Bab 6. Bibirmu Punyaku

1386 Kata
Arkan terbelalak sejenak, kemudian meledakkan tawa. Suara tawa renyah pria itu memenuhi ruangan. “Kenapa panggil ‘om’, sih?” tanyanya setelah tawanya reda. “Terus apa? Aku kan manggil om Aslan ‘om’, berarti kamu juga kan?” Audri berkata polos. Arkan menggeleng. “Jangan dong. Ketuaan kalau dipanggil ‘om’, yang lain aja.” “Berhenti basa-basinya!” sergah Aslan cepat. “Sana pulang!” usirnya pada Arkan yang terlihat masih menikmati obrolannya dengan Audri. Arkan menghela nafas kemudian mengangguk. “Oke, jadi kalian datang, kan? Aku akan sampaikan ke papa.” “Iya, iya, kami datang. Sana cepat pulang!” Aslan terlihat tidak sabar untuk segera melenyapkan keberadaan adik kembarnya di apartemennya. Tak butuh waktu lama, Arkan segera berpamitan dan tersenyum lembut sekilas pada Audri. Gadis itu membalasnya dengan ramah sebelum Arkan benar-benar menghilang di balik pintu. Tepat ketika pintu itu ditutup, Aslan segera beralih menatap istrinya yang masih tersenyum. “Berhenti senyum-senyum!” tegurnya kemudian. Senyum di wajah Audri langsung, ia bahkan sedikit merengut kesal. “Apa sih? Ini bibirku, jadi bebas mau aku pakai buat apa, mau senyum ke siapa.” “Kata siapa itu bibirmu?” Aslan memangkas jarak, menatap Audri lekat. “Lah, emang ini bibirku.” Audri tak bergerak sesenti pun. Membiarkan Aslan memperpendek jarak hingga tubuh mereka saling bersentuhan. Tangan Aslan terangkat, jari telunjuk dan jempolnya menyentuh dagu Audri lembut. Mengangkatnya, membuat mata Audri menatapnya lekat. Lantas, ia menyapukan jempolnya ke bibir bawah Audri dengan lembut. “Sejak aku menciummu, bibir ini sudah jadi milikku. Kamu mengerti?” Suara Aslan rendah dan dalam, terdengar mengancam. Namun bukan Audri jika takut hanya dengan gertakan kecil itu. Ia sudah hidup bertahun-tahun di bawah tekanan Panca yang selalu mengawasinya selama dua puluh empat jam penuh. Ia juga sudah bertahun-tahun hidup dalam kegelisahan nyawanya akan lenyap kapan saja. Jadi gertakan Aslan barusan bukan apa-apa baginya. “Enak aja!” sergah Audri cepat. “Kalau logika Om begitu, berarti bibir Om juga punyaku?” Aslan terdiam sesaat. Ia tampak terkejut dengan ucapan Audri yang terdengar berani dan blak-blakan. Detik berikutnya, pria itu tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya menggema di ruangan tempat mereka berdiri berhadapan. Kernyitan di dahi Audri semakin dalam, tak mengerti mengapa Aslan tertawa sedemikian keras. Seolah apa yang ia ucapkan sangatlah lucu. Aslan menghentikan tawanya setelah beberapa saat, ia kembali menunduk, menatap Audri dengan seringai lebar. “Ah, dibanding badanmu yang kecil mungil, ternyata kamu benar-benar punya nyali yang sangat besar,” ucapnya dengan suara sedikit serak. Tatapannya berkilat senang. Audri mendengus dan menepis tangan Aslan dari dagunya. Membuat sang pria sedikit terkejut, namun tidak protes. Suasana hatinya terlalu senang untuk merasa tersinggung dan kesal dengan sikap sang istri yang sedikit kurang ajar padanya. “Om butuh bantuan nggak? Habis tanding biasanya kan luka-luka?” tanya Audri acuh tak acuh sambil membereskan gelas bekas milik Arkan, menumpuknya di atas nampan dan hendak membawanya kembali ke dapur. Aslan tertawa pelan dan menggeleng. “Aku tidak jadi bertanding, mereka mengundurkan diri.” “Oh ya? Kenapa?” Aslan hanya mengedikkan bahu. “Mungkin takut,” jawabnya asal. Audri tertawa mengejek, namun tak menyahuti apapun. Ia segera membawa nampan kembali ke dapur, meninggalkan Aslan yang menatap punggungnya masih dengan seringai lebar. *** Pukul sembilan malam, Aslan dan Audri masuk ke kamar masing-masing. Setelah mencuci gelas bekas teh tadi, Audri sudah tak mendapati Aslan di mana pun. Rupanya pria itu sedang berlatih sendirian di ruangan khusus di salah satu sudut apartemennya. Audri tidak pernah memasuki ruangan itu, ia hanya mendengar suara tinju Aslan menghantam samsak. Audri sempat menikmati kukisnya sejenak sebelum akhirnya masuk kamar dan merebahkan diri di kasur. Ia sudah menggulirkan jempolnya di atas ponsel ketika sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk ke ponselnya. “Hm?” Audri mengernyit. “Siapa nih?” gumamnya. Ia segera mengetuk pop up notification yang muncul di layar ponselnya dan membaca pesan yang tertera di sana. “Hai, Kak Audri. Ini Arkan. Simpan nomorku ya, Kakak Ipar?” Sebuah emoji senyum nyengir mengakhiri pesan singkat itu. Membuat Audri tanpa sadar ikut tersenyum tipis. *** Pukul tujuh pagi, Audri berlarian ke sana kemari di rumah Aslan. Membuat pria tinggi besar yang baru bangun itu merengut kesal. “Apa yang kamu lakukan sepagi ini, sih?” tanyanya sebal. Audri menyadari kehadiran sang suami. “Om, aku izin nggak masuk kantor hari ini, ya? Aku ada kuliah tamu di kampus. Astaga, nyebelin banget infonya baru disebar tadi pagi jam enam!” Ia menggerutu sambil menyiapkan sarapan di meja makan. “Kuliah tamu?” Aslan mendekati Audri yang sibuk di dapur. Gadis itu terlihat lincah berlarian ke sana kemari. “Iya. Katanya ada CEO dari mana gitu mau ngisi kuliah tamu. Aku nggak baca jelas infonya. Lagian ngapain sih kuliah tamu pagi bener?!” Kedua alis Audri bertaut erat sementara bibirnya terus mengomel. Meski begitu, tangannya tetap cekatan menyiapkan sarapan. Sepiring d**a ayam panggang dan sayuran untuk Aslan. Sementara ia membuat sandwich ayam untuk dirinya sendiri, ia masukkan ke dalam kotak bekal untuk dibawa ke kampus. Aslan menguap lebar sambil bersandar ke dinding dapur. “Emang jam berapa kuliahnya?” “Jam setengah delapan.” Audri menjawab cepat sambil mencuci tangannya, ia sudah selesai menyiapkan sarapan. “Sarapan Om ada di meja makan, ya? Aku berangkat sekarang. Dah, Om Aslan!” Gadis itu berlalu melewati Aslan sambil melambaikan tangan. Membuat Aslan terkekeh geli dan menggelengkan kepala. Ia berjalan ke meja makan saat Audri masuk ke kamarnya untuk mengambil tas dan perlengkapan kuliah. Sebelah alis Aslan terangkat saat melihat sarapan yang disiapkan sang istri. Desir halus dan hangat itu menjalar cepat di hatinya. “Hei, kalau keburu-buru kayak tadi, nggak usah nyiapin sarapan!” seru Aslan pada Audri saat istri kecilnya itu sudah keluar dari kamar. “Udah terlanjur!” Audri menjawab asal. “Dah, Om!” Ia melambaikan tangan sekali lagi dan berlarian keluar dari apartemen. Meninggalkan Aslan yang terkekeh pelan sambil menyomot sepotong ayam panggang di piring. Audri memang sudah memotong kecil-kecil ayam panggang itu agar lebih mudah dimakan. “Hm, enak.” Aslan bergumam pelan sambil berlalu menuju ruang olahraga yang ia buat khusus untuk dirinya. Tanpa pria itu sadari, ia memulai paginya dengan senyum terkembang. Bahkan dengan semangat yang lebih membara dari biasanya. Hanya karena Audri mau susah payah menyiapkan sarapan untuknya padahal gadis itu harus buru-buru ke kampus. Sementara itu di sisi lain ibukota, Audri sudah berlarian di lorong kampusnya. Tas ranselnya bergoyang-goyang di belakang tubuhnya. Ia nyaris terpeleset saat mendadak menghentikan langkahnya di pintu aula kampus. “Audri, cepet masuk!” Naura, seorang mahasiswi berambut pendek sebahu terlihat melambaikan tangan ke arah Audri dan menunjuk kursi kosong di sebelahnya. “Lo udah hampir terlambat! Cepet duduk!” desisnya sambil mendelik. Audri masuk ke dalam ruangan sambil memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan karena berlari di sepanjang lorong gedung kampus. Ia menghembuskan nafas cepat saat menghempaskan tubuhnya ke kursi di samping Naura. “Lo ngapain sih kok baru dateng?” tegur Naura. “Info kuliah umumnya baru disebar jam enam, gimana gue nggak telat?” Audri balas menyembur kesal. “Tapi kan ada waktu satu setengah jam, kok bisa-bisanya lo hampir telat gini?” Naura terus mengomeli Audri sambil menyiapkan diri menyambut kuliah umum yang terjadi secara okasional di jurusan mereka. “Gue kan udah nggak single, Nau. Kudu nyiapin sarapan buat suami, lah.” Naura membelalak. “Oh, iya juga! Lo udah nikah kan? Astaga, gue lupa.” Gadis itu tertawa pelan. “Eh, lo tahu nggak siapa dosen tamu kita hari ini?” Audri menggeleng, masih mengatur nafasnya yang terengah karena berlari. “Wah, masa lo nggak tahu?” “Gue nggak baca info,” sahut Audri asal. Namun sebelum Naura membalas kalimat Audri, pintu aula gedung itu sudah terbuka. Dua orang pria masuk ke dalam ruangan. Seorang pria yang mereka kenal sebagai salah satu dosen di kampus mereka dan satu orang lagi adalah… Arkan Samudra Wirabuana. Audri terbelalak seketika. “Jangan bilang… dosen tamunya itu… dia?” bisiknya pada Naura sambil memberi isyarat pada Arkan dengan meliriknya sekilas. Naura mengangguk mantap. “Betul, pak Arkan dosen tamu kita hari ini. Dia… saudara suami lo, kan?” Audri tak menjawab karena kini tatapannya sedang bersirobok dengan tatapan Arkan yang lurus ke arahnya. Pria itu tersenyum ramah seperti biasa, bahkan mengangguk kecil pada Audri. “Bisa-bisanya aku nggak baca nama dosen tamunya!” gerutu Audri dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN