yang mencerminkan eksklusivitas dan formalitas. Sebelum membuka pintu, Émile berhenti dan menoleh ke arah Oscar dan Brianna.
“Saya harap Anda memahami bahwa situasi ini sedang kami tangani dengan hati-hati,” ucap Émile pelan, mencoba memberi peringatan.
Oscar menatapnya tajam, membuat Émile segera menunduk dan tanpa berkata apa-apa lagi, ia membuka pintu itu perlahan. Ruangan tersebut terlihat, memperlihatkan Sexyana yang duduk di sudut dengan wajah tegang, Miss Martha yang berdiri di dekatnya, serta pasangan orang tua murid lain yang tampak masih bersikap angkuh.
Oscar melangkah masuk, diikuti oleh Brianna yang menyusul di belakangnya. Semua mata di ruangan itu langsung tertuju pada mereka. Suasana yang sebelumnya sudah tegang kini terasa semakin mencekam dengan kehadiran mereka.
***