Bab 5. Cemburu (?)

1140 Kata
Tentu saja jawabannya adalah karena Aslan kerap berulah dan tempramen. Orang tua mereka tidak mau menumbalkan perusahaan yang telah dibangun selama bertahun-tahun hanya untuk dihancurkan oleh anak pertama mereka. Pun ketika mereka melakukan perjanjian pernikahan dengan keluarga Mahardika – salah satu keluarga pemilik perusahaan kontraktor terbesar di ibukota, mereka memilih untuk menumbalkan Aslan daripada Arkan. Singkatnya, Aslan ditumbalkan dan disisihkan dari keluarganya sendiri dengan cara halus. “Nah, tunggu di sofa sana. Habis ini aku bawain ini ke sana sekalian aku obatin jarimu itu,” ucap Audri setelah selesai membuat teh. Arkan menggeleng dan tersenyum hangat. “Nggak usah. Sini biar aku bantu. Kamu ambil obat buat jariku aja.” Ia segera mengambil nampan dan meletakkan dua gelas teh serta sepiring kukis ke atas nampan. Audri melongo sesaat ketika Arkan dengan santainya membawa nampan ke ruang tengah. Ia segera mengambil waslap dan baskom berisi air es lalu membawanya ke sofa ruang tengah, menyusul Arkan dengan cepat. “Wah, kalian beda banget, ya?” komentarnya setelah melirik Arkan sekilas. Arkan menoleh, masih tersenyum hangat. “Siapa? Aku sama kak Aslan?” Audri mengangguk. Mereka sudah tiba di sofa, duduk bersebelahan. “Emang apa bedanya?” tanya Arkan sambil meletakkan nampan dan menyomot satu buah kukis. Ia menyodorkan tangan kirinya pada Audri. “Ck, bohong kalau nggak tahu,” decak Audri sambil ikutan mengambil satu buah kukis dan segera mengunyahnya. “Hm, enak,” komentarnya kemudian. Arkan ikut menggigit kukis di tangannya. Kedua matanya segera membola ketika ia mulai mengunyah, kukis itu memang enak. Manis, pahit, renyah, namun lumer di mulut. Ia mengangguk setuju. “Tapi kami kembar identik kok.” Arkan menanggapi kalimat Audri setelah menelan kukis di mulutnya. “Siapapun juga tahu kalau kalian kembar identik. Bukan soal wajah, tapi soal kepribadian. Sekali lihat juga kelihatan bedanya.” Audri berkomentar sambil menghabiskan kukis di tangannya dan mulai fokus pada jari Arkan yang memerah. “Oh ya? Apa bedanya?” Arkan bertanya sambil tersenyum tipis, mulai menikmati obrolan santainya dengan sang ‘kakak ipar’. “Ini nggak keluar darah kok, cuma butuh dikompres aja.” Audri tak menjawab pertanyaan Arkan, justru memberi komentar soal luka di jari sang pria. Arkan ikut menunduk, mengintip jemarinya sendiri. “Oh ya? Ya udah kompresin,” pintanya. “Ck, manja!” gerutu Audri, tapi tetap mengambil baskom berisi air es dan waslap, memeras waslapnya sebelum menempelkannya pada jemari Arkan. Arkan berjengit pelan saat rasa dingin menyentuh punggung jarinya dan lembutnya jemari Audri bersentuhan dengan telapak tangannya. Untuk sesaat, Arkan hanya menatap kakak iparnya itu. Sentuhan Audri sangat lembut di tangannya, seolah sangat berhati-hati agar tidak memperparah lukanya. Pria itu tersenyum lembut, menyamankan posisi duduknya di sebelah Audri. “Jadi, apa bedanya aku sama kak Aslan?” Arkan bertanya lagi, memecah hening. Audri mendongak, memperhatikan Arkan sekilas, sebelum kembali menyelupkan waslap ke air dingin dan memerasnya. Lalu kembali menempelkannya di jemari Arkan yang memerah. “Mau tahu apa dulu nih?” tanya Audri. “Maksudnya?” “Fisik atau personaliti?” Arkan tertawa renyah. “Fisik dulu deh.” “Jelas beda dong. Om Arkan lebih tinggi, badannya juga lebih berotot, mukanya lebih sangar dan tegas gitu.” Senyum di bibir Arkan lenyap. Ia tahu kakaknya memiliki fisik yang lebih baik darinya. Ia mendengus samar, kemudian berkata lagi. “Kalau personaliti?” Audri mendongak, menatap Arkan dengan sedikit kerutan di dahi. “Kamu… kelihatan lebih hangat.” Senyum lembut itu kembali ke bibir Arkan. Ia suka dengan cara Audri mendeskripsikan dirinya dengan kata ‘hangat’. Namun, belum sempat Arkan menanggapi ‘pujian’ Audri, pintu apartemen Aslan itu sudah terbuka. Sosok tinggi besar dalam balutan jaket kulit itu memasuki ruangan, tatapannya langsung bertemu dengan mata Arkan dan Audri. Wajah Aslan yang sudah sangar dan menakutkan itu kini semakin menggelap. Tanpa menunggu sedetik pun, Aslan langsung meradang. Ia berjalan dengan langkah lebar menuju sofa dan menyambar tangan Arkan yang dipegang oleh Audri. “Eh! Itu belum selesai diobatin!” seru Audri terkejut. Aslan mendengus kasar. “Aku sudah bilang, jangan bukakan pintu untuk siapapun! Kenapa kau membukakan pintu untuknya, hah?!” bentaknya galak. Sorot matanya setajam belati. Belum sempat Audri menjawab, Aslan sudah beralih menatap Arkan dan menarik tangannya kasar, membuat adik kembarnya itu berdiri seketika. “Pulang kau sekarang!” usirnya penuh amarah. Arkan menghela nafas pelan. Pembawaannya masih tenang dan bersahabat meski dibentar sedemikian galak oleh Aslan. “Aku ke sini cuma mau ngasih tahu kalau kalian diundang makan malam di rumah besok malam.” Arkan berkata datar, amat berbeda dengan intonasi yang ia gunakan saat mengobrol dengan Audri tadi. “Kami tidak akan datang!” sergah Aslan cepat. “Eh? Jangan gitu!” Audri buru-buru berdiri, melayangkan protes. “Kenapa nggak mau datang? Itu undangan dari papa Om kan? Alias mertuaku.” Aslan tertegun sejenak ketika Audri menyebutkan kata ‘mertuaku’. Sebuah desir halus menjalari hatinya, desiran yang sedikit membuat hatinya… senang dan tenang. Namun ia segera berdehem pelan, mengembalikan ekspresi sangar dan menakutkan di wajahnya. “Tetap saja kita tidak perlu datang,” ucapnya kasar. Audri menggeleng. “Aku nggak setuju, Om. Kita nggak punya alasan buat nolak. Lagipula, aku ketemu orang tua Om kan cuma waktu pesta pernikahan aja. Apa salahnya kalau aku ketemu mereka lagi?” “Buat apa?” sanggah Aslan cepat. Ia jelas tak menyukai ide Audri itu. “Buat apa lagi? Jelas buat menjalin hubungan baik sama keluarga Om lah.” Audri membalas tak kalah cepat. Kemudian tanpa menunggu persetujuan Aslan, ia sudah berbalik menatap Arkan dan tersenyum manis. Baru saja Audri hendak bicara, Aslan sudah lebih dulu berseru. “Jangan senyum-senyum!” “Hah?” Audri menoleh pada sang suami. “Apa sih?” tanyanya bingung. “Kamu… jangan senyum-senyum sama dia.” Aslan berkata tegas. “Astaga! Ini om-om kenapa sih?” cetus Audri mulai kesal. Ia tak mengindahkan teguran Aslan dan tetap menatap Arkan yang juga balas tersenyum padanya. “Kita akan datang besok,” ucapnya mantap. “Heh! Kamu siapa berani memutuskan sendiri begitu?” Aslan menyambar kerah kaos Audri, membuat gadis itu tersentak dan berjengit kaget. “Kak!” Arkan segera menyambar lengan kakak kembarnya, ikut terkejut melihat sikap agresif Aslan yang tak pandang bulu. Tak mengindahkan cengkraman tangan Arkan di lengannya, Aslan tetap menatap Audri tajam. Gadis itu segera mengusir jauh-jauh sorot terkejut dan takut yang barusan menghampiri matanya, ia balas menatap Aslan tajam. “Aku istri Om, kan? Apa salahnya kalau aku ikut memutuskan? Apalagi untuk sesuatu yang baik kayak gitu?” ucapnya berani. Entah bagaimana, kata ‘istri’ yang diucapkan Audri berhasil membuat Aslan terdiam. Bahkan cengkramannya di kerah leher Audri melemah. Dan Audri menjadikan itu sebagai kesempatan itu melepaskan diri dari cengkraman sang suami. Gadis bertubuh mungil itu mundur selangkah. Sempat melemparkan tatapan tajam sejenak pada Aslan sebelum beralih pada Arkan yang masih tampak terkejut dengan pemandangan di depannya. “Kita akan datang… Om Arkan.” Audri berkata sedikit canggung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN