Raka menunduk, wajahnya menempel dekat sekali dengan wajah Sekar. Nafasnya berat, hangat, membakar kulit halus istrinya. Tangannya masih mengurung kuat pergelangan Sekar di atas kepala, seakan tak sudi memberi celah untuk sekadar bergerak. Tubuh Sekar bergetar, mencoba meronta, tapi sia-sia. Nafasnya memburu, bukan hanya karena takut—ada sesuatu yang lain, sesuatu yang ia benci tapi tak bisa ia pungkiri. Raka menatap tajam, senyum tipis penuh kemenangan terukir di bibirnya. “Bibir indahmu menolak… tapi tubuhmu tidak, sayang.” Suaranya rendah, parau, seperti racun yang merembes masuk ke relung hati Sekar. “Diam, Raka! Lepaskan aku!” Sekar berusaha menutup matanya, menolak sensasi yang menyiksa pikirannya. “Aku tidak mau!” Raka mendekatkan wajahnya, kembali melumat bibir istrinya dengan

