Dua minggu sudah berlalu sejak kami kembali ke Auckland, dan hari ini aku akan kembali bertemu dengan dr. Sara, psikiaterku. Pagi ini terasa sedikit berbeda. Perasaan khawatir menggelayut di dalam benakku. Aku duduk di meja makan, menatap keluar jendela. Tristan duduk di hadapanku, sementara Farah sudah sibuk duluan dengan sarapannya. Dengan garpu di tangannya, Tristan mengangkat sepotong waffle, menyodorkannya tepat di depan wajahku. “Mama aaa!” seru Farah. “Aaa ayo!” Aku terkekeh, begitupun Tristan. “Kenapa sih? Nervous banget?” tanya suamiku kemudian. “Takut banget kalau Mita tuh masih error, Abang.” “Abang!” ujar Farah. Ia lalu berpura-pura menyuapi boneka puppy-nya sembari berujar, “Abang Tristan kan? He’s my Dad!” “Good girl!” sahut Tristan. Tangannya masih menggantung di udar