Pintu ruang kerja Maven terbanting keras hingga menimbulkan gema yang menggema ke seluruh penjuru rumah besar itu. Beberapa anak buahnya yang sedang berdiri menunduk takut, tahu betul kalau sang majikan sedang tak bisa diajak kompromi. Maven berdiri di tengah ruangan dengan napas memburu, rahangnya mengeras, dan kedua tangannya terkepal. Ponsel di tangannya hampir hancur karena dicekik terlalu kuat. Sudah berapa kali ia mencoba menghubungi Mita? Puluhan? Ratusan? Ceklis satu. Ceklis satu lagi. “Sial!” teriak Maven sambil melempar ponsel ke arah dinding. Gadget mahal itu terlempar dan pecah, tapi tetap tak bisa mengurangi bara di dadanya. “Kalian kerja pakai apa, hah? Otak taruh di dengkul?” bentaknya ke arah anak buahnya yang paling dekat. “Saya suruh cari satu orang, SATU ORANG! Bah

