Bab 14. Sekutu Baru

1101 Kata
“Bi Atun!” Audri memekik pelan, jantungnya hampir saja copot. “Ngapain di sini, Neng?” Perempuan paruh baya yang dipanggil bi Atun itu bertanya bingung. Lantas, sebelum ia sempat membuat alasan, ekor mata Audri menangkap sosok Aurora yang keluar dari ruang makan. Matanya membulat seketika. Ia buru-buru menarik bi Atun untuk menunduk dan bersembunyi di balik tembok. “Neng, ngapain sih?” Bi Atun bertanya lagi, berbisik pelan. “Diem dulu, Bi.” Audri menempelkan jari telunjuknya ke bibir, menyuruh bi Atun untuk diam sementara dirinya terus mengawasi Aurora yang terlihat menuju kamar mandi. Ia menduga bahwa mungkin Aurora ditugaskan Panca untuk mengecek dirinya. “Aduh, gagal ini,” lirih Audri kemudian. “Apanya yang gagal?” tanya bi Atun penasaran. Audri menoleh pada bi Atun, seketika sebuah ide terbersit di kepala Audri. Ia bisa memanfaatkan bi Atun untuk rencananya. Toh, bi Atun adalah asisten rumah tangga yang cukup senior di rumah ini, tak akan ada yang curiga jika bi Atun masuk ke kamar Aurora. “Bi, Bibi bisa bantuin saya nggak?” tanya Audri cepat. “Bantu apa? Kalau Bibi bisa pasti Bibi bantu.” “Kalau gitu nanti saya telepon aja. Bibi pegang hp kan?” “Iya, ada. Ini.” Bi Atun mengeluarkan sebuah ponsel dari dalam saku bajunya. Audri buru-buru menyimpan nomor ponselnya di kontak ponsel bi Atun dan menyimpan balik nomor bi Atun. “Bi, nanti saya telepon, ya? Buat sekarang, saya harus pergi.” Audri buru-buru menuruni anak tangga ketika melihat Aurora masuk kembali ke ruang makan. Sepertinya ia akan melapor pada Panca bahwa ia tak menemukan Audri di mana pun. Begitu tiba di lantai satu, Audri berdehem pelan dan berjalan santai menuju ruang makan. Ia nyaris tersandung ke belakang ketika Panca tiba-tiba keluar dari ruang makan dan nyaris menabraknya. Wajah Panca mengeras seketika, matanya tajam menatap Audri dari atas ke bawah. “Kamu dari mana? Kenapa kata Rora nggak ada di kamar mandi, hah?” desisnya galak. “Oh, aku ke kamar mandi yang di sebelah sana, Om.” Audri menunjuk ke arah yang berlawanan. Memang ada satu kamar mandi di sana, khusus untuk tamu. Panca mendengus. “Kamu mencurigakan, Audri.” Namun sebelum sempat Audri membalas ucapan Panca, pria itu sudah menoleh ke belakang saat dirasakan sebuah tangan besar meremas bahunya. Aslan sudah berdiri di belakang Panca dengan wajah sangarnya yang mengeras. “Lepaskan istriku,” desisnya tajam. Seperti seekor tikus di hadapan singa yang marah, Panca segera menyingkir dari sana. Ia menghela nafas cepat dan kembali duduk di kursi makan. Aslan segera merapatkan tubuhnya pada Audri sambil berbisik lirih. “Kamu dapat?” Audri menggeleng. “Tapi tenang, Om, aku dapat nomor salah satu pembantu di sini.” Aslan terdiam sesaat, kemudian mengangguk pelan. “Bagus. Kita pakai rencana kedua.” *** Beberapa hari setelah kejadian itu, Audri berhasil bertemu dengan bi Atun di luar saat bi Atun diberi kepercayaan untuk belanja bulanan. “Siapa yang biasanya bersihin kamarnya Rora, Bi?” tanya Audri setelah basa-basi sejenak. Mereka makan siang di dekat supermarket tempat bi Atun berbelanja. “Cuma dua orang yang dibolehkan masuk kamarnya Neng Rora. Bibi sama anak Bibi, si Juleha itu.” Audri mengangguk-angguk. “Wah, ini jackpot!” batinnya senang. “Gimana setelah jadi istri, Neng?” Tiba-tiba bi Atun bertanya. “Eh?” Audri tercengang. Ia tak menyangka bi Atun akan bertanya hal itu. Apalagi dengan senyum tulus yang tersungging di bibirnya. “Gimana?” Ia justru bertanya balik. “Iya, gimana rasanya setelah jadi istri? Bibi nggak nyangka Neng Audri bakal menikah cepat. Apalagi sama laki-laki yang jauh lebih tua.” Audri terdiam selama beberapa saat. Ia memang merasa bi Atun sedikit lebih memperhatikannya selama ia tinggal di rumah Panca dulu. Tapi ia tak menyangka bi Atun akan bertanya secara kasual soal kehidupan rumah tangganya. Seperti seorang ibu yang bertanya tentang kehidupan putrinya. Setelah beberapa detik terdiam, Audri akhirnya tersenyum simpul. “Nggak jauh beda sama waktu sebelum nikah, Nek. Bedanya sekarang ngurus dua orang aja, gitu doang.” Ia menjawab diplomatis, tidak menjelaskan lebih rinci. Bi Atun mengangguk-angguk. “Semoga suami Neng memperlakukan Neng dengan baik, ya? Saya ikut seneng kalau Neng Audri bisa hidup bahagia. Neng tuh udah saya anggap kayak anak sendiri, apalagi waktu Neng balik lagi ke rumah, seneng sekali rasanya.” “Eh?” Audri kembali ternganga. “Apa, Bi?” “Hah? Yang mana?” bi Atun bertanya balik. “Bibi bilang kalau Bibi seneng waktu saya kembali lagi ke rumah? Maksudnya… kembali ke rumah waktu makan malam itu?” Audri mencoba mempertegas maksud ucapan bi Atun. “Iya, itu juga seneng. Waktu Neng Audri akhirnya tinggal di rumah lagi, Bibi juga seneng.” Audri kembali terdiam. Ia ingat bi Atun pernah mengatakan hal serupa saat pertama kali dirinya datang ke rumah Panca. Bahkan saat awal-awal ia tinggal di sana, bi Atun memang memperlakukannya seperti seorang anak. Penuh perhatian dan kasih sayang. Namun, Audri yang saat itu sudah terlalu tidak mempercayai dunia luar, hanya membalas perlakuan bi Atun seadanya. Sekarang, saat kalimat itu kembali diucapkan, Audri baru menyadari bahwa ada sepotong informasi yang terlewat begitu saja. “Bibi sudah kerja di rumah itu sebelum saya… dibawa pergi dari rumah itu?” Audri mencoba menyimpulkan pemikirannya. Bi Atun mengangguk. “Bibi yang ikut merawat Neng Audri dulu.” “Apa?” Audri menelan ludah, susah payah mencerna informasi yang baru ia dapatkan. “Berarti Bibi kerja sama keluarga saya sudah dari dulu?” “Iya, tapi waktu Neng Audri umur satu tahunan kayaknya, semua pekerja dipecat. Dan Bibi bisa kembali ke rumah itu beberapa tahun setelahnya. Bibi kira Bibi akan langsung ketemu sama Neng Audri dan Nyonya lagi, tapi ternyata… Nyonya sudah meninggal dan Tuan sudah menikah lagi dengan Nyonya yang sekarang.” Bi Atun tersenyum getir, jelas ada kesedihan di sana. Audri mengusap wajahnya pelan. “Jadi… Bibi kenal sama Ibu?” “Apa maksudnya? Tentu saja Bibi kenal, Neng. Nyonya Maura itu nggak kayak majikan, kayak temen sama Bibi. Suka ngajarin Bibi banyak hal, makanya Bibi pengen sekali kembali bekerja di rumah. Tapi ya itu, ternyata Bibi terlambat. Ibu Neng sudah meninggal waktu Bibi kembali.” Audri merasakan darahnya berdesir penuh semangat. Ini kesempatan langka, ia bisa bersekutu dengan bi Atun untuk menjalankan rencananya. “Bi Atun, kalau begitu… Bibi pasti mau membantu saya. Iya kan?” Audri berkata cepat karena begitu bersemangat. “Tentu saja Bibi akan bantu, Neng. Selagi Bibi bisa, pasti Bibi bantu.” Audri tersenyum puas kemudian segera memberitahu bantuan apa yang ia butuhkan dari bi Atun dan mungkin dari si Juleha, putri bi Atun yang juga bekerja di kediaman Panca saat ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN