Bab 4. Arkan, Kembaran Aslan

1253 Kata
“Aku mau keluar sebentar, jangan bukakan pintu untuk siapapun, mengerti?” Suara berat Aslan menggema di telinga Audri. Gadis itu menoleh sekilas, kemudian mengangguk dan mengacungkan jempol. “Siap, Om!” “Dengarkan aku baik-baik, anak kecil!” “Astaga, aku denger, Om!” Audri melotot tajam, menghadapkan seluruh tubuhnya pada Aslan. “Aku bilang apa, hah?” “Jangan bukain pintu buat siapapun, iya kan?” “Bagus.” Aslan mengangguk puas. “Memangnya Om mau ke mana?” Audri bertanya sambil kembali adonan kukis di dalam mangkok besar. Ya, ia sedang mengisi waktu dengan salah satu hobinya, membuat kue. “Ada urusan. Paling lama satu jam,” ucap Aslan sambil mengenakan jaket kulitnya. “Apa? Mau nonjok orang lagi?” tanya Audri acuh tak acuh. Aslan merengut, menatap punggung istrinya dengan tatapan tajam. “Mulutmu itu tidak bisa diam, ya? Selalu menyahut.” “Orang cuma tanya apa salahnya sih?” balas Audri sedikit kesal. “Kamu banyak tanya!” sembur Aslan tak kalah kesal. “Dih, emosian!” Audri membalas dengan sedikit cibiran. “Bilang lagi!” Aslan sudah melangkah lebar ke dapur, hendak memiting leher istrinya namun segera ia urungkan. Tubuh kecil Audri terlihat ringkih dibanding otot-otot yang menghiasi lengan kekarnya. “Emang iya kan? Om emosian makanya harus melampiaskan emosi dengan mengikuti pertandingan tinju bebas. Jangan kira aku nggak tahu, Om.” “Wah, wah, coba lihat siapa yang sombong sekarang?” Aslan terkekeh geli, berkacak pinggang menatap punggung Audri. “Bukan sombong, Om, tapi fakta.” Kekehan Aslan kembali terdengar. Ia tak menyangka akan merasa terhibur dengan kelancangan mulut Audri yang selalu membalas ucapannya. “Jadi karena itu kamu tidak mempertanyakan kenapa tubuhku dipenuhi luka dan lebam waktu pertama kali kamu ke sini?” Audri mengangguk, lalu menoleh sekilas. “Dan ke depannya aku bakal sering lihat yang kayak gitu kan?” Aslan tertegun. Entah kenapa dadanya berdesir halus saat Audri mengatakan itu. Seolah gadis mungil itu sedang mengkhawatirkannya. Ia berdehem pelan dan berkata dingin. “Ya, kamu harus terbiasa dengan pemandangan itu selama menjadi istriku.” “Oke.” Audri menyahut santai lalu bergeser mengambil loyang kue. “Sudah, sana berangkat! Keburu telat nanti dikira takut sama musuh Om.” Tawa renyah Aslan mengudara seketika. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, benar-benar terhibur dengan mulut Audri yang ceplas-ceplos. “Ya sudah, aku berangkat. Ingat pesanku, jangan bukakan pintu untuk siapapun.” “Oke, oke.” Aslan berbalik dan segera meninggalkan apartemennya. Sementara Audri terus sibuk membuat kukis cokelat kesukaannya. Salah satu hobinya yang sulit ia lakukan saat masih tinggal bersama Panca. Tak butuh waktu lama, Audri sudah mondar-mandir di dapur sambil sesekali mengintip ke dalam oven. Ya, loyang berisi puluhan kukis itu sudah masuk ke dalam oven. Mereka harus diawasi agar tidak gosong. Namun sayang sekali, perhatian Audri harus terganggu karena bunyi bel di pintu apartemen yang terus berbunyi. “Ih, ini si Om lupa password atau gimana sih?” dengusnya kesal. Bel itu kembali berbunyi. Maka dengan langkah lebar dan wajah merengut kesal, Audri berjalan menuju pintu setelah memastikan kukisnya masih jauh dari gosong. “Iya, iya, sebentar!” serunya sambil membuka pintu dengan gerakan cepat, melupakan pesan Aslan yang memintanya untuk tidak membukakan pintu untuk siapapun. Begitu pintu terbuka, Audri semakin merengut kesal. “Om lupa password atau gimana, sih? Kenapa nggak langsung buka aja? Aku lagi sibuk bikin kue loh.” “Huh?” “Eh?” Audri mematung sesaat, menatap pria yang amat mirip dengan Aslan di hadapannya. Matanya bergerak ke atas ke bawah, mengamati pria itu dengan lebih seksama. Wajah pria itu memang mirip Aslan, tapi berbeda. Aslan punya aura menakutkan yang kental, sementara pria itu justru terlihat menyenangkan dan bersahabat. Tubuh pria itu juga tidak setinggi dan sebesar Aslan. Potongan rambutnya juga berbeda, dan gaya berpakaiannya pun berbeda. “Hah? Siapa kamu?!” Audri buru-buru menutup pintu apartemen Aslan. Namun, pria itu sudah lebih dulu menahan daun pintu agar tidak berdebam tertutup. “Tunggu! Jangan ditutup!” “Siapa kamu?” bentak Audri galak sambil terus menahan daun pintu dengan kedua tangannya. “Masa nggak bisa ngenalin? Udah lupa atau gimana sih?” Pria yang mirip dengan Aslan itu pun masih menahan daun pintu agar tidak tertutup. “Hah? Siapa sih?” Audri mengernyit bingung, mencoba menggali memorinya tentang pria di hadapannya. Namun, usaha Audri untuk mencoba mengingat wajah di hadapannya itu seketika langsung buyar saat mendengar suara oven berdenting. Ia membelalak dan segera melepas cengkramannya pada daun pintu, membuat pintu terbanting karena pria itu masih menahan daun pintu dengan kuat. Pria yang mirip dengan Aslan itu nyaris jatuh terduduk dengan jemari yang terjepit daun pintu. “Aduh!” Audri mendengar suara mengaduh kesakitan di belakang punggungnya, tapi ia tak peduli. Ia harus segera menyelamatkan kukisnya agar tidak gosong. Audri buru-buru membuka tutup oven dan mengeluarkan kukis cokelat buatannya, memindahkan loyang dari dalam oven ke atas meja dapur. Aroma lezat segera memenuhi dapur. Kedua mata Audri berbinar senang saat melihat hasil karyanya yang terbilang bagus. Tanpa ia sadari, pria yang tadi di luar sudah masuk dan kini bersandar pada dinding dapur sambil menyedekapkan tangan, menatap Audri dengan senyum tipis di bibirnya. “Tanggung jawab, Kak!” tegurnya. Nyaris membuat Audri terlonjak kaget. “Aduh, hampir aja jantungan!” gerutu Audri sambil memegangi dadanya. “Eh, kok kamu udah masuk? Tanggung jawab apa, sih? Aduh, Jangan mendekat!” Ia buru-buru menyambar spatula dan menodongkannya pada pria itu. Bukannya takut, pria itu justru tertawa pelan sambil menggeleng pelan. Ia berdiri tegak, memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku, kedua matanya tak lepas dari sosok Audri di hadapannya. “Kakak lucu juga, ya?” gumamnya sambil memiringkan kepalanya sedikit. “Kakak?” Audri tersadar dengan cara pria itu memanggilnya sejak tadi. “Oh!” Ia menutup mulutnya sendiri, baru bisa mengingat wajah itu. “Kenapa? Udah ingat?” Pria itu berjalan mendekat, mengintip kukis buatan Audri. Audri tertawa pelan. “Iya, iya. Baru ingat.” Pria itu tersenyum lebar, kemudian mengacungkan tangan kirinya, menunjukkan jemarinya yang memerah karena terjepit pintu. “Tanggung jawab!” ucapnya dengan senyum tipis di bibir. “Eh, itu kejepit pintu?” Kedua mata Audri membelalak. “Iya. Ayo obatin!” Audri menghela nafas pelan. “Iya, iya, habis ini. Ada apa ke sini? Kakakmu nggak ada.” “Oh ya? Ke mana?” Arkan, pria yang amat mirip dengan Aslan itu mendekati Audri dan menyomot satu buah kukis dari loyang. “Heh!” Audri buru-buru menepuk tangan pria itu, membuat kukis di tangannya terjatuh kembali ke loyang. Arkan melongo, tak menyangka akan mendapat teguran selancang itu dari gadis mungil di hadapannya. “Cuci tangan dulu sana. Enak aja dari luar langsung nyomot makanan, banyak kuman tahu!” Mau tak mau, Arkan tersenyum semakin lebar. “Wah, apakah kakak iparku ini semacam pengidap OCD?” “OCD apaan? Enggaklah! Itu aturan umum, kalau baru masuk rumah ya harus cuci tangan sebelum pegang apa-apa. Apalagi pegang makanan. Sana, cuci tangan dulu! Mau dibuatin kopi nggak?” tawar Audri dengan nada acuh tak acuh sambil memindahkan kukis ke piring. Arkan terkekeh tanpa suara. “Oke, oke. Aku cuci tangan dulu. Kopi? Hm, teh aja deh.” “Oke.” Audri menyahut santai. Arkan segera berlalu dari sisi Audri dan berjalan menuju wastafel, mencuci tangannya di sana dan kembali ke sebelah Audri yang kini sedang sibuk membuat dua gelas teh. Arkan Samudra Wirabuana adalah adik kandung sekaligus kembaran Aslan. Ya, pria itulah yang mewarisi Wirabuana Architect, perusahaan yang dikembangkan oleh orang tua Aslan dan Arkan. Mengapa bukan Aslan yang mewarisinya padahal Aslan adalah anak pertama?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN