Begitu mobil berhenti di depan lobi dimana tempat pertemuan Mita berlangsung, Mita segera membuka pintu. Udara luar yang sedikit panas menyambutnya, kontras dengan dinginnya kabin yang baru saja ia tinggalkan. “Thanks ya, Bang,” ucapnya sambil menoleh sebentar ke arah Maven. Senyumnya dipaksakan—tak ingin menyisakan rasa yang belum sempat tersampaikan. Maven membalas dengan anggukan dan senyum tipis. “Iya, Mit… Kerja yang semangat, ya.” Mita mengangguk cepat dan melangkah pergi. Namun langkahnya terasa berat. Ada yang menggantung di hatinya, tapi ia terlalu takut untuk menyebutnya rindu. Ia tak ingin terlihat terlalu berharap… terlalu berani. Sementara itu, dari dalam mobil, Maven tak langsung tancap gas. Tangannya masih menggenggam kemudi, namun pikirannya melayang—menatap punggung Mi

