bc

Terperangkap Gairah Tetangga Baru

book_age18+
1.1K
IKUTI
12.4K
BACA
family
HE
love after marriage
friends to lovers
kickass heroine
boss
drama
sweet
bxg
lighthearted
kicking
brilliant
city
office/work place
love at the first sight
affair
friends with benefits
polygamy
like
intro-logo
Uraian

#Adultromance

#21+

#Noveldewasa

Rumput tetangga memang kadang terlihat hijau dan segar. Tapi siapa tahu kalau itu rumput sintetis.

Pernikahan Barry dan Alin kandas begitu juga dengan pernikahan Arman dan Lisa. Kenapa?

Karena mereka menyukai suami atau istri tetangga mereka. Siapa yang memulai konflik perselingkuhan antar tetangga tersebut?

Baca kisah mereka, ekslusif hanya di sini.

chap-preview
Pratinjau gratis
Mati Lampu
Alin baru saja keluar dari toilet setelah makan siang selesai. Dia melangkah perlahan, tiba-tiba tangan yang kuat menarik lengannya, membawanya ke kamar kecil yang terletak di sebelah toilet. "Arman?!" seru Alin dengan suara tertahan, mencoba melepaskan tangannya. Begitu pintu kamar tertutup, dia menatap pria itu dengan mata membelalak. "Apa kamu sudah gila? Menarik ku seperti ini? Bagaimana kalau ada yang melihat?" Arman berdiri tegak di hadapannya, napasnya terdengar berat. Matanya tajam menatap wajah Alin, penuh dengan emosi yang sulit diuraikan. "Aku tidak peduli. Aku harus bicara denganmu. Sekarang." Alin menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Kalau kamu ingin bicara, lakukan dengan baik. Jangan seperti ini. Apa kamu mau membuat kita ketahuan?" "Aku mau tahu, Alin," potong Arman dengan suara rendah namun tegas. "Siapa ayah dari bayi yang kamu kandung?" === Arman berdiri di depan pintu rumah Alin, rasa gugup bercampur canggung membuat napasnya terasa berat. Meski begitu, ada perasaan prihatin yang bercampur dengan kekesalan terhadap Barry. Menurutnya, sikap Barry belakangan ini sudah terlalu berlebihan dan tak sepatutnya seperti itu pada Alin. Beberapa saat kemudian, Arman akhirnya mengumpulkan keberanian dan menekan bel pintu. Tak lama kemudian, suara langkah kaki mendekat, diikuti dengan terbukanya pintu. Alin muncul dengan senyum lebar yang cerah di wajahnya. "Barry, kamu pulang cepat—" ucapan Alin terhenti seketika saat menyadari sosok yang berdiri di hadapannya adalah Arman, bukan suaminya. Senyumnya menghilang, berganti dengan ekspresi kecewa yang tak mampu ia sembunyikan. "Arman? Kenapa kamu datang ke sini malam-malam begini?" tanya Alin dengan nada datar yang nyaris dingin. Arman tersentak sedikit, jelas merasa tidak enak hati. "Ah, aku cuma mau memberikan kentang goreng ini untuk makan malammu. Sebagai tanda terima kasih karena kamu sudah meluangkan waktu untuk Lisa," jawabnya gugup. "Oh, begitu ... Terima kasih. Padahal sebenarnya tidak perlu repot-repot," balas Alin sambil menerima kotak kecil yang disodorkan Arman. Setelah itu, keduanya terdiam. Keheningan di antara mereka terasa berat, membuat suasana semakin canggung. Mereka hanya berdiri di depan pintu tanpa tahu harus berkata apa. Hingga akhirnya Arman memutuskan untuk pamit. "Kalau begitu, aku pulang dulu. Jangan lupa kunci pintu sampai Barry pulang, ya," ucap Arman dengan lembut, mencoba mengingatkan. Alin hanya mengangguk kecil tanpa berkata apa-apa. Ia menutup pintu perlahan setelah Arman pergi, lalu melangkah masuk ke dalam rumah dengan hati yang terasa semakin kosong. Sesaat kemudian, Alin mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Barry, namun hasilnya nihil. Tidak ada jawaban, tidak ada pesan balasan. "Kenapa dia tidak pernah berubah? Bahkan setelah menikah, Barry malah semakin jauh dariku," gumam Alin dengan nada getir. Ia menghela napas panjang, meletakkan ponselnya di meja, dan memandang kotak makanan pemberian Arman. Perutnya berbunyi pelan, mengingatkannya bahwa ia belum makan malam. Dengan malas, Alin menuju dapur. Ia menyalakan lampu dapur, tetapi tiba-tiba lampu di seluruh rumah padam. Tak hanya itu, terdengar suara ledakan keras dari arah luar. "AKHHH!" pekik Alin, tubuhnya langsung merosot ke lantai. Ia menutup telinganya dengan kedua tangan, mencoba menenangkan diri dari rasa panik yang tiba-tiba melanda. Dalam gelap gulita, pikirannya kalut. Ia hendak mencari ponselnya, namun barang itu entah di mana. Ketika ia sedang sibuk meraba-raba, suara pintu depan yang terbuka membuat bulu kuduknya meremang. Derap langkah terdengar mendekat, perlahan namun pasti, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Alin teringat bahwa ia belum sempat mengunci pintu, meskipun tadi Arman sudah mengingatkannya. Ketakutan menyelimutinya. Dengan tangan gemetar, Alin meraih benda apa saja yang ada di dekatnya sebagai alat perlindungan. Suara langkah itu semakin dekat, menghantui pikirannya yang sudah penuh dengan ketakutan. Hatinya bergetar, dan tanpa sadar ia berharap ada seseorang yang datang untuk menolongnya. Namun, yang mengejutkan dirinya, pikiran itu bukan tertuju pada Barry, suaminya. Sebaliknya, ia justru teringat pada Arman. Bayangan Arman yang penuh perhatian melintas di benaknya. "Kenapa aku selalu meremehkan ucapannya?" pikir Alin dengan penuh penyesalan. Ia sadar selama ini mencoba bersikap acuh terhadap perhatian Arman, berusaha menjaga jarak agar tak terpengaruh. Tapi kini, di tengah ancaman yang nyata, ia justru berharap pria itu datang untuk menyelamatkannya. Alin memeluk benda yang ia genggam erat sambil menunggu dengan perasaan takut bercampur penyesalan. "Alin?" Suara seseorang memanggil namanya, membuat jantung Alin berdegup lebih kencang. Tubuhnya bergetar dalam kegelapan, dan rasa takut semakin mencengkeramnya. Sebuah cahaya tiba-tiba menyorot ke arah tempatnya berjongkok, memaksanya untuk mengangkat wajah dengan mata yang menyipit. Dia terkejut. Yang muncul di hadapannya ternyata adalah Arman. "Alin, rupanya kamu di sini? Aku mencarimu ke mana-mana setelah melihat lampu rumahmu padam. Kenapa—" Arman menghentikan ucapannya begitu saja saat Alin tiba-tiba bangkit dan memeluknya erat-erat tanpa berkata apa-apa. Arman membeku di tempat, tubuhnya kaku seolah tidak tahu harus berbuat apa. Namun, hatinya tidak bisa menyangkal debaran kuat yang muncul di dadanya karena pelukan itu. Perlahan, ia mulai membalas pelukan Alin. Tangannya mengusap punggung wanita itu dengan lembut, mencoba menenangkannya. "Tenanglah, aku di sini. Sekarang kamu aman, Lin," ucap Arman pelan, suaranya terdengar lembut dan menenangkan. Alin mempererat pelukannya, merasakan lega yang perlahan menggantikan ketakutannya. Namun, hanya sesaat kemudian, ia tersadar dengan apa yang dilakukannya. Cepat-cepat, ia melepaskan pelukan itu, menundukkan kepala dengan wajah memerah. Keduanya berdiri dalam keheningan yang penuh kecanggungan, tidak tahu harus berkata apa. Arman akhirnya membuka suara. "Apa kamu terluka?" tanyanya cemas, memecah suasana. Alin menggelengkan kepala pelan. "Tidak," jawabnya singkat. "Apa cuma rumahku yang padam?" tanyanya lagi, kali ini terdengar lebih penasaran. Namun, tak lama ia teringat sesuatu. "Bagaimana dengan Lisa?" "Tenang saja. Lisa sudah tertidur nyenyak. Dia bahkan tidak terbangun meski ada suara ledakan dari arah rumahmu," jawab Arman sedikit bercanda agar Alin tidak terlalu tegang. "Begitu aku melihat lampu di rumahmu padam, aku langsung ke sini," tambahnya setelah mengetahui candaannya tidak berfungsi. Namun, nada lembut Arman segera berubah menjadi nada mengomel. "Terus ... kenapa kamu tidak mengunci pintu? Bukankah aku sudah mengingatkan untuk mengunci pintu? Kamu selalu ceroboh, Lin," ucapnya sambil menyorotkan senter dari ponselnya ke berbagai arah, mencoba mencari tahu penyebab ledakan yang membuat listrik rumah Alin mati. Arman mulai melangkah menuju halaman belakang, tetapi langkahnya terhenti tiba-tiba. Ia merasakan ada tarikan lembut di ujung bajunya. Ketika menoleh, ia mendapati Alin berdiri di belakangnya dengan wajah penuh kecemasan. "Kamu mau ke mana? A-Aku ... aku tidak mau sendiri," ucap Alin masih ketakutan. Arman menatapnya sejenak sebelum menjawab. "Sepertinya lampu di halaman belakangmu meledak. Aku akan mengeceknya," jelasnya. "Aku ikut. Jangan tinggalkan aku," pinta Alin ragu, namun nada takutnya terasa jelas. "Baiklah. Pegang saja bajuku dengan erat," balas Arman, mencoba menenangkan. Keduanya berjalan perlahan menuju halaman belakang, Alin mengikuti di belakang Arman sambil tetap memegang bajunya. Sesampainya di sana, mereka melihat pecahan lampu berserakan di lantai. "Tunggu di sini. Aku akan melepas bohlam yang pecah," ucap Arman sambil menaiki tangga kecil yang ia temukan. Setelah berhasil melepas sisa-sisa bohlam yang rusak, ia turun kembali dan bersiap pergi. Namun, lagi-lagi, Alin menarik bajunya. "Kamu mau ke mana lagi?" tanya Alin, kali ini dengan nada lebih panik. "Mencari saklar listrik. Jika tebakanku benar, listrik di rumahmu akan menyala kembali setelah aku menyalakannya," jawab Arman. Alin enggan melepas pegangannya pada baju Arman, meski ia tidak berkata apa-apa. Mereka berjalan menuju ruangan di bawah tanah tempat saklar utama berada. Tangga sempit yang harus mereka lewati membuat Alin semakin takut, tetapi ia terus mengikuti Arman. Sesampainya di depan saklar listrik, Arman mulai memeriksa kabel dan bersiap untuk menyalakannya. Namun, sebelum ia sempat melakukannya, suara nyaring dari seekor tikus terdengar dari sudut ruangan. "Akh!" pekik Alin, tubuhnya refleks melompat dan langsung memeluk Arman erat-erat. Detik berikutnya, listrik di rumah menyala kembali, menerangi ruangan dengan sempurna. Alin mengangkat wajahnya, dan saat itu ia menyadari betapa dekat jarak wajah mereka. Mata mereka bertemu dalam keheningan. Keduanya saling memandang, merasakan degup jantung yang saling beradu di tengah suasana yang mendadak begitu hangat namun penuh kecanggungan.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Petaka Semalam di Kamar Adik Ipar

read
6.4K
bc

Rayuan Sang Casanova

read
3.8K
bc

Kusangka Sopir, Rupanya CEO

read
30.2K
bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
8.7K
bc

Terjebak Pemuas Hasrat Om Maven

read
32.3K
bc

Desahan Sang Biduan

read
36.8K
bc

Benih Cinta Sang CEO 2

read
19.6K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook