Aku berdiri di dek kapal, memandang lautan luas yang membentang di hadapanku. Angin laut yang kencang menerpa wajah, membawa aroma laut yang khas. Wangi yang selalu mengingatkanku kembali pada tragedi bertahun-tahun silam. Di sebelahku, Romo Adlar menatap kosong. Pasti beliau juga teringat akan putri tunggalnya lagi. Beliau duduk diam mematung, dan wajahnya menunjukkan kesedihan yang ku rasa memang tak akan pernah hilang. Kami berdua tengah berlayar menuju lokasi di mana pesawat yang ditumpangi Mas Alaric dan Mbak Aziza menghilang dari radar. Entahlah, rasanya seolah kami mencari penutup dari luka yang entah kapan akan benar-benar sembuh. Aku menoleh ke Romo, sorot matanya yang penuh duka itu seakan berharap laut yang tenang mampu memberikan jawaban yang telah lama kami cari. Setiap tahun

