Dalam pangkuan Bhaskara, tubuh Diajeng menegang semakin kaku. Napasnya kini tak lagi teratur—tersengal dan nyaris tercekat. Keringat dingin terus mengalir dari pelipisnya, membasahi bagian leher dan pundak yang gemetar. Bhaskara mencengkeram tubuh istrinya erat-erat, tapi detik berikutnya, ia merasakan sesuatu merembes dari bawah perut Diajeng. Hangat. Bening. Membasahi celana dan lengan Bhaskara. Bhaskara langsung memandang ke bawah dan wajahnya pucat seketika. "Ya Allah..." gumamnya tercekat. Matanya menatap sopir di balik kaca. “Pak Gito! Ini... ini air ketubannya pecah?!” Sopir tua itu menoleh cepat, lalu kembali memfokuskan pandangannya ke jalan. "Iya, Mas! Itu ketuban. Kita harus cepat. Pegangin Bu Diajeng baik-baik, jangan sampai dia pingsan!" “Diajeng... Sayang, napas, napas..

