Bab 13. Menjalankan Rencana

1043 Kata
Pukul dua dini hari, Aslan dan Audri kembali ke apartemen mereka. Keduanya sama sekali tak bisa tidur setelah mendengar fakta mengejutkan dari Wijaya atau pria yang dulu dikenal dengan nama Surawijaya Mahardika, pendiri dan pemilik sah dari Mahardika Kontraktor. “Apa yang akan kamu lakukan sekarang, Audri?” Aslan bertanya serius. “Om, Om janji akan terus melindungiku kan?” tanya Audri kemudian. “Itu janji yang tidak akan pernah aku ingkari, kau tahu itu, Audri,” dengus Aslan pelan. “Kalau begitu, aku akan mengikuti rencana kakek. Aku tidak bisa membiarkan mereka menguasai harta yang bukan milik mereka, Om. Astaga, dua puluh tahun ini aku dibodohi, Om!” Audri bicara berapi-api, kekesalan di dadanya terasa semakin membengkak. “Bukan hanya kamu, Audri. Aku juga dibodohi, keluargaku juga dibodohi. Mereka mengira kamu hanyalah keponakan jauh dari Panca sialan itu.” Aslan tak mampu menahan diri untuk tidak mengumpat. Hening sesaat melingkupi keduanya. Sebelum akhirnya Aslan bicara lebih dulu. “Sekarang, istirahat saja dulu. Besok kita pikirkan lagi bagaimana kau akan menjalankan rencana kakekmu itu.” Audri mengangguk, kemudian ia menoleh pada sang suami. Ia terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya berbicara dengan wajah sedikit tersipu. “Om, aku kan habis minta bantuan Om nih buat nemenin aku ke rumah kakek, berarti aku harus bayar dong?” “Hm? Apa maksud– Oh?” Wajah Aslan berubah cerah seketika. Tawa renyahnya mengudara begitu saja. “Kamu mengingatnya? Bagus, bagus.” Ia mengangguk puas. Audri merutuk dalam hati. Entah kenapa ia malah menawarkan diri begini. “Jadi aku akan dapat bayaranku sekarang?” goda Aslan dengan mata yang berkilat senang. Audri mengangguk pelan, malu-malu. Dan tanpa menunggu sedetik pun, Aslan segera meraih pinggang Audri dan membawa istri kecilnya itu ke atas pangkuannya. Entah sejak kapan, Audri jadi menyukai kebiasaan Aslan ini, saat pria itu dengan posesif merengkuh tubuhnya yang duduk di atas pangkuan sang pria. Lantas, detik berikutnya, sepasang suami istri itu telah hanyut dalam ciuman lembut dan menuntut. Tangan Aslan melingkari pinggang Audri, sementara tangan lainnya menahan kepala Audri dan mengarahkannya untuk memperdalam ciuman. Sementara Audri hanya bisa mencengkram erat bahu sang suami saat ciuman mereka semakin memanas. Beberapa kilometer dari apartemen Aslan, Arkan juga tidak bisa tidur setelah kembali dari paviliun sang nenek. Tepat setelah Aslan dan Audri meninggalkan paviliun itu, Arkan yang sejak mereka datang terus mengawasi dari kamarnya di lantai dua, segera menerobos masuk ke paviliun Gayatri. Menginterogasi secara halus apa yang membuat kakak dan kakak iparnya masuk menemui sang nenek di malam yang sudah cukup larut. “Jadi Audri adalah cucu tunggal Mahardika?” gumamnya pelan. Ia mengusap dagunya sambil menyeringai kecil. “Wah, wah, sama sekali nggak terduga.” Arkan terkekeh pelan dan berjalan kembali ke tempat tidurnya. Ia merebahkan diri di sana, bersiap untuk tidur. “Ini nggak akan mudah, tapi pasti bisa dilakukan,” gumamnya dengan seringai yang semakin lebar. *** Kembali ke rumah Panca seperti kembali masuk ke kandang hyena. Hewan yang bisa dengan beringas mencabik mangsanya dan tak pandang bulu. Audri menelan ludah sesaat sebelum melangkah masuk ke rumah Panca. Aslan menyadari perubahan raut wajah sang istri, ia menggenggam tangan Audri dan meremasnya lembut, seolah memberinya sinyal bahwa ia akan selalu bersamanya. Audri menoleh, mengangguk pelan saat berhasil menangkap sinyal itu. Begitu mereka memasuki rumah besar itu, seorang pelayan segera menyambut keduanya. Mengarahkan mereka ke ruang tamu khusus. Tak butuh waktu lama, Panca pun segera keluar. Wajahnya terlihat sumringah dengan kedua tangan terbuka lebar, seolah menyambut dengan suka cita kedatangan ‘keponakan jauh’-nya. “Selamat datang, selamat datang,” sambutnya hangat. Audri berdiri, memeluk Panca seperti seorang keponakan kepada pamannya. Kemudian kembali duduk. Panca menaikkan sebelah alisnya ketika mendapati Aslan sama sekali tak bereaksi. Bukankah seharusnya pria itu sekarang sudah berdiri dan menyalaminya? Tapi kenapa Aslan hanya duduk dan menatapnya tajam begini? Audri menyadari tatapan Panca, ia segera menoleh pada Aslan dan menyenggol lengan suaminya pelan. Aslan melirik Audri sekilas sebelum mendengus pelan dan berdiri, menyalami Panca dengan cepat tanpa menunjukkan rasa hormat sama sekali. Cengkraman tangan Aslan cukup kuat pada tangan Panca hingga membuat pria itu meringis. Ia tertawa canggung setelah Aslan melepas cengkramannya. “Baiklah, kalau begitu… kita langsung makan malam saja? Tantemu sudah membuatkan makanan kesukaanmu, Audri.” Panca berkata hangat. Audri nyaris mencibir sikap hangat Panca barusan, namun ia menahan diri dan mengangguk. Panca segera mengarahkan sepasang suami istri itu ke ruang makan. Audri terus melihat ke sekeliling selama dalam perjalanan menuju ruang makan. Matanya awas melihat peluang yang ada di sekitarnya. Ia harus mendapatkan apa yang ia butuhkan selagi ia datang ke sini. Ia tak ingin datang ke sini untuk yang kedua kalinya sebelum ia berhasil mengungkapkan kebenaran. Beberapa menit setelahnya, seluruh keluarga Panca berkumpul di ruang makan bersama Aslan dan Audri. “Kamu magang di kantor suamimu sekarang, Audri?” tanya Panca, mencoba berbasa-basi. “Iya. Kebetulan udah boleh magang dari kampus dan kantor om Aslan emang nerima anak magang. Iya kan, Om?” Audri menoleh pada Aslan sekilas. Aslan mengangguk. “Iya. Tiap tahun juga biasanya ada aja anak magang yang masukin proposal.” “Wah, bagus itu. Belajar yang banyak selama di sana.” Panca masih betah berbasa-basi. Makan malam berlangsung lancar, basa-basi terus terjadi. Sampai kemudian, Aslan meraih tangan Audri di bawah meja dan meremasnya pelan. Audri menelan ludah, ini saatnya. Maka ia segera berdiri. “Om, Tante, aku pamit sebentar, ya?” ucapnya dengan wajah meringis sambil memegangi perut. “Oh, mau ke mana, Audri?” Laksmi, istri Panca bertanya bingung. “Audri kebanyakan makan pedes dari kemarin, jadi perutnya bermasalah.” Aslan yang menjawab. “Oh gitu? Ya sudah sana cepat,” ucap Laksmi sambil meringis pelan. Audri bergegas keluar dari ruang makan. Kini, tujuannya hanya satu, kamar Aurora. Maka ia segera melangkah ke lantai dua tempat kamar Aurora berada. Ia melangkah dengan hati-hati agar tidak menarik perhatian para pelayan Panca yang pastinya akan lebih memihak pada pria itu. Audri terus celingukan sambil melihat ke sana ke mari. Jantungnya berdegup kencang saat langkah kakinya semakin jauh meninggalkan lantai satu dan semakin dekat dengan kamar Aurora. Beberapa pelayan tampak sibuk di posisi masing-masing, Audri harus berhati-hati sebelum ketahuan. Dan ketika ia telah tiba di depan pintu kamar Aurora, saat tangannya sudah hampir memutar kenop pintu, tiba-tiba sebuah suara mengejutkannya. “Sedang apa di sini?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN