Alin membuka pintu toko kuenya dengan tangan gemetar. Udara pagi yang seharusnya segar malah terasa sesak baginya. Langkahnya terhenti di tengah ruangan, dan dia merasakan hatinya seperti tertusuk ribuan jarum. Matanya memanas, dan tanpa bisa menahannya, air mata mulai mengalir di pipinya. Bayangan bercak lipstik di tisu yang dia temukan di mobil Barry terus terulang dalam pikirannya. Semua kecurigaan yang selama ini dia tekan kini menyeruak, menambah rasa sakit yang tak tertahankan. Dadanya terasa sesak, seolah-olah napasnya tertahan di kerongkongan. Dengan tangan gemetar, Alin merogoh ponselnya dan segera menelepon Arman. Ketika panggilan tersambung, suaranya pecah dalam isakan. "Arman ... aku nggak tahu harus gimana lagi." Arman yang mendengar suara tangis Alin di ujung telepon lang