Bab 15. Tolong Aku, Om!

1054 Kata
Audri tersenyum lebar saat keluar dari restoran tempatnya bertemu dengan bi Atun. Ia melangkah ke trotoar dengan langkah ringan sambil bermain ponsel, memesan taksi online yang akan membawanya kembali ke apartemen Aslan. Lima menit, sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan Audri, gadis itu langsung masuk ke dalam mobil dan menyebutkan nama apartemen Aslan sebelum akhirnya mulai kembali sibuk bermain ponsel. Lima belas menit berlalu, Audri mulai menyadari ada sesuatu yang salah. Harusnya ia sudah tiba di apartemen Aslan sekarang karena jarak dari restoran tadi dengan apartemen Aslan cukup dekat. Tapi mobil ini justru terus melaju cepat. Audri melirik ke jendela mobil, nafasnya tertahan seketika. Benar, ini bukan jalan menuju apartemen Aslan. Tubuh Audri menengang dan merinding bersamaan, jantungnya mulai berdegup tak karuan, namun ia tak berani mengangkat wajahnya dari ponsel. Audri menelan ludah. Jemarinya yang menggenggam ponsel gemetar, membuatnya kesulitan untuk bertindak cepat dengan ponselnya. Audri menarik nafas berkali-kali, ia harus tenang dan tidak menunjukkan gelagat bahwa dirinya menyadari kejanggalan ini. Ia sudah pernah memikirkan skenario ini sebelumnya. Audri tidak pernah lupa bahwa nyawanya tetap terancam apapun yang terjadi. “Tenang, Audri, tenang.” Ia bergumam dalam hati sambil terus menarik nafas dalam. Lantas ia menyalakan GPS di ponselnya dan segera mengirimkan lokasi terkininya pada Aslan. Ia juga memberikan alamat email dan password emailnya pada Aslan, siapa tahu itu dibutuhkan oleh Aslan jika terjadi sesuatu yang buruk padanya. Aslan bisa menggunakan informasi itu untuk menemukan lokasi terakhir dari ponselnya. Audri sedang mengetik sesuatu ketika tiba-tiba Aslan menelepon. Awalnya, Audri lega dan senang. Namun detik berikutnya, sopir mobil itu segera membanting setir, menghentikan mobil secara mendadak dan menyambar ponsel Audri, melemparkannya ke luar jendela sebelum membekap mulut Audri dengan tangan. “Hmph!” Audri melotot kaget, berusaha sekuat tenaga untuk meloloskan diri. Namun kekuatan pria itu jelas jauh di atasnya. Dan sialnya, kaca mobil ini adalah kaca rayban. Para pengendara yang melewati mereka tidak ada yang menyadari apa yang terjadi di dalam sana. Dalam waktu singkat, mulut Audri sudah dibekap dengan kain dan kedua tangan serta kakinya sudah terikat. Rupanya hal ini memang sudah direncanakan melihat dari betapa terlatih dan siapnya sopir mobil itu. “Nah, diam di situ.” Sopir itu bergumam sambil kembal duduk di belakang setir. Audri menatap tajam lewat kaca spion depan. Sopir mobil itu menaikkan alis, menoleh ke belakang. “Wah, lihat tatapanmu itu. Nyalimu besar juga, ya?” ejeknya. Audri mendengus, sama sekali tak mengendurkan tatapannya pada pria itu. Sambil ia terus memutar otak dan meredakan kegelisahan yang menggerayangi hatinya. Sopir mobil yang wajahnya ditutupi masker dan kacamata hitam itu terkekeh pelan. “Bukankah harusnya kamu menangis dan memohon minta dilepaskan? Tapi apa itu? Kamu malah menatapku tajam?” Ia kembali mencibir. Kini matanya turun ke d**a Audri yang membusung karena kedua tangannya terikat di belakang tubuhnya. Nafas Audri yang cepat dan dangkal membuat d**a Audri naik turun dengan cepat. Pria itu terkekeh. “Aku jadi penasaran apa matamu masih bisa menatap tajam kalau aku bisa membuatmu keenakan?” ucapnya asal sambil kembali menjalankan mobil. Audri melotot seketika. Kegelisahan yang sejak tadi terus membesar di hatinya itu kini semakin menggunung. “Apa maksudnya? Jangan bilang….” Audri merinding seketika. Bayangan buruk selain kemungkinan nyawanya melayang kini berkelebat tak henti-henti di benaknya. Sopir itu menyadari kegelisahan Audri. Ia tertawa terbahak-bahak. “Akhirnya kau takut juga sekarang? Sudah sadar betapa besar bahaya yang sedang mengintaimu?” Audri tak menggubris. Otaknya terus berpikir keras, mencari kemungkinan siapa dalang di balik semua ini. Meski otaknya hanya tertuju pada satu orang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Panca. *** Aslan mengernyit ketika ia kembali menelpon istrinya dan yang ia dapati justru pemberitahuan bahwa nomor Audri tidak lagi aktif. Pria itu duduk di belakang meja kerjanya, menatap ponselnya bingung. “Anak ini ngapain sih?” gumamnya mulai kesal. Ia kembali menempelkan ponsel ke telinganya, namun tetap saja nomor Audri tidak aktif. Maka ia dengan malas membuka lokasi yang dikirimkan Audri padanya. “Kenapa juga anak ini ngirim lokasi coba? Oh, minta jemput?” gumamnya. Ia terkekeh pelan saat mengira betapa menggemaskannya cara Audri dalam memintanya menjemput. Namun, begitu ia menyadari bahwa lokasi yang dikirimkan Audri mengarah ke perbatasan ibukota, jauh dari apartemen dan restoran tempat Audri bertemu bi Atun, Aslan mengernyit seketika. “Anak ini mau ke mana? Kenapa ngirim email dan password-nya segala?” Ia terus menggumam bingung sambil mencoba menebak apa yang diinginkan Audri. Aslan tidak tahu bahwa sebenarnya Audri sudah mengetik satu pesan singkat berbunyi ‘Tolong aku, Om.’ Namun pesan itu tidak sempat terkirim karena ponsel Audri sudah dilempar ke luar jendela, hancur dan pecah terlindas mobil lain. Aslan mencoba masuk ke akun email Audri, memeriksa kotak masuk dan masih tak mengerti apa yang diinginkan Audri. Hingga akhirnya, ia menyadari korelasinya dengan lokasi yang dikirimkan Audri. Dan begitu ia memeriksa lokasi akun email Audri terakhir kali, tubuhnya menegang seketika. Aslan mengerti ada yang tidak beres. Audri mengirimkan pesan sesaat sebelum pulang padanya, mengatakan bahwa ia akan segera pulang ke apartemen. Tapi jejak yang ditinggalkan Audri justru mengarah sebaliknya, ia terlihat semakin menjauh dari apartemen Aslan. Maka tanpa menunggu lama lagi, Aslan menyambar kunci mobilnya dan bergegas keluar ruangan. “Batalkan semua jadwalku hari ini,” perintahnya pada sekretarisnya yang langsung dihadiahi tatapan bingung dari pria berkacamata yang setahun terakhir mengatur jadwal Aslan. Namun, jelas tak ada yang bisa dilakukan dengan itu. Jika Aslan sudah berkata ‘A’, maka harus ‘A’. Aslan segera melompat ke dalam mobilnya begitu tiba di parkiran khusus. Lantas ia menyetir secepat kilat menuju lokasi terakhir Audri berada. Hanya butuh sekitar sepuluh menit bagi Aslan untuk tiba di lokasi itu. Namun tentu saja ia tak menemukan apapun di sana. “Sialan!” Aslan mengumpat kesal. Ia melirik layar navigasi GPS yang menyala di depannya. Jemarinya mengetuk-ngetuk setir mobil saat ia berpikir keras, menerka-nerka ke mana Audri pergi. Lantas ia melihat itu. Dari lokasi terakhir ponsel Audri masih menyala, ada jalan yang mengarah pada sebuah kompleks terbengkalai yang berada di pinggiran ibukota. Sebuah alarm berdenting di kepalanya. Permintaan Audri untuk melindunginya kembali berkelebat di kepala Aslan, cerita gadis itu tentang nyawanya yang terancam, tentang hidupnya yang tak bisa tenang meski sehari pun. Aslan menggeram marah dan mulai menginjak pedal gas dalam-dalam. Wajahnya menggelap, sorot matanya tajam mengarah pada jalanan di depannya. “Aku akan menemukanmu, Audri. Tolong bertahanlah!” lirihnya sambil menggertakkan gigi, marah bercampur khawatir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN