Tatapanku terus menyapu foto demi foto, dan isinya benar-benar tak waras! Kata-kata Areum terasa meremehkan dan menyindir, seakan-akan ia lebih mengenal diriku daripada Mita. Seakan-akan Mita hanyalah pelengkap yang tak pernah benar-benar memahami diriku. Aku meletakkan ponsel itu di permukaan meja, menolehkan pandangan ke Mita. Tatapannya menyiratkan luka, luka lama yang tampaknya belum sembuh sepenuhnya. “Mas ingat waktu Mas ngajak aku lunch sebelum Mas ke Boston?” lirihnya. “Iya.” “Aku sakit hati banget waktu Mas ngebatalin karena lagi sama Areum?” “Apa?” Mita menatapku lekat. “Aku ngebatalin lunch?” tanyaku lagi. “Mas lupa?” “Bukan! Aku ngga pernah ngebatalin lunch kita, Mita. Kamu yang ngga datang, padahal aku nunggu lama banget. Sampai magrib aku di sana.” Keningnya mengeru