Letupan Gairah

1180 Kata
Tatapan mata Arman dan Alin bertemu, membuat semu merah perlahan menyelimuti wajah mereka. Ada campuran perasaan yang begitu sulit diungkapkan. Kecemasan, kekhawatiran, dan rasa syukur semuanya berbaur, menahan keduanya untuk tidak melepaskan pelukan satu sama lain. Pandangan mereka secara tak sadar jatuh pada bibir di hadapan mereka, seolah ada magnet tak kasat mata yang menarik perhatian mereka. Jantung mereka berdebar semakin kencang, seiring jarak di antara wajah mereka yang perlahan kian menipis. Dalam keheningan, mereka melupakan status masing-masing. Tak ada dinding penghalang yang terasa, seakan waktu berhenti. Dengan kesadaran penuh, mereka membiarkan perasaan mereka berbicara. Bibir keduanya bertemu, menyatu dalam sebuah kehangatan yang begitu mendalam. Arman dan Alin memejamkan mata mereka, merasakan kehangatan yang mengalir ke dalam hati masing-masing. Pelukan mereka menguat, seakan ingin memastikan bahwa momen ini adalah jawaban atas pertanyaan yang selama ini menggantung di benak mereka. Lumatan lembut semakin menuntut membuat keduanya terhanyut dalam gairah yang membuncah. "Ssshhhh ... Eugh!” desis Alin ketika ciuman Arman turun menyusuri leher jenjangnya. Terus turun hingga bertemu dengan dua bukit kembar yang menyembul di balik bra berenda berwarna putih di balik piyama yang Alin pakai. Arman menatap dalam seakan meminta ijin untuk lebih bisa menjelajah daerah sana. Anggukan kecil Alin cukup menjawab. Pria itu langsung meremas lembut dan membenamkan wajahnya di antara dua gundukan milik Alin. Alin tak kuasa menahan desahan dari bibir mungilnya ketika Arman mengisap dan memainkan puncak bukit kembarnya bergantian. Namun, semuanya terpecah oleh sebuah suara dari kejauhan yang mengejutkan mereka. "Alin?” “Barry?” gumam Alin panik, wajahnya seketika dipenuhi ketakutan. Suara itu terdengar semakin jelas, mendekat ke arah mereka. Buru-buru Alin merapihkan dirinya. “Tenanglah, Alin,” ucap Arman, berusaha menjaga ketenangannya agar tidak memancing kekhawatiran lebih jauh. “Bagaimana aku bisa tenang?” Alin berbisik keras, tubuhnya mulai gemetar. “Kalau Barry sampai tahu apa yang sudah kita lakukan—” Arman segera memegang kedua lengan Alin, menatap matanya dengan sorot tegas namun menenangkan. “Dengar, Alin. Kita hanya mencari saklar lampu. Tak ada yang terjadi setelah itu,” ucapnya dengan nada yakin, seolah meniadakan segala kesalahan. Alin sempat merasakan kecewa yang menyeruak di dalam hatinya. Namun, tatapan serius dan nada bicara Arman membuatnya sadar bahwa ia tidak bisa bertindak impulsif. Ia mengangguk pelan, mencoba memahami situasi. “Oke, kalau begitu . Aku akan keluar dan menyambut Barry seperti biasa,” ujar Alin akhirnya. Ia bergegas merapikan pakaiannya dan mengusap rambutnya yang sedikit berantakan sebelum melangkah ke ruang tengah. Sesampainya di sana, ia melihat Barry berdiri dengan ekspresi heran. “Barry? Kamu sudah pulang?” tanyanya dengan nada gugup yang berusaha ia sembunyikan. “Aku lihat pintu depan terbuka lebar. Kamu dari mana saja?” tanya Barry dengan alis terangkat, matanya menyiratkan kecurigaan. Sebelum Alin sempat menjawab, Arman muncul dari belakangnya. Barry segera menatapnya dengan sorot penuh pertanyaan. “Arman? Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya dengan nada tajam, membuat Alin semakin gugup. “Lampu rumahmu padam. Aku datang untuk memeriksa apa yang terjadi. Ternyata penyebabnya adalah lampu di halaman belakang yang meledak,” jelas Arman dengan nada tenang dan tanpa sedikit pun ragu. “I-itu benar,” sambung Alin, suaranya terdengar terbata. “Arman datang untuk membantu karena tahu aku sendirian di rumah.” Barry mempersempit matanya, tatapannya semakin penuh kecurigaan. “Kamu tahu Alin sendirian?” “Tentu saja, Aku melihat kamu pergi pagi tadi. Lisa juga memberitahuku bahwa kamu belum pulang karena dia menghabiskan hari bersama Alin di sini.” Barry menatap tajam ke arah Arman, lalu melangkah menuju halaman belakang. “Kamu bilang lampu halaman belakang meledak?” tanyanya, seolah ingin membuktikan kebenaran itu sendiri. Ia berjalan ke luar dan mendapati pecahan bohlam berserakan di lantai serta tangga kecil yang digunakan Arman untuk memperbaiki lampu. Ekspresinya sedikit melunak. “Ternyata itu benar,” gumamnya, meskipun nada tidak percaya masih terasa. Arman, yang berdiri di ambang pintu, mengangguk singkat. “Kalau begitu, aku pamit dulu. Sebaiknya kamu tidak pulang terlalu malam,” ucapnya sambil menatap Barry. Namun, pernyataan itu membuat Barry menoleh dengan sorot tajam. “Apa maksudmu bicara seperti itu?” tanyanya dingin. Alin yang berdiri di belakang mereka menelan ludah, gugup akan reaksi Barry. “Barry—” Namun, Arman segera menyela. “Aku tidak bermaksud mencampuri urusan kalian. Tapi, sebaiknya kalau bertengkar, lakukan di dalam rumah, bukan di depan pintu.” Kata-kata itu terasa menohok, membuat wajah Barry mengeras penuh ketidaksukaan. “Jika tidak ingin mencampuri, seharusnya kamu tidak perlu berkomentar,” balas Barry dengan nada yang sedingin es. Arman mengangguk kecil. “Kamu benar. Maaf. Aku pamit sekarang,” ucapnya sebelum melangkah pergi meninggalkan rumah itu. Alin memandang kepergian Arman dengan perasaan cemas yang tak bisa ia sembunyikan. Namun, ia kembali tersentak oleh pertanyaan Barry. “Alin, kamu meminta Arman untuk menolong?” tanyanya dengan nada sinis. “Ya, karena kamu sulit dihubungi. Jadi, siapa lagi yang bisa aku mintai tolong? Toh Lisa juga tidak keberatan,” jawab Alin, kali ini dengan nada yang dingin, tak ingin terlihat lemah di hadapan Barry. “Jadi kamu menyalahkan aku?” suara Barry mulai meninggi, menunjukkan emosinya yang tak terkendali. “Cukup, Barry. Lampu yang pecah bukan salahmu. Aku hanya meminta tolong pada orang yang ada di rumah. Dan itu bukan kamu,” jawab Alin tegas, lalu beranjak untuk mulai membersihkan pecahan bohlam yang berserakan. Barry hanya berdiri di tempatnya, tak bisa membalas sepatah kata pun. *** Arman tiba di rumah, perasaannya kacau balau, berantakan tak menentu. Pikirannya terus kembali ke momen yang baru saja terjadi. Saat berdiri di depan pintu, ia memutar tubuhnya sejenak, menatap rumah Alin dari kejauhan. Ia mengusap bibirnya perlahan, seakan masih bisa merasakan hangatnya ciuman mereka. Namun, lamunan itu buyar saat suara Lisa memanggilnya dari dalam rumah. "Arman? Kamu dari mana saja?" tanya Lisa dengan nada penuh rasa ingin tahu, membuat Arman segera menoleh ke arahnya. Arman mencoba menjaga ekspresinya tetap tenang. "Kenapa kamu bangun? Listrik di rumah Barry padam, jadi aku ke sana untuk memeriksa. Ternyata benar, listriknya korslet karena lampu di halaman belakang pecah," jawabnya santai sambil melangkah mendekat ke arah Lisa. Lisa, yang tampak baru bangun tidur, mengerutkan dahi. Rambutnya sedikit berantakan, dan Arman refleks mengusap wajahnya dengan lembut sambil merapikan rambut istrinya. "Benarkah? Lalu bagaimana dengan Alin? Dia pasti ketakutan sendirian," ucap Lisa cemas. "Tenang saja, untungnya Barry sudah pulang. Jadi dia nggak sendirian lagi," jawab Arman dengan nada datar. "Syukurlah kalau begitu. Seharusnya Barry nggak meninggalkan Alin sendirian seperti itu, kan?" ujar Lisa sedikit kesal. "Sudahlah, jangan ikut campur. Itu urusan mereka." Arman menasehati, berusaha agar Lisa tidak terlalu memikirkan masalah itu. Ia kemudian meraih tangan Lisa dan membimbingnya ke ruang tengah. Lisa menurut, duduk di salah satu kursi di meja makan. "Kamu nggak lapar? Kamu belum makan malam, kan?" tanya Arman sambil menatapnya. "Aku terbangun karena lapar, tapi tadi nggak menemukan kamu di mana pun. Apa kentang gorengnya masih ada?" tanyanya. "Aku akan buatkan yang lain. Tunggu sebentar di sini," jawabnya sambil melangkah ke arah dapur. Lisa hanya mengangguk pelan, mengambil ponselnya dari meja dan mulai memeriksa sesuatu. Setibanya di dapur Arman berhenti sejenak, menghela napas panjang, merasa lega karena Lisa sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kecurigaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN