Alin membeku di tempatnya, begitu bibir Arman meraupnya. “Arman, jangan …mphhh ...,” rintih Alin, tapi yang keluar dari mulutnya hanya serupa desahan lirih. Arman mendorongnya lembut, hingga akhirnya Alin merebahkan kepalanya di sandaran sofa. Merapatkan tubuhnya, membuai Alin dengan sentuhan hangat dan membelai perutnya dengan lembut. “Aku merindukanmu, Alin!” bisik Arman, lalu memperdalam ciuman mereka dengan penuh gairah, seolah tak merasakan tubuhnya yang kini sedang demam. Alin tentu saja, antara canggung karena Arman sedang sakit, tapi di sisi lain tubuhnya juga tak bisa menolak. Dia rindu, dia haus akan sentuhan Arman, lelaki yang sudah memberikan kehangatan lain di luar rumah tangganya dengan Barry. “Arman ….“ Alin merintih ketika tangan Arman menyusup masuk ke balik baju ham