Satu minggu kemudian. Gue berdiri di depan pintu masuk Lapas, menghela napas panjang sebelum melangkah masuk. Rasanya berat. Sama sekali ngga pernah gue bayangkan tempat ini akan jadi tujuan pertemuan kami lagi — gue dan Eylo. Seseorang yang pernah gue sematkan gelar sahabat, yang kini justru lebih tepat disebut musuh, atau mungkin orang asing yang ngga pernah gue duga akan gue lihat dalam keadaan seperti ini. Bangunan lapas di sekeliling gue terasa dingin dan kaku. Dinding tinggi, kawat berduri, dan penjagaan ketat menciptakan suasana mencekam yang mengintimidasi. Sementara di luar sana, langit yang mendung seakan menggambarkan apa yang gue rasa. Aroma lembab dan debu terasa di penciuman saat gue berjalan melewati lorong-lorong panjang menuju ruang pertemuan. Setelah proses pemeriksaan