“A- Arsa, kau … sudah kembali?” Tubuh Marisa mulai gemetar. Ia tak menyangka Arrsa sudah berada di rumah. Seketika sebuah pikiran terbersit dalam kepala. Mungkinkah Arsa memergoki ayahnya hingga ayahnya diseret seperti sampah seperti ini? “Waktumu habis. Pergi dari rumah ini.” Tubuh Marisa menegang. “A- apa maksudmu? Tapi aku belum–” “Apa kau tuli? Waktumu habis dan segera angkat kaki dari rumah ini,” ucap Arsa kembali dengan baritonnya yang dingin. Marisa menatap Arsa dengan pandangan tak percaya. Ia semakin yakin bahwa dirinya telah dipermainkan. “Kenapa? Apa sebenarnya kau sengaja? Kau sama sekali tak berniat menerima ketulusanku, usahaku, hanya ingin mempermainkanku, benar begitu?” ucap Marisa dengan memasang wajah sendu. Meski Arsa tak dapat melihatnya, ia ingin mengelabui s