Semua berawal sejak beberapa bulan lalu,
Matahari baru saja merangkak naik, menyinari dapur modern di rumah megah komplek elite. Aroma kopi yang segar memenuhi udara, berasal dari mesin kopi otomatis yang baru selesai menggiling biji kopi pilihan. Di meja makan, Arman seorang CEO muda sebuah perusahaan bidang kontraktor duduk dengan kemeja putih rapi, menikmati secangkir kopi hitam favoritnya. Di depannya, sepiring croissant terhidang rapi.
Terdengar suara langkah terburu-buru. Lisa—istrinya, muncul dari arah kamar dengan rol rambut yang masih menempel di poninya. Mengenakan blazer krem, ia tampak cantik sebagai pemilik butik terkenal di kalangan para artis dan pejabat.
“Selamat pagi, Sayang," sapa Arman, tersenyum lembut. “Kamu tampak sibuk pagi ini?”
“Pagi. Maaf, aku terburu-buru. Hari ini ada pelanggan VIP yang ingin bekerja sama dengan butikku. Aku tidak boleh terlambat,” jawab Lisa cepat sambil meraih tas kerjanya.
“Oh ya? Itu kabar yang bagus. Tapi, setidaknya sarapan dulu,” saran Arman sambil menunjuk croissant di meja.
Namun, bukannya duduk, Lisa malah berjalan mendekat, mengambil cangkir kopi dari tangan Arman, dan meminumnya dengan cepat. “Kopinya enak. Terima kasih ya,” ucapnya dengan senyum tipis sebelum mengembalikan cangkir itu.
Arman hanya menggeleng kecil sambil tersenyum, seolah sudah terbiasa dengan kegiatan sarapan pagi itu. Pernikahan mereka sudah berjalan tiga tahun. Namun, belum juga dikaruniani anak.
“Mau aku antar saja ke kantor?” tawarnya saat Lisa mulai melangkah keluar.
Namun langkahnya terhenti ketika bel pintu berbunyi. Arman menoleh ke arah pintu utama, dan di sana berdiri pasangan pengantin baru yang membawa senyum lebar dan sebuah kotak kue.
Sepasang suami istri, tetangga baru mereka yang baru saja pindah ke rumah di sebelah.
“Selamat pagi! Maaf mengganggu, saya Barry dan ini Alin istri saya. Kami baru saja pindah ke sebelah,” ucap Barry ramah.
“Selamat pagi, ini ada sedikit kue buatanku, semoga kalian suka,” ucap Alin dengan ramah sambil menyerahkan kotak kue itu.
Arman membalas dengan senyum hangat. “Ah, terima kasih banyak. Senang akhirnya bisa bertemu. Saya Arman, dan ini istri saya, Lisa.”
“Senang berkenalan dengan kalian,” sahut Lisa sembari menerima kue buatan Alin. “Wah aromanya masih hangat, apa ini baru saja dibuat?”
“Benar, semoga cocok dengan kalian ya,” jawab Alin membenarkan.
“Kebetulan sekali aku belum sarapan, aku akan membawanya sebagian untuk ke kantor,” ucap Lisa dan melirik jam tangannya dengan terkejut. “Astaga! Maaf bukannya aku tidak ingin berbincang lama dengan kalian, tapi aku harus buru-buru ke kantor. Terima kasih atas kuenya. Arman, aku pergi dulu ya,” ucap Lisa sambil melangkah keluar rumah menuju mobil merah maroon miliknya.
Arman mengikutinya hingga ke depan pintu mobil dan melindungi kepala Lisa saat hendak masuk. “Apa sudah tidak ada yang tertinggal? Jangan lupa makan siang dan habiskan kuenya di jalan,” ucapnya mengingatkan.
Lisa tersenyum kecil, “Tidak ada, aku sedang mengecek semuanya. Oh iya Aku sudah masak makanan kesukaanmu untuk makan malam. Semua di kulkas, kamu tingga hangkatkan. Jangan lupa dimakan ya! Aku akan pulang terlambat," ucapnya dalam satu tarikan nafas.
“Baiklah, hati-hati di jalan,” ucap Arman dan menutup pintu mobil itu lalu membiarkan Lisa pergi.
Arman pun berbalik dan tersenyum tidak enak pada Barry dan Alin yang berjalan menghampiri.
“Maaf, istriku Lisa memang selalu sibuk setiap pagi. Dia punya butik yang cukup ramai,” jelas Arman merasa tidak enak hati pada keduanya.
“Oh tidak apa-apa, kami yang harusnya meminta maaf karena sudah datang pagi-pagi sekali. Maaf sudah mengganggu,” balas Barry.
“Iya, kami seharusnya datang malam hari bukan pagi-pagi begini. Maafkan kami ya,” sahut Alin dengan suara lembutnya. Arman sempat terpukau dengan kelembutan dari Alin. Tapi dia dengan cepat menyadarkan diri dan menatap ke arah Barry.
“Tidak masalah, justru kalau malam mungkin aku dan Lisa tidak ada di rumah.”
“Sepertinya kamu juga harus berangkat kerja, Arman,” ucap Barry mengingatkan. Arman melihat jam tangannya dan tampak terkejut.
“Kamu benar, jalanan pasti sangat macet jika aku berangkat lebih siang lagi. Bagaimana kita makan bersama akhir pekan ini?” ajak Arman dengan melangkah terburu ke arah mobilnya.
Barry dan Alin saling pandang dengan bingung. “Tentu, jika kami tidak menggangu,” jawab Barry.
“Oke, kalau begitu datanglah minggu siang. Aku dan Lisa akan membuatkan pesta sambutan untuk kalian,” ucap Arman yang sudah masuk ke dalam mobilnya.
“Baiklah, hati-hati di jalan,” ucap Barry dan Arman melambaikan tangannya meninggalkan sepasang suami istri itu.
“Mereka tampak sibuk sekali bukan?” ucap Alin setelah mobil Arman menghilang dari pandangannya.
“Bukankah kita juga sibuk? Hari ini aku masuk siang karena kita baru pindah. Apakah restoranmu sudah selesai persiapan pembukaannya?” tanya Barry dengan menggandeng tangan Alin membawanya kembali ke rumah.
“Sedikit lagi," jawabnya singkat.
Alin terhenti membuat Barry terhenti saat hendak membuka pintu rumah.
“Kenapa?”
“Arman dan Lisa tampak romantis, mereka masih saling perhatian disela kesibukan mereka. Apa kita juga bisa seperti itu?” tanya Alin tiba-tiba dengan perasaan sedikit iri.
Barry menatap tajam lalu menarik Alin ke dalam pelukkannya dan memberikan kecupan dengan kilat. Alin membalas dengan pukulan ringan pada lengan Barry.
“Kalau ada yang lihat gimana?” tanyanya dengan melirik ke sekeliling.
“Kita baru saja menikah, kenapa kamu sudah mengkhawatirkan hal itu? Aku akan selalu memberikan perhatian padamu meski pun sibuk,” ucap Barry mengumbar janji. Tapi Alin menatapnya tidak percaya.
“Bahkan saat kita pacaran kamu selalu mengutamakan pekerjaan dari pada memberikan kabar padaku,” protes Alin. Bibirnya mengerucut kecil membuat Barry gemas melihatnya lalu memberikan kecupan berkali-kali dengan membawanya masuk ke dalam.
***
Malam sudah mulai larut, Alin masih membereskan barang-barangnya sendirian. Rumah besar itu tampak masih berantakan dan kosong. Alin melirik jam yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Wajahnya yang cantik terlihat tidak semangat dan mengecek ponselnya. Dia menatap pesan dari Barry yang mengatakan bahwa suaminya itu harus lembur hari ini.
Alin menaruh kembali ponselnya, dia melihat rak bukunya yang masih kosong. “Di mana buku yang lain?” tanyanya heran. Alin bangkit dan membuka satu persatu dus yang ada di sana. Tapi buku yang dia cari tak ada.
“Kok gak ada ya? Apa ketinggalan?” gumam Alin lalu pergi keluar rumah. Di sudut halaman rumahnya, Alin melihat beberapa dus yang masih tertinggal di sana. Alin mendesah karena Barry tidak membawa semua dusnya.
Alin memutuskan untuk mencoba membawanya sendiri ke dalam. Namun, rerumputan yang basah karena hujan ternyata licin. Sepatu kets Alin kehilangan pijakan.
“Astaga!” pekiknya pelan saat tubuhnya mulai terhuyung ke belakang, tangan kanannya masih berusaha memegang dus sementara kaki kirinya berusaha mencari keseimbangan.
Saat itulah, sebuah tangan kokoh tiba-tiba menangkap punggungnya sebelum ia benar-benar jatuh ke tanah. Alin terkejut, menoleh, dan melihat wajah Arman yang hanya beberapa inci dari wajahnya.
“Tidak apa-apa? Hati-hati kalau berjalan di sini, rumputnya licin,” ucap Arman dengan nada tenang namun penuh perhatian.
Namun, jarak wajah keduanya yang cukup dekat membuat jantung mereka berdegup kencang. Membuat napas mereka terasa cepat ditemani dengan rintik-rintik air hujan yang mengguyur tubuh keduanya.