Keenan terus saja memikirkan Milly meskipun ia baru saja bertemu dengan gadis itu. Ada perasaan yang lain saat dirinya berada di sisi Milly. Keenan dibuat terpana bahkan hanya saat memikirkan gadis itu.
"Apa ini?" Gumam Keenan heran. Ia memegangi dadanya yang bergetar hebat.
Pria itu tidak menyadari jika hal seperti itu bisa terjadi kalau sedang jatuh cinta. Memangnya apa yang Keenan tahu tentang cinta? Selama ini dirinya tidak pernah tertarik dengan hal semacam itu. Meskipun banyak kaum hawa yang rela mengantre untuk memenangkan hatinya, semua ditolak mentah-mentah oleh Keenan. Tapi apa yang terjadi sekarang? Perasaan cinta muncul saat dirinya bertemu dengan seorang gadis yang bahkan pantas menjadi adiknya sendiri. Tapi memangnya cinta punya aturan? Lagi pula usia hanyalah angka belaka.
Semakin Keenan memikirkan Milly semakin ia dibuat tidak mengerti. Mengapa sekarang kepalanya dipenuhi oleh ekspresi gadis itu. Bagaimana ekspresi Milly saat ia ketakutan bahkan di saat gadis itu tertawa kegirangan hanya karena satu cone ice cream. Semuanya terputar jelas di kepala Keenan.
"Ada apa, Pak Keenan? Apa Bapak sedang tidak enak badan?" Salah satu staf yang tengah duduk tak jauh dari Keenan bertanya, mewakilkan seluruh orang yang berada di ruang rapat.
Sedari tadi atasan mereka bertingkah aneh. Tidak fokus, banyak melamun bahkan sampai bergumam sendiri.
"Saya baik-baik saja," sahut Keenan cepat. "Rapat hari ini cukup sampai di sini saja." Keenan beranjak dari duduknya kemudian pergi meninggalkan ruangan.
Sepeninggal Keenan, semua staf yang berada di ruang rapat langsung heboh membicarakan atasannya itu. Mereka di buat terheran dengan sikap Keenan yang aneh. Ini pertama kalinya Keenan tidak fokus saat sedang bekerja. Sehingga banyak dari mereka berasumsi bahwa Keenan sedang jatuh cinta.
"Gue yakin banget Pak Keenan pasti lagi jatuh cinta," cicit Rumi--salah satu staf yang terkenal dengan mulutnya yang suka bergosip.
"Beruntung banget wanita itu. Pasti dia cantik banget sampai membuat Pak Keenan jatuh cinta dan linglung kayak tadi. Bener nggak?" sahut Merin tak mau tertinggal.
Bagaimanapun acara gosip dadakan seperti ini akan selalu terjadi selama ada dua orang ini--Rumi dan Merin.
***
Karena merasa tidak fokus saat bekerja, Keenan memilih untuk mengendarai mobilnya. Hal ini selalu ia lakukan saat sedang tidak bisa berpikir jernih. Saat ini pikiran Keenan dipenuhi dengan Milly, membuat pria berusia dua puluh tujuh tahun itu kelimpungan.
Keenan menambah kecepatan laju mobilnya untuk membelah jalanan ibu kota yang sekarang mulai macet. Keenan tidak peduli dengan apapun, baik pengendara lain yang bersumpah serapah karena ulahnya atau polisi yang akan menilang dirinya kapan saja. Tidak ada yang membuatnya takut. Selama ini seperti itulah Keenan menjalani kehidupannya.
Drrtt..
Drrtt..
Sebuah panggilan masuk dari sang Bunda. Segera Keenan menjawab tanpa pikir panjang lagi.
"Halo, Keenan?" Sapa Elina di seberang sana.
"Iya, Bun. Ada apa?" sahut Keenan lembut.
"Lusa nanti pulang ke rumah, ya?"
Tidak ada sahutan dari Keenan setelah mendengar ucapan Elina.
"Keenan? Bunda harap kamu akan pulang. Sampai ketemu nanti, Bunda tunggu kamu."
Panggilan terputus.
Sudah lima tahun Keenan memisahkan diri dengan keluarga besarnya. Hidup seorang diri di sebuah Apartemen mewah karena selalu cekcok dengan Ayahanda. Kesalahpahaman membuat mereka tidak lagi akur. Ditambah lagi dengan kejadian di restoran bersama keluarga Lily, Ayahnya pasti sangat marah kepada Keenan. Selama ini Elina berusaha keras untuk mengembalikan hubungan antara ayah dan anak yang rusak. Namun usaha itu selalu sia-sia karena tidak ada dari mereka yang mau mengalah. Apalagi beberapa bulan terakhir Keenan tidak pernah pulang. Wajar jika Elina meminta sang anak untuk pulang.
Keenan dibuat semakin pusing usai panggilan singkat bersama Elina. Tidak ada pilihan lain bagi Keenan selain pergi ke bar langganannya. Selama ini Keenan selalu menjadikan minuman keras sebagai pelarian. Benar-benar sebuah jalan yang salah.
Begitu sampai di tempat tujuan, Keenan langsung disambut oleh Alex. Pria itu adalah pemilik bar sekaligus teman baik Keenan. Tak kalah dari Keenan, Alex juga memiliki wajah rupawan dan rambut kribo yang menjadi ciri khas tersendiri untuknya. Sudah hampir tujuh tahun Alex menjalankan bisnis ini dan Keenan menjadi salah satu pengunjung tetap nya.
"Kenapa muka lo? Kecut amat." Goda Alex begitu Keenan duduk di hadapannya.
"Beri gue minuman seperti biasa." Pinta Keenan tanpa menyahut pertanyaan Alex.
Keenan merasakan kepalanya semakin berat bahkan sebelum dirinya menenggak minuman yang akan diberikan oleh Alex. Setiap hal yang bersangkutan dengan rumah ataupun ayahnya, Keenan selalu merasakan sesuatu yang besar menimpa hatinya. Bukan karena ia membenci keduanya, hanya saja rasa kecewa telah lama bersarang dalam hatinya karena kedua hal itu.
Setiap teguk minuman yang Keenan tenggak hingga habis membuat dirinya merasa sedikit lebih baik. Pria itu selalu merasa dirinya akan menjadi Keenan yang lain saat mabuk-mabukan seperti ini. Setelah menghabiskan banyak minuman, Keenan benar-benar merasa teler. Dan dirinya melihat bayangan Milly memenuhi tempat ini.
Keenan terkekeh geli.
"Dasar bocah kurang ajar! Tadi lo memenuhi pikiran gue, sekarang lo memenuhi tempat ini, ck!" Keenan meracau seperti khas orang teler.
"Hus! Husss!" Tangannya mengibas ke sana ke mari seolah sedang mengusir.
Melihat kelakuan Keenan, Alex hanya menggelengkan kepala tak habis pikir.
Tak puas mengusir Milly yang tidak juga pergi, akhirnya Keenan berinisiatif untuk menelepon adiknya, Karin. Begitu panggilan tersambung Keenan kembali meracau tidak karuan.
"Mas Keenan mabuk lagi, ya! Siang-siang begini?!!" Suara Karin terdengar tinggi.
Keenan tersentak kemudian menjauhkan sebentar handphone dari telinganya,
"Pstttt ... Jangan teriak gitu. Mas nggak tuli," ujarnya.
"Jangan bilang Mas di tempat Alex lagi. Harusnya Mas Keenan tu sadar, mabuk begitu nggak baik!" Suara Karin masih terdengar tinggi, dia selalu kesal jika Keenan seperti ini.
Bukannya merenungi ucapan Karin, Keenan malah tertawa terbahak-bahak. Perutnya semakin menggelitik saat mendengar ocehan Karin yang seperti menggurui.
"Mending kamu diam. Dan tolong bawa teman kamu pergi dari sini," cicit Keenan dengan suara mabuknya.
"Teman yang mana!?" tanya Karin heran.
Dengan kesadaran yang hampir menurun Keenan menjawab pertanyaan Karin hingga akhirnya tumbang dan tertidur.
Jika sudah seperti ini maka orang yang paling repot adalah Pak Gunadi. Selama ini Pak Gunadi bekerja bukan hanya untuk perusahaan semata, tetapi ia juga selalu terlibat dalam kehidupan pribadi Keenan dan tak jarang pula pria paruh baya itu harus membereskan semua masalah yang Keenan timbulkan.
Tanpa ingin berlama-lama Alex segera menghubungi Pak Gunadi untuk menjemput atasannya yang tengah teler di siang bolong. Karena jika berlama-lama dibiarkan Keenan pasti akan membuat masalah seperti yang selalu ia lakukan.
***
Rasa kesepian dapat membunuh seseorang dalam sekejap, seperti halnya Keenan.