“Kenapa muka Lo keruh banget gitu sih? Kesambet setan apalagi di siang bolong kayak gini?”
Garran menatap kesal ke arah sahabatnya, yang juga merupakan rekan bisnisnya saat ini. Hubungan keduanya pun sangat dekat.
“Belum dapat jatah atau emang si Gianni nggak sesuai kriteria lo? Goyangannya kureng?” Gilang senang menggoda si pengantin baru, ia kerap melontarkan lelucon yang lebih sering membuat Garran kesal.
“Baru juga dua Minggu berumah tangga, wajah Lo udah kusam tidak b*******h begini. Gue jadi makin nggak minat untuk nyusul.”
Garran masih abai, lebih memilih untuk duduk di kursi dan menatap layar komputer tanpa minat. Ia benar-benar kehilangan minat, bahkan untuk membahas beberapa hal penting bersama Gilang pun enggan.
Tidak biasanya Garran seperti itu, kerja keras, uang dan s*x adalah hal yang paling disukainya di dunia ini.
Namun sudah dua hari ini staminanya turun drastis, minatnya pada dunia kerja mendadak loyo. Bahkan beberapa proposal yang seharusnya rampung, kini masih menumpuk di atas meja kerja tanpa disentuhnya.
“Mending nggak usah menikah deh, ribet.” jawab Garran.
Gilang hanya tertawa saja, duduk dengan santai di sofa, di ruang kerja Garran.
“Lagian Lo kemaruk banget sih, Gar. Anak-anak Lo nikahin, mana masih saudara lagi. Gue rasa saat hendak melecehkan Gianni, Lo beneran lagi dalam kondisi mabuk berat.”
Garran menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, menatap datar ke arah Gilang. Berusaha mengingat kembali apa yang terjadi hari itu, hari dimana ia melecehkan Gianni. Bukan kasus pelecehan besar, bahkan dilakukan atas dasar pengaruh obat perangsang yang sengaja ditaruh oleh April, temannya di dalam minuman yang tidak disadari Garran.
Mengingat sosok wanita itu membuat Garran marah, pasalnya April memang kerap mencari kesempatan, mencari perhatian nya selama ini. Namun rasa yang tidak pernah tumbuh dalam hati, gelenyar cinta tida kunjung hadir dalam hati Garran dan menganggapnya hanya sebatas teman, membuat Garran dengan terang-terangan menolak cinta April. Naas, penolakan itu justru berakhir dengan jebakan yang nyaris saja membuatnya celaka.
“Lo nyesel banget pasti, nikah sama Gianni. Dia kelihatan masih anak-anak banget, bukan hanya wajahnya aja, tapi bentuk tubuhnya pun,” Gilang mengusap dadanya sendiri, “Rata banget cuy! Sementara Lo suka yang semok, depan belakang ada isinya.” Gilang juga memegang b****g dengan kedua tangannya. “Anjlok banget sih, jauh!!”
Garran berdecak, saat ini bukan lagi tentang bentuk tubuh Gianni yang memang tidak mampu menarik hasrat dan keinginannya untuk berhubungan badan, bahkan membayangkan anak itu ada di bawahnya saja sudah membuat Garran bergidik ngeri. Ia merasa seperti seorang p*****l.
“Lo lebih mirip p*****l sih, Gar.” Gilang tertawa, sementara Garran semakin menatap sebal ke arahnya.
“Parah sih! Kenapa jodoh Lo anak kecil kayak gitu sih! Udah jauh dari standar, masih saudara bahkan usianya baru dua puluh tahun!”
Gilang menikmati olok-olok yang ditujukan untuk Garran, si lelaki yang kerap dianggap sempurna selama ini karena kerap mampu menggaet banyak wanita cantik tanpa harus bersusah payah tanggung jawab. Bahkan yang lebih membuat Gilang cemburu, yakni banyak wanita yang secara sukarela melemparkan diri di atas tempat tidur, membuka pakaian dalamnya hanya untuk Garran.
“Ralat,, buka dua puluh tahun tapi masih sembilan belas tahun.”
Ralat Garran, yang membuat Gilang terkejut bukan main.
“Ya ampun!! Karma is real sih, Gar. Lo kena karmanya sekarang! Lo sering jadiin cewek sebagai alat pemuas nafsu doang, mungkin aja salah satu dari mereka doain Lo supaya dapat jodoh abnormal. Untung bukan nenek-nenek peot, yang udah melawan gravitasi bumi! Setidaknya Gianni masih perawan tingting, Lo nggak rugi-rugi amat. Tapi banyak minusnya sih daripada plus nya.. ngadepin sikapnya aja gue yakin butuh kesabaran setebal tujuh lapis bumi dan tujuh lapis langit.”
Gilang benar, untuk menghadapi sikap dan perilaku ajaib Gianni, Garran diwajibkan memiliki kesabaran seluas samudera. Tapi selama dua Minggu ini ia sudah mulai terbiasa, bahkan ia merasa sudah mampu mengimbangi kelakuan aneh Gianni hanya saja dua hari terakhir, gadis itu benar-benar berhasil mengobrak-abrik suasana hatinya, yang juga mempengaruhi mood nya saat ini.
Garran dibuat kesal olehnya, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia merasa kesal sendiri tapi merasa tidak mampu melakukan apapun.
“Gue nggak percaya takhayul, apalagi karma. Gue nggak melakukan apapun.” Garran menyangkal.
“Lagi Pula, kami melakukannya atas dasar mau sama mau, nggak ada paksaan apalagi kekerasan, atau pelecehan yang berpotensi menimbulkan kerugian untuk sebelah pihak.” Garran menaikan satu alisnya, pertanda siap membanggakan diri di depan sahabatnya itu.
“Yang ada mereka ketagihan sama gue, sampe pake cara kotor hanya untuk tidur lagi sama gue. Tapi sorry ya,, yang nggak gue hubungi lagi setelah satu kali kencan, artinya dia tidak memuaskan.”
“Termasuk si April?” ledek Gilang.
“Salah satunya.”
Gilang tertawa, “Dia cantik, sayangnya dia sahabat baik Rinjani.”
Garran menoleh dengan tatapan tajam, dadanya bergemuruh kencang setiap kali nama terlarang itu disebut. Bahkan hanya dengan mendengar namanya saja, emosi dalam dirinya meningkatkan dua kali lipat. Siapapun tidak boleh sembarangan menyebut nama wanita itu, nama keramat yang mampu membangkitkan singa lapar dalam diri Garran.
“Sorry, keceplosan.” Gilang tahu kesalahan fatal yang dilakukan, tahu juga bahwa sahabatnya itu dalam mode siaga satu, sebelum ia terkena imbas dari amarah Garran, lebih baik melarikan diri dengan langkah seribu.
“Nanti gue balik setelah Lo baikkan, Oke? Bye..” Gilang melambaikan tangannya, buru-buru menuju pintu dan menghilang dalam waktu sangat singkat.
Garran menghela, merasa ia masih sangat terpengaruh dengan emosinya sendiri. Padahal kejadiannya sudah sangat lama. Lama sekali, tapi ia kerap kesulitan mengendalikan emosi dalam hati yang artinya sosok wanita bernama Rinjani masih memegang kendali hebat dalam dirinya.
Pelampiasan dengan berganti-ganti pasangan yang selama ini selalu dijadikan tameng untuk luka hati yang terlanjur menganga lebar, tidak lantas menghilangkan rasa kecewa dan sakit yang dirasakannya. Waktu pun tidak mampu mengalihkan rasa sakit itu, justru masih tersimpan rapi sebagai penyesalan besar yang tidak akan pernah ada obatnya.
Ponsel Garran berdering, ia menoleh singkat dan mendapati nama Gianni muncul di layar ponsel. Wanita satu ini pun, menjadi penyebab suasana hatinya kacau.
“Iya,” jawab Garran singkat, setelah sambungan terhubung.
“Om Gar, lagi apa?” suara nyaring, cempreng terdengar dari seberang sana.
“Renang.” jawab Garran asal.
“Oh, renang di atas tubuh wanita maksudnya? Upss maaf ganggu, pantesan judes banget.”
Suara tawa Gianni terdengar, membuat Garran semakin kesal hingga berulang kali menghela lemah menahan diri untuk tidak memaki anak itu.
“Oke deh kalau gitu, kupikir Om Gar ada di kantor, aku mau mampir bentar mau minta makan. Laper banget, uangku habis.” tutur Gianni.
“Aku balik aja.”
“Tunggu!” Garran sampai berdiri dari tempat duduknya.
“Kamu dimana?”
“Di lobi kantor kamu,”
“Tunggu, jangan kemana-mana!”
“Berapa lama? Kalau lagi tanggung dan belum selesai having s*x nya, aku pulang aja.”
“Aku bilang tunggu! Jangan pergi.”